Rich Da’i, Poor Da’i

dakwah2

“Nahnu Du’at Qobla kulli syai’in (kita adalah da’i sebelum menjadi apapun)”


Ungkapan diatas sering kita dengar dan mungkin selalu disampaikan oleh para aktivis dakwah dalam meyakinkan dirinya dan orang lain bahwa profesi mula seorang muslim menjadi apapun adalah bertugas menyampaikan risalah dakwah Rasulullah SAW kepada umat islam.

Sebagai agent of change, seorang Da’i tidak terlepas oleh dinamika kehidupan, baik dari kehidupan personal maupun secara kolektif. Salah satu yang harus kita pahami dalam menjalankannya adalah kebutuhan seorang Da’i dalam Iqthisody-nya (kewirausahaan).

Berbicara tentang amal ke-ekonomian, seorang da’i memutar dalam dua perspektif yaitu penting atau tidak penting amal iqthisody (kewirausahaan) ini dalam membangun dakwah itu sendiri.

Dalam anggapan pentingnya amal ini, seorang da’i akan mempunyai alasan kuat dengan mengkorelasikan kemajuan dakwah islam. Sebagian besar para da’i berpendapat bahwa amal ini akan menjadi penegak punggung dakwah ini, karena dakwah ini adalah integral dari satu aspek dengan aspek yang lainnya, amal ekonomi dengan amal kaderisasi, amal sosial dengan amal ekonomi, dan begitu pun seterusnya. Faktor kebutuhan dalam dakwah menjadi alasan mengapa amal ini harus menjadi bagian yang harus ditegakkan. Dakwah bagi para da’i dengan melihat pentingnya amal ini adalah agar dakwah ini diterima oleh masyarakat kita. Ibarat motor dengan bensin, sebuah motor dengan bensin di dalamnya tidak akan berjalan bila tidak ada bahan bakar didalamnya. Begitupun dengan dakwah islamiyah bila tidak ada penegakan dari sisi keekonomian maka perjalanan risalah ini juga akan bermasalah.

Dalam sisi anggapan, para da’i yang tidak melihat amal ini penting juga memiliki alasan tertentu bahwa dakwah ini akan tetap berjalan tanpa adanya amal ini sendiri. Dalam alasan lainnya adalah masalah tidak totalitasnya dalam melaksanakan tugas dakwah sehingga masih banyak masalah umat yang muncul akibat terlalu mengurusi amal iqthisody (kewirausahaan) ini. Yang terpenting anggapan mereka adalah fokus dengan tugas dakwah saja, sudah cukup bagi mereka.

Wahai saudaraku . . .

Dari dua sisi anggapan ini, duanya mempunyai niat yang baik untuk memajukan dakwah islam. Tidak ada yang salah dalam cara berpikir mereka, namun coba kita ambil hikmah mengenai fenomena fatamorgana di gurun pasir, terlihat oleh mata seperti ada oasis (tempat ditumbuhi pepohonan dan adanya air seperti danau), namun apa yang terjadi ternyata itu adalah ilusi . . .

Ilusi merupakan fenomena ketika keinginan dengan realita tidak tercapai. Hubungannya dengan amal iqthishody ini sangatlah kuat, contoh kasus dalam dakwah kita adalah ada seorang da’i yang ingin menyadarkan masyarakat dalam pedesaan dengan mengenalkan mereka dengan Robb-nya, sedangkan masyarakat tersebut tengah berada dalam kondisi perut kelaparan. Dan apakah yang akan terjadi ? Maka yang terjadi justru penolakan terhadap si Da’i tadi. Inilah ketika keinginan bertemu dengan realita. Ya, benar bila dalam masyarakat tersebut belum paham benar dengan nilai-nilai islam, Al-Qur’an dan belum juga mengenal Robb-nya. Namun, masalah yang mereka hadapi terlebih dahulu adalah kelaparan dan yang dibutuhkan adalah makanan, ketidaksadaran Si Da’i tadi dalam menyampaikan dakwahnya belum memenuhi kebutuhan apa-apa yang terlebih dahulu diperlukan oleh mayarakat. Kebutuhan makanan berkaitan dengan amal iqthisody (kewirausahaan) karena tanpa kita mengadakannya, dakwah pun akan tersendat dan mengalami persoalan seperti si Da’i tadi.

Itu hanya sebagian contoh yang terjadi di beberapa kalangan Da’i kita, baik yang terjun di masyarakat maupun yang terjun dlam institusi (kantor, kampus, sekolah, dll),

Ust. Anis Matta pernah memberikan kutipannya mengenai pentingnya amal ini sewaktu memberikan taujih di Jogja, bahwa “Kemajuan dalam pendidikan maliyah (keuangan) turut memiliki peran yang dominan sebagai penegak punggung dakwah kita”

Seorang Da’i yang optimis dengan menegakkan amal ini juga akan menegakkan dakwah islam, maka dengan niatan lillahi ta’ala, Da’i itu pun akan terus bekerja dan berusaha. Dengan bermodal DUIT (Do’a, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakkal), Insya Allah akan dimudahkan dalam urusan kehidupannya. Ia yakin kebutuhannya tidak hanya mencukupi kebutuhan umat ini namun kebutuhannya dan keluarganya pun menjadi tanggung jawabnya. Dalam berumah tangga pun. Amal ini pun wajib dilakukan oleh seorang suami untuk menafkahi keluarganya, seorang bapak bertanggung jawab terhadap biaya pendidikan anaknya, dan sebagainya. Bagi mereka dengan usaha yang halal, insya Allah akan meridhoi langkah mereka, baik mereka yang mau terjun dlam keprofesian (dokter, kontraktor, pengacara, dll) maupun bagi mereka yang membangun usahanya.

Sebaliknya, bagi Da’i yang hanya mencukupkan dirinya dengan penyampaian dakwahnya tanpa berusaha mencari rezeki yang telah disediakan Allah baginya di dunia. Mungkin akan ada ketimpangan dalam hidupnya, dan hanya berucap rezeki dari Allah dan tidak berusaha membagi waktu untuk mencarinya. Dan ada sebagian hanya berdo’a saja tanpa adanya usaha. Keadaannya hanyalah pasrah apa yang terjadi. Namun tak beriktiar untuk memperbaiki. Hikmah surat Ar-Ra’du : 13 akan menjadi hikmah dalam memahami ini.

Da’i yang kaya bukan berarti ia memiliki harta yang diinginkannya tapi hakikatnya adalah keoptimisan dalam berusaha dalam menegakkan amal iqthisody (kewirausahaan) dalam dakwah yang ia lakukan. Sebaliknya, Da’i yang miskin adalah mereka yang memupuskan niatnya untuk menegakkan amal ini dalam dakwah yang ia lakukan. Karena sebaik-baiknya guru adalah pengalaman yang berharga.

Oleh : Nasrullah Arul Izzah (Mahasiswa Teknik Fisika 2007)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.