Memory yang Hampir Terhapus (Sebuah Kenangan akan RDK 1430 H)

Dengarlah wahai angin, pertengkaran kecil yang penuh senyuman mempertaruhkan keberadaanmu di hari esok. Mereka tak menghiraukan lagi bisikanmu yang hanya kan menambah berat mata ini tuk melihat kenyataan dunia yang sebenarnya dan menghambat laju electron tuk melewati selubung myelin lalu merangkainya menjadi bayangan dunia damba. Mereka juga tak menggubris panggilan lembut tumpukan spons dan bantal yang mengajak mereka tuk berkunjung ke alam mimpi, menikmati keindahannya, dan menyelami sungai khayalnya. Aku kasihan melihat sang  pena, tampak ia sangat kelelahan menjadi budak jemari yang terus memaksanya menari diatas lembaran-lembaran kertas putih penuh goresan kecil. Terkadang ia mengalami hentakan kuat agar darah hitamnya yang sempat terhenti kembali dapat merekam sejarah senja itu.Para malaikat pun sibuk mendengar benturan argumentasi antar anak manusia yang memikul amanah RDK di pundak dan pikiran mereka, berdebat tuk wujudkan agama ini agar tegak di bumi yang telah dihadiahkan Sang Pencipta kepada mereka. Mereka telah sesak menghirup udara yang penuh dengan  kekufuran, penindasan, ketidakadilan, dan kebohongan nyata. Lalu anak manusia itu bertanya, akankah makhluk dunia terus menikmati kepedihan dan kerusakan alamnya ini, atau bersediakah kita sedikit mengalirkan darah dan keringat tuk membawa keindahan dan kedamaian surga ke bumi. “Lakukanlah pilihan yang kedua” usul malaikat sambil tersenyum.

Terhambat pikiranku tuk ungkapkan kembali apa yang terjadi senja itu di salah satu sudut rumah Allah di kampus biru. Mungkin karena terlalu banyak kisah dan keceriaan yang terjadi di sana sehingga jemari ini merasa tak mampu terus menekan tombol-tombol pada keyboard tuk menceritakan itu semua, atau mungkin karena luapan jiwa yang tak sabar menunggu tuk membagi kisah perjalanannya dalam bulan yang selalu diharapkan kedatangannya oleh setiap makhluk yang mengerti akan keistimewaannya.

Ramadhan 1430 H berawal sini,

Senyum ketulusan dari mentari menyambut kehadiran bulan yang mulia ini. Lantunan ayat suci mengisi kekosongan sudut-sudut kota bersaing dengan jahatnya deru mesin penguasa jalanan. Sang penghasut yang terusir dari surga pedih merintih memohon kebebasan tuk kembali membisikkan harapan kosong kepada budak-budaknya agar durhaka kepada Tuhannya.Tapi apa daya sang iblis, ia tidak sangup melawan Tuhan yang telah berjanji bahwa ketika tamu agung ini datang tak kan membiarkan sosok sepertinya berkeliaran di bumi.

Tak ada lirik lain yang sempat kuingat selain deretan cinta dalam harmoni ramadhan. Disini aku belajar mencari kebersamaan dalam penderitaan, memancarkan cahaya kasih sayang walau hati terbalut awan kegalauan, melukiskan senyuman walau kedihan tlah terpahat dalam, belajar tuk memahami warna-warni setiap karakter manusia. Disini, air mata kekecewaan akan dunia berubah menjadi tetesan mutiara kehidupan yang penuh makna dan kan terus tersimpan di lemari kaca ruangan salah satu sudut masjid kampus.

Terselip sebuah nama dalam doa berharap akan keselamatannya saat senyumnya tak terlihat di ruangan itu. Ribuan tanya terdengar karna apa gerangan ia tak memenuhi ruangan ini dengan hembusan napasnya, celotehan ringannya, dan gerak-gerik dirinya. Itulah kebersamaan.

Peluh-peluh yang menetes di wajah mereka menandakan bahwa RDK ini bukanlah sekedar acara yang hanya menjadi rutinitas pengisi papan putih di ruangan utama, tapi disinilah kita memulai merajut mimpi-mimpi kita tuk menjadikannya hamparan ayat Tuhan yang akan menghapus air mata dunia ini karena telah lama terpenjara oleh  kemusrikan dan terhalangi oleh topeng kebohongan.

Saat amanah ini diletakkan di atas pundakku, milyaran sel di otakku berkejaran memikirkan apa yang akan kami lakukan nanti. Mampukah aku ?, pantaskah aku memikul beban ini ? jutaan pertanyaan itu di jawab oleh dirinya “Ya, kamu pasti bisa”

Banyak hal indah yang terlukis di atas kanvas putih berlabel danus RDK. Saat jiwa ini terseret dalam derasnya tuntutan keuangan yang terus ditanyakan oleh pemimpin RDK dan para pejuang yang lain, sempat terlintas dalam benak yang dhaif ini tuk meletakkan pelan-pelan amanah ini, membiarkannya diambil oleh yang lain atau terabaikan bahkan ,karna jiwa ini telah lelah, raga ini telah rapuh, dan pikiran ini telah gelap. Tiba-tiba malaikat dan bidadari itupun turun ke dasar jurang tuk mengangkatku, memberikan sebagian nafasnya kepadaku, mengingatkanku kembali untuk apa aku terlahir. Ya, walau hanya ucapan kecil yang mungkin tak sengaja terucap dari bibirnya “ gimana kabarnya?”, “semangat ya akh” , “kalau da yang bisa dibantu ngomong aja, jaga kesehatan ya” itu mampu menghidupkan kembali semangat yang hampir padam, menegakkan lagi raga yang telah hancur, mengembalikan kembali senyuman yang sempat hilang.

Tak hanya saat aku merasa hampir kalah, saat aku aku dibutakan oleh bayang-bayang keberhasilan. Kesibukan yang menjauhkan aku dari uluran tangan Sang Maha Pengasih. Malaikat dan bidadari itu kembali datang, menyadarkan diri ini dari kekhilafan. Melihat mereka begitu khusyuk menyanyikan ayat-ayat cinta dari Tuhan, ajakan mereka tuk menghadiri forum ilmu yang dikelilingi oleh para malaika yang diutus oleh Penciptanya, nasehat-nasehat kecil yang penuh makna, telah menyelamatkan aku dari jurang kesia-siaan.

Wahai angin masihkah kau mendengar, teriakan semangat dari jiwa pejuang RDK. Mereka tak hanya sekedar sbekerja tetapi juga berdoa, tak hanya sekedar tertawa tetapi juga mengangis memohon ampunan Tuhannya,  tak hanya sekedar menyapa tetapi juga ingin memahami isi hati saudaranya. Ingin ku tetap disini menatap wajah-wajah peuh keceriaan meskipun ribuan ton masalah menimpanya. Karna disini aku menemukan kedaiman dan jawaban dari kata ukhwah. Angin, tolong sampaikan harapanku ini kepada yang lain?

Di sini ada ribuan kisah jutaan senyuman. RDK 1430 H.

dalam mendung awal oktober 2009

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.