Catatan Hidup Seorang Kader : It’s My Way

bali

Akhir Januari 2011, keluarga saya memperoleh kehormatan untuk menjadi tuan rumah bagi teman-teman organisasi saya – Jamaah Shalahuddin UGM, yang notabene merupakan lembaga dakwah kampus- yang berkunjung ke Bali. Mungkin orang luar akan menaikkan alis bertanya-tanya, untuk apa kader lembaga dakwah kampus pergi ke daerah yang sering dianggap sebagai sarang maksiat ini .Namun tentu saja rangkaian perjalanan kami ini tidak sama dengan perjalanan wisata yang biasa dilakukan oleh rombongan sekolah atau kantor. Memang, bisa dikatakan ini adalah agenda rihlah. Tapi kami berusaha agar apapun yang kami lakukan bisa bernilai ibