Geguyon Mring Gugon Tuhon (1): Intelektual dan Independensi

Oleh: Raka Nur Wijayanto

“Unlike a drop of water which loses its identity when it joins the ocean, we don’t lose our being in the society in which we live. Our life is independent. We aren’t born for the development of the society alone, but for the development of ourselves. (B. R. Ambedkar)

Menertawai Indoktrinasi

Bagi penulis, Jama’ah Shalahuddin seperti buah manggis. Mencicipinya pertama kali terasa manis, tetapi seketika berubah pahit jika telah menggigit bijinya. Pada awalnya, penulis merasa senang mengikuti keseharian di Jama’ah Shalahuddin setelah mendapatkan pengetahuan dari kakak-kakak tingkat terkait komitmen dan konsistennya lembaga ini di jalan kebaikan. Namun, tidak ada produk hasil kreativitas manusia yang tanpa cacat dan tanpa celah. Bak meningginya mentari yang menyingkap lebih banyak gelap, penulis mulai menyadari beragam ketidaksesuaian antara ekspektasi dan realitas. Salah satunya tentang konsep independensi yang didengungkan oleh para sesepuh, baik secara historis, struktural, maupun fungsional.

Penulis sering mendapatkan indoktrinasi bahwa, “Jama’ah Shalahuddin merupakan lembaga yang independen sejak awal berdirinya.” Pengutaraan dengan berbagai alasan yang memperkuat dalil tersebut−meskipun banyak di antaranya diungkapkan dalam pengandaian yang bersifat ideal− tidak memengaruhi posisi penulis yang ‘hanya tertawa’ (sudah bersikap skeptis) melihat realitas sosial yang terjadi di internal forum keluarga. Salah satunya yakni kebijakan beberapa pengurus menampakkan represi terhadap anggota forum keluarga yang berasal dari kelompok tradisionalis maupun anggota awam yang baru pada tahap ‘berniat’ untuk memperbaiki diri. Selain itu, relasi kuasa antara kelompok laki-laki dan perempuan di dalam forum keluarga tidak jarang bersifat konfliktual, dibuktikan dengan ‘kekal’-nya perdebatan mengenai hijab, jam malam, dan konten pembicaraan grup media sosial. Bahkan, di internal kelompok perempuan sendiri, dominasi praktik-praktik sosial tertentu membuat muslimat-muslimat yang berbeda pemikiran maupun berbeda praktik keagamaan merasa terpinggirkan. Mereka yang menggunakan celana maupun berhijab pendek akan di-pliriki, mereka yang tidak memanggil kakak tingkat laki-laki dengan sebutan “Pak” akan di-japri, dan lain-lain. Ketiganya memiliki akar pernyataan yang sama: ini sudah menjadi budaya yang diwariskan dari kakak-kakak tingkat terdahulu. Dari realitas tersebut, muncul paradoks jika disandingkan dengan indoktrinasi di awal paragraf. Jika memang lembaga ini sejak awal sudah independen, mengapa pada praktiknya banyak bertentangan?

Dalam sejarahnya, cukup banyak opini yang menyatakan bahwa Jama’ah Shalahuddin merupakan basis kalangan ‘tarbiyah’.[1] Perdebatan ideologis antarindividu yang menyangkut Jama’ah Shalahuddin pernah terekam pada awal-awal pembentukan KAMMI.[2] Konflik dalam pemilihan ketua Jama’ah Shalahuddin pun pernah muncul akibat perbedaan kepentingan ideologis (antara pihak yang dianggap netral dengan yang dianggap masuk golongan tertentu).[3] Tekanan terhadap anggota perempuan terkait perbedaan ukuran hijab (lebih kecil atau tidak pakai sama sekali) pernah terjadi pula.[4] Beberapa contoh tidak independen-nya praktik-praktik di dalam lembaga ini pada masa lalu−dan tentunya banyak pula yang terjadi di masa ini−memunculkan urgensi untuk merekonstruksi narasi tentang independensi Jama’ah Shalahuddin. Apa itu independensi? Bagaimana seorang intelektual muslim muda menafsirkan dan mempraktikkan aspek-aspek independensi di−dan pada−Jama’ah Shalahuddin?

