Bahan Berbahaya Beracun (B3)

Oleh Habib Haidar
Tim Gelanggang Jamaah Shalahuddin

Pernahkah Anda mendengar soal Bahan Berbahaya Beracun, atau yang biasa disingkat dengan B3? Atau Anda juga pernah mendengar soal Ateisme? Apabila belum, barangkali kita perlu lebih banyak berdiskusi lebih lanjut. Mari kita sejenak berliterasi madani.

Kesadaran akan menjaga kebersihan menjadi sangat penting bagi kita sebagai umat manusia. Identifikasi B3 patut kita sadari dan antisipasi. Terkadang dalam hal yang sederhana pun kita lalai, seperti sisa obat-obatan yang sudah tidak terpakai, akan tetapi dibuang begitu saja. Akibatnya, sisa obat-obatan tersebut akan mencemari lingkungan kita. Ada dua solusi yang ditawarkan di sini untuk persoalan lingkungan, antara lain:

Pertama: Memperbanyak Menanam Pohon

Mengapa kita perlu menanam (kembali) pohon? Tak ayal lagi, tujuannya untuk mengembalikan cadangan O2 (oksigen) yang selama ini raup oleh ketamakan umat manusia akan kayu-kayu pohon tumbang yang hijau itu. Maka, jadilah furnitur dan perabotan rumah dari kayu. Bukan tidak boleh, tetapi perlu dibatasi dalam pemanfaatannya. Dengan demikian tercipta keseimbangan alam yang apik. Serta dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya, anak cucu kita semua.

Kelebihan oksigen dalam proses kehidupan selain untuk kebutuhan bernapas juga sebagai penangkal racun-racun yang ada dalam tubuh. Selain itu, cadangan oksigen yang berlimpah tersebut dapat memperpanjang usia kehidupan karena minimnya risiko terkena racun. Namun, tidak semua daerah memiliki cadangan oksigen yang sama. Seperti di perkotaan dan pedesaan. Jika dibandingkan, maka daerah pedesaan lebih banyak memiliki cadangan oksigen yang melimpah. Sebab itu orang yang bertempat di desa memiliki usia yang lebih panjang daripada daerah perkotaan. Itu hal yang menarik bukan?

Kedua: Menghemat Air Bersih

Sejak zaman Adam air bersih menjadi kebutuhan mendasar umat manusia. Seluruh proses kehidupan yang ada di muka bumi tak luput dari pengaruh air, terutama air bersih. Sebagai contoh, kita hidup pasti membutuhkan enegi, yang kita dapatkan dari makanan dan minuman. Prosa “makan dan minum” tak dapat dipisahkan, karena dengan kata kerja ‘makan’ ada ‘minum’. Maka, tanpa air untuk minum kita pasti tak dapat hidup. Di saat yang terpaksa pun kita bakal lebih memilih minum ketimbang makan jika satu di antaranya saja yang dapat menjadi pilihan kita.

Tubuh manusia didominasi dengan air di dalam kerangkanya. Bahkan bisa dibilang 75% dari tubuh manusia tersusun dari air. Sisanya berupa darah, liur, dan apapun sebagainya. Air memiliki beberapa manfaat untuk tubuh. Seperti melancarkan metabolisme dan menetralkan racun-racun yang ada dalam tubuh. Betapa pentingnya air bagi tubuh.

Ketika kita mencoba untuk berpikir ulang akan adanya dua komponen penting di atas, baik oksigen dan air, nantinya akan muncul beberapa persoalan. Siapakah yang membuat oksigen dan air itu menjadi ada? Atau keduanya muncul dengan sendirinya di dunia ini tanpa adanya campur tangan siapapun? Apakah umat manusia lah yang membuatnya ada? Dengan cara menanam pepohonan dan menghemat air bersih. Terus, kenapa hujan itu turun dan memberikan air bersih yang berlimpah? Atau kah ada ‘Zat’ yang menciptakan air dan oksigen tersebut?

Betapa membingungkannya pertanyaan-pertanyaan tersebut bagi para ateis, orang-orang yang tidak percaya akan adanya ‘Zat’ Yang Maha Amazing. Mereka ada dan tetap eksis di sekitar kita. Pun bisa jadi beberapa di antara kita yang sedang membaca tulisan ini adalah bagian dari mereka. Bukan menjadi ancaman, tetapi dapat menjadi bahan berbahaya dan sifatnya beracun itu yang menjadikan ‘kami’ risih. Mari kita bicarakan soal ateisme yang jadi racun yang—katanya—berbahaya itu.

Ateisme telah ada sejak beribu tahun yang lalu. Pada abad ke-19 muncul seorang filsuf Jerman bernama Nietzche (1844-1900), yang telah berani membunuh “Tuhan” dengan pernyataan dan pikirannya. Namun, pernyataan dan pemikirannya tersebut justru membuatnya hidup dalam kesepian dan akhirnya mati dalam keadaan gila. God is death, Nietzche pernah mengatakannya demikian semasa hidupnya. Akan tetapi, setelah kematiannya kita menemukan sebuah fakta di batu nisannya yang tertulis, “Nietzche is death –by God”.

Berbeda dengan para pemeluk agama, ateisme tidak mengamini transendensi (keghoiban). Justru realisme menjadi tataran paradigma tunggal berpikirnya. Untuk mengentaskan ateisme marilah kita tengok pendapat Dr. Zakir Naik yang merujuk pada surat Al Ihklas dalam Alquran yang berjumlah 4 (empat) ayat tersebut, sebagai berikut:

  1. Tuhan itu Esa. Apa benar? Masing-masing dari kita pasti sudah mendapatkan jawabannya. Esa, satu, tauhid. Oleh karenanya—justru karena Satu itu—tidak ada pembenaran mengenai saingannya. Sekaligus kritik terhadap Yahudi yang telah berbicara tentang Tuhan dalam bentuk jamak “Elohim” di sepanjang Taurat. Jadi, Yahudi punya banyak Tuhan. Begitu pun dengan Nasrani. Apakah Tuhan mereka pernah bertengkar? Masing-masing dari kita pasti sudah mendapatkan jawabannya.
  2. Tuhan tempat bergantung. Bak pakaian yang dijemur, pasti bergantung supaya tidak terjatuh dan menjadi kotor. Begitulah umat manusia yang dalam keniscayaannya membutuhkan tempat bergantung. Logikanya bebas. Mengapa? Karena, ‘tempat bergantung’ itu menekankan bahwa, “Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah ayat 30).
  3. Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakan. Alih-alih mengatakan bahwa Yesus (Isa AS.) adalah anak Tuhan atau hasil reinkarnasi Tuhan, lebih baik menyebutnya sebagai manusia yang beruntung, karena menjadi anak Tuhan. Apakah ini sekaligus menjadi bantahan keras paradigma berpikir trinitas.
  4. Tidak ada yang menyerupai Tuhan. Sederhananya, jika ada yang menyerupai Anda, maka dia bukan Anda yang sebenarnya. Karena Anda adalah Anda yang satu dan utama. Begitulah Tuhan. Tuhan adalah Maha Esa nama-Nya.

Tidaklah kita katakan bahwa adanya ateisme itu buruk dan menyesatkan. Justru para penganut ateisme menguntungkan sekali karena memberikan keuntungan bagi yang non-ateis agar tidak mengikuti jalan mereka. ‘Kita’ pun sebelumnya ateis. Tidak masalah. Asal kita dapat lebih banyak berpikir ulang. Apa benar kita benar-benar seorang ateis, yang mengatakan “tidak ada Tuhan” dan di sisi lain membantah akan adanya Tuhan. pakah itu Tuhan yang dimaksud? Jangan-jangan kita tidak jujur pada diri sendiri ini. Lha, itu tadi ngomongin Tuhan. Berarti percaya Tuhan dong.

Harapannya, setelah ini, kita dengan legowo membuang B3 yang terlanjur merasuki tubuh itu. So simple.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.