Memaknai Hadirnya Masalah

masalah

Setiap insan sesungguhnya pernah merasakan masalah dalam hidupnya. Entah masalah itu berat bagi dirinya, atau bisa jadi masalah itu bukan berarti apa-apa bagi dirinya. Semuanya terjadi dalam konteks ketidakidealan dari apa yang setiap insan yakini sebagai idealisme. Karena masalah sejatinya merupakan segala sesuatu yang berseberangan dengan apa yang setiap insan yakini sebagai suatu prinsip yang ia anut dalam kehidupan. Dan masalah dapat berimplikasi pada banyak hal, tergantung bagaimana masing-masing insan menyikapi masalah tersebut dan dimana ia menempatkan permasalahan itu pada dirinya. Dan permasalahan itu sendiri bisa bersumber dari dalam diri setiap insan bisa pula permasalahan itu adalah produk dari interaksi antar sesama insan.Masalah dapat berimplikasi pada rasa kekecewaan ketika seorang insan tidak mengelolanya dengan baik.  Dan kekecewaan itupun, keberadaanya bisa jadi berlarut-larut hinggap dalam diri manusia dan bahkan bisa jadi membutakan manusia. Rasa kecewa adalah satu hal yang wajar sebagai salah satu bentuk respon dari suatu permasalahan yang manusia rasakan. Rasa kecewa muncul ketika hati sebagai pabrik perasaan tidak terkelola dengan baik ketika seorang insan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan dalam hidupnya. Dan ini menunjukkan jenis pertama ketika seorang insan dihadapkan pada permasalahan.

Perlulah setiap insan sadari bahwasannya ketika permasalahan itu membuat diri-diri setiap insan buta, maka akan terjadi banyak kedzaliman. Karena buta, maka seorang insan bisa jadi menyalahkan hal yang benar dan juga sebaliknya, membenarkan hal yang salah. Oleh karenanya pengelolaan rasa kecewa begitu berarti bagi setiap insan. Dengan maksud agar hadirnya suatu masalah tidak memunculkan permasalahan-permasalahan tambahan yang semakin memberatkan. Maka, sungguh beruntunglah bagi seorang insan yang memaknai permasalahan yang bisa jadi hadir di dalam hidupnya dengan penuh kesabaran dan diterima serta dikelola dengan baik oleh hati tiap-tiap insan.

Menjadi insan yang menghadapi permasalahan dengan kesabaran dan keikhlasan adalah satu pencapaian yang begitu membanggakan. Dengan memaafkan apa saja yang bersinggungan dalam dirinya, entah yang berasal dalam diri maupun yang berasal dari luar, menjadi nilai positif tersendiri yang tersimpan dalam kehidupan seorang insan. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi tidaklah kemudian direspon dengan tindakan yang malah berpotensi memunculkan permasalahan tambahan, melainkan permasalahan tersebut diselesaikan hingga tidak ada lagi permasalahan yag bermunculan selanjutnya.

Pada hakikatnya setiap permasalahan pasti diberikan oleh Allah ta’ala kepada setiap insan. Diberikannya permasalahan tersebut kepada setiap insan semata-mata hanyalah untuk mengetahui kadar keimanan masing-masing insan. Seberapa jauh seorang insan ketika menjalani kehidupannya benar-benar berikhtiar dan bertawakal setelahnya setiap menemukan permasalahan-permasalahan yang ia hadapi. Maka tatkala seorang pedagang diberikan permasalahan berupa kerugian maka sesungguhnya dengan masalah tersebut seorang pedagang dapat teruji keimanannya ketika pedagang tersebut memilih untuk bertahan untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dalam Islam.

Selain yang sudah disebutkan sebelumnya pada bagian awal bahwa permasalahan dapat membuat buta seorang insan yang sedang dirundung masalah, permasalahan pun dapat berimplikasi pada impotensial seorang insan dalam menghadapi masalah itu sendiri. Maksudnya adalah yang bersangkutan merasa dirinya tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Di dalam dirinya hanya ada rasa pesimis. Rasa pesimis tumbuh subur dalam diri seorang insan ketika hal mendasar yang disebut dengan keimanan tidak kuat menghujam dalam diri seorang insan tersebut. Padahal Allah sesungguhnya secara tidak langsung memotivasi setiap insan karena Allah ta’ala sendiri tidak akan pernah memberikan suatu permasalahan yang darinya tidak dapat diselesaikan oleh insan itu sendiri. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 286 bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Sehingga tidak alasan sesungguhnya bagi tiap-tiap insan untuk tidak berikhtiar terlebih dahulu untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang ada dalam kehidupannya sebelum berserah diri pada dzat yang menentukan segalanya.

Pesimistis akan sebuah permasalahan merupakan penyakit yang harus dihindari. Pesimis akan terus lebih membahayakan ketimbang salah dalam bertindak ketika menghadapi masalah. Karena dengan pesimis, seakan-akan ia layu sebelum berkembang. Tidak ada rasa percaya yang dibangun dalam dirinya, bahwa saya pasti akan bisa menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga, ketika seorang insan sedang dihadapkan pada sebuah permasalahan maka janganlah kemudian ia mengeluh pada Rabbnya, “Yaa Rabb, aku memiliki masalah yang besar”, akan tetapi berlakulah seperti layaknya pemberani, “Wahai masalah, aku memiliki Rabb Yang Maha Besar”. Permasalahan pasti akan terselesaikan ketika seorang insan yakin dan percaya bahwa setiap permasalahan bermula dan berakhir atas izin-Nya.

Sejatinya kita masih beruntung karena seberat-beratnya masalah yang kita hadapi masihlah jauh kadar kesulitannya dibanding umat Islam terdahulu. Para Nabi dan Rasul beserta keluarga dan sahabat ketika itu mengalami permasalahan yang jauh lebih berat dibandingkan saat ini. Seperti halnya Nabiullah Yusuf ‘alaihi salam saat dihadapkan dengan situasi sulit ketika dirayu oleh seorang imro’atul aziz . Juga Nabiullah Musa ‘alaihi Salam ketika dihadapkan pada ummatnya yang membangkang dan sama sekali tidak patuh yaitu bani Israil. Kemudian Rasulullah Muhammad shalallhu ‘alaihi wa salam yang banyak menghadapi cercaan, cemoohan, cacian, tudingan demi untuk menyampaikan risalah mulia yaitu dienul Islam. Dari mereka, sudah sepantasnya banyak ibrah yang dapat di ambil oleh setiap insan. Bagaimana Nabi dan ummat Islam terdahulu menunjukkan baiknya adversity quotient atau kemampuan untuk tetap tegar dalam menghadapi tantangan hidup yang mereka miliki.

Oleh karenanya, tumbuhkanlah optimis dalam diri-diri setiap insan. Agar dengan optimis tersebut dapa diraih keberkahan dalam hidup. Tidak menjadi insan-insan yang fatalis terhadap segala permasalahan dan tekanan yang merundung, melainkan menjadi insan-insan yang senantiasa menjaga husnudzonnya kepada Rabbnya karena ia pasti  berjalan dalam menghadapi masalah bersama Rabbnya. Semoga kita menjadi insan yang senantiasa kuat dan tangguh dalam menghadapi masalah.

Oleh : Aqil Wilda Arif

Mahasiswa Teknik Industri UGM 2007

Ketua Jamaah Shalahuddin UGM 1431 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.