Relasi Intelektual Muslim dan Independensi

Sikap skeptis terhadap dominasi maupun indoktrinasi termasuk ke dalam praktik intelektual. Menurut Williams, salah satu aspek dari intelektualitas adalah kemampuan untuk berpikir secara tajam (mental ability as well as discerning judgement). Orang-orang yang memiliki intelektualitas ialah mereka yang ‘connected to literature and advanced by literature’.[5] Tentunya, literatur yang mereka baca tidaklah ditelan mentah-mentah, melainkan dianalisis secara tajam dan mendalam melalui literatur-literatur lain, baik yang seirama maupun yang berseberangan. Mengapa perlu yang seirama? Cara tersebut digunakan untuk mencari argumentasi-argumentasi tambahan yang memperkuat tesis sebelumnya. Lalu, mengapa perlu yang berseberangan? Tentunya, hal tersebut ditujukan untuk menemukan celah kekurangan yang ada dalam tesis tersebut dan mencari alternatif tesis lain dengan argumentasi yang lebih logis. Maka dari itu, doktrin-doktrin yang ada pada literatur tidaklah tepat untuk dijadikan titik final pencarian, justru doktrin tersebut seharusnya dijadikan sebagai titik awal pencarian pada literatur-literatur yang lain.

Perlu diingat, literatur yang dimaksud dalam paragraf sebelumnya tidak hanya berarti bacaan dalam arti denotatif. Realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di Jama’ah Shalahuddin, juga merupakan ‘bacaan’ yang dapat menjadi objek analisis. Bagi anggota-anggota baru, banyak pemahaman-pemahaman yang diberikan oleh senior mereka. Ada yang berupa saran, ada yang berupa perintah, ada yang berupa larangan. Ada yang berbentuk kalimat dialektis, ada pula yang berbentuk dalil ‘gugon tuhon’. Sebagai intelektual muslim muda, tentunya hal yang pertama perlu dilakukan adalah mendengarkan hingga selesai. Seorang intelektual idealnya menerima informasi secara utuh sehingga ketika terdapat ketidakjelasan informasi perlu ditanyakan atau diklarifikasi ulang. Tidak ada yang salah dalam proses serah-terima maupun tukar-tambah informasi dalam fenomena tersebut, kecuali jika salah satu di antaranya menggunakan cara penyampaian yang opresif/intimidatif. Cara penyampaian yang opresif/intimidatif (frontal/halus, fisik/lisan/bahasa tubuh) sebagai salah satu bentuk indoktrinasi tidak diperkenankan dilakukan karena ada unsur pemaksaan. Jika ditemui keadaan demikian, seorang intelektual perlu menggali secara utuh informasi yang diberikan. Kemudian, dia perlu memberikan pandangan sesuai argumentasi yang dia anggap salah dari informan dan yang dia anggap benar dari dirinya. Jika proses tawar-menawar tidak menemukan titik temu, maka dia perlu memberikan penekanan untuk menghargai perbedaan pemahaman di antara mereka serta tidak tepat memaksakan argumentasi kepada orang lain yang memiliki perbedaan pemahaman.

Menjadi intelektual muslim berarti menjadi muslim yang mampu membaca situasi yang dihadapi, termasuk membaca adanya diferensiasi pemikiran antara dia dan orang lain, antara satu dengan yang lain. Nicholas Humphrey, salah satu psikolog Inggris, menjelaskan bahwa setiap orang memiliki cara berpikir yang berbeda mengingat pengalaman seseorang memiliki peran sentral dalam tiap-tiap perkataan yang diucapkan.[6] Oleh karena itu, dalam implementasinya tiap anggota Jama’ah Shalahuddin perlu meyakini adanya perbedaan pemahaman di antara mereka, mengingat tiap orang memiliki pengalaman masing-masing yang berbeda. Anggota dengan status yang lebih tinggi tidak serta-merta memiliki legitimasi untuk melakukan indoktrinasi, anggota dengan umur yang lebih tua tidak pula memiliki legitimasi, serta anggota dengan pengetahuan teoretis yang lebih mumpuni pun demikian. Semua anggota punya hak yang sama untuk mempertanyakan, memberikan argumentasi yang berlawanan, dan memposisikan diri pada tempat yang berseberangan atas informasi-informasi yang diberikan dari orang lain.

Membangun Independensi Lembaga, Menjamin Independensi Individu

Jama’ah Shalahuddin sebagai lembaga independen yang tidak berafiliasi dengan gerakan manapun merupakan nilai fundamental historis yang hingga kini tertanam dalam produk hukum kelembagaan. Hal tersebut berkonsekuensi pada keharusan tiap anggotanya untuk mengarahkan−sekaligus menjaga−Jama’ah Shalahuddin pada status independen. Namun, pertanyaan penting lantas muncul terkait hal tersebut. Apa makna lembaga yang berstatus independen? Bagaimana praktik-praktik yang sejalan dengan independensi lembaga? Di mana seharusnya lembaga ini berpijak demi memelihara independensinya?

Dalam sejarahnya, independensi Jama’ah Shalahuddin sering dipertanyakan oleh sebagian pihak. Akan tetapi, tidak semestinya fenomena tersebut diungkit-ungkit sebagai bahan indoktrinasi dalam menyalahkan lembaga ini. Polemik relasi lembaga ini dengan berdirinya KAMMI pada akhir tahun 1990-an, posisi riskan lembaga ini menanggapi kedatangan Irshad Manji satu dekade setelahnya, dan suara-suara sumbang yang diterima akibat mendatangkan tokoh-tokoh yang dianggap kontroversial oleh sebagian umat Islam dua tahun belakangan ini hendaknya menjadi pembelajaran bagi para anggota Jama’ah Shalahuddin untuk lebih komprehensif dalam membaca situasi ke depannya. Jama’ah Shalahuddin memiliki dwistatus sekaligus: unit kegiatan mahasiswa dan lembaga dakwah kampus. Sebagai unit kerohanian mahasiswa, Jama’ah Shalahuddin perlu membaca secara langsung sekaligus menaati ketentuan-ketentuan formal universitas. Sementara itu, sebagai lembaga dakwah kampus, Jama’ah Shalahuddin perlu memfokuskan geraknya pada pemenuhan kebutuhan rohani pada mahasiswa dan masyarakat yang beragama Islam. Sejalan dengan dua status tersebut, Jama’ah Shalahuddin tentunya perlu berperan aktif untuk membuka forum-forum diskusi dengan pihak rektorat serta pihak-pihak di kalangan umat Islam yang menganggap lembaga ini tidak independen. Sangat mungkin terjadi budaya-budaya dan dominasi pemikiran yang saat ini eksis di Jama’ah Shalahuddin ternyata sangat bias dan tidak merepresentasikan nilai setiap golongan umat Islam sehingga tidak salah jika anggapan tentang tidak independennya lembaga ini terus-menerus mengemuka dari waktu ke waktu. Benar ataupun salah terkait pernyataan di atas, setidaknya ada satu pelajaran penting bagi seluruh anggota bahwa ketidaksempatan−bisa juga ketidakmauan−seorang muslim untuk membaca realitas umat muslim di sekitarnya menjadi salah satu batu sandungan menuju status intelektual muslim.

Untuk menjaga independensi Jama’ah Shalahuddin, salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menjaga heterogenitas anggota. Menjaga heterogenitas harus dilakukan dalam dua ruang sekaligus, yakni ruang eksternal dan internal. Dalam ruang eksternal, Jama’ah Shalahuddin perlu lebih intensif bergerak pada ranah akademik alih-alih reaktif pada ranah politik. Ruang gerak di universitas seharusnya membuat intensitas gerak lebih banyak menyasar golongan pembelajar, sangat berbeda dengan ruang gerak di masjid-masijd umum maupun pergerakan-pergerakan Islam lain dengan karakteristik sasaran gerak yang masing-masing berbeda. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat Jama’ah Shalahuddin menutup diri, melainkan aktif membangun relasi. Status intelektual yang haus akan ilmu tentunya menjadi pendorong setiap anggota untuk menggerakkan lembaga ini aktif berjejaring tukar-menukar pengetahuan dengan lembaga-lembaga lainnya.

Pada ruang internal, Jama’ah Shalahuddin perlu membuka ruang diskusi dan peningkatan literasi seluas-luasnya kepada setiap anggotanya. Budaya diskusi lintas pikiran dan kritis terhadap kebijakan lembaga perlu ditanamkan. Lembaga ini perlu mendorong setiap anggotanya untuk membangun keberanian dalam menyuarakan perbedaan sebagai bukti dari adanya heterogenitas. Dengan memberikan ruang bagi suara-suara yang berlawanan, maka akan terbentuk budaya diskusi sehingga peningkatan literasi bagi anggota akan lebih efektif alih-alih menggunakan metode indoktrinasi. Dengan demikian, kesadaran akan keberagaman perspektif akan muncul di benak anggota, memancing mereka untuk membaca literatur-literatur lain, proses berpikir mereka berkembang dengan meningkatnya intensitas mereka membaca literatur, hingga terwujudnya seorang intelektual berdasarkan salah satu karakteristik yang dijabarkan oleh Jeffrey Williams.

Tertawa dalam Independensi

Menjadi intelektual muslim berarti menjadi analis yang komprehensif dengan menggunakan perspektif Islam. Analis yang komprehensif memadukan pengetahuan berbagai tulisan yang dibaca dengan penangkapan berbagai pengalaman individu yang diindera. Dengannya, dapat tumbuh seorang yang mampu memilah dan memilih. Apa yang baik jika dipraktikkan pada diri sendiri belum tentu baik jika dipraktikkan oleh orang lain. Semua tidak semata-mata tentang tujuan kebaikan maupun kebaikan sebagai konten itu sendiri. Situasi objek yang disasar, relasi subjek-objek, dan metode penyampaian juga perlu diperhatikan agar dampak selaras dengan tujuan.

Penulis adalah pembelajar mula yang menulis tulisan singkat ini dengan analisis yang tidak mendalam dan dengan tingkat subjektivitas yang tinggi. Tujuannya untuk membuka budaya diskusi dan memancing para pembaca untuk meningkatkan literasinya dengan berani menyuarakan pertanyaan dan pernyataan atas hal-hal yang mungkin dianggap tabu untuk dibicarakan, contohnya terkait sisi lain Jama’ah Shalahuddin di masa lalu maupun eksisnya beberapa praktik yang membudaya di Jama’ah Shalahuddin saat ini. Jika sebagian pembaca tidak menyetujui dengan opini penulis, ingatlah bahwa apa yang penulis sampaikan adalah opini, bukan indoktrinasi. Jadi, tidak perlu dirisaukan secara berlebihan. Bila tidak sempat waktu untuk membuat opini yang berseberangan, apa yang penulis jelaskan cukup ditertawakan saja, sama seperti saat penulis menertawakan apa yang penulis anggap sebagai indoktrinasi yang eksis hingga saat ini. Setidaknya, sikap menertawakan itu dikarenakan kecacatan opini penulis, bukan dari sikap inconsequential blaming, seperti semua yang ditulis adalah salah karena penulis merupakan insan penuh dosa, ataupun semua yang ditulis tidak berkah karena penulis merupakan insan kidal−yang mana kata beberapa tetangga penulis dahulu dianggap tangan setan−. Akan lebih baik lagi−dan memang seharusnya−, sikap menertawakan itu sekaligus menjadi refleksi untuk saling meningkatkan literasi, baik dari dalam diri penulis sendiri maupun dari para pembaca.

[1] Arya, ‘3 Persepsi Keliru Masyarakat mengenai Jamaah Shalahuddin UGM’, WordPress (daring), 10 Oktober 2011, <https://namakuaryapradipta.wordpress.com/2011/10/10/3-persepsi-keliru-masyarakat-mengenai-jamaah-shalahuddin-ugm/>, diakses 13 Desember 2018

[2] Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, ‘Ahmad Rizky Mardhatilah Umar: Tarbiyyah yang Dikembangkan PKS Sudah Mentok’, IndoProgress (daring), 19 Desember 2014, <https://indoprogress.com/2014/12/ahmad-rizky-mardhatilah-umar-tarbiyyah-yang-dikembangkan-pks-sudah-mentok/>, diakses 13 Desember 2018

[3] Anonim, ‘Kesaksian Mantan Kader Tarbiyah di Jama’ah Shalahuddin UGM’, Pantau Shalahuddin UGM (daring), 28 Maret 2009, <http://jsugmwatch.blogspot.com/2009/03/kesaksian-mantan-kader-tarbiyah-di.html>, diakses 13 Desember 2018

[4] Feriawan, ‘Diskusi Dengan Gus War’, WordPress (daring), 26 Agustus 2008, <https://feriawan.wordpress.com/2008/08/26/diskusi-dengan-gus-war/>, diakses 13 Desember 2018

[5] Williams. Jeffrey, How to be an Intellectual: Essays on Criticism, Culture, and the University, Fordham University Press, New York, 2014, p. 38

[6] Humphrey. Nicholas, ‘The Social Function of Intellect’, ResearchGate (offline), January 1976, p. 3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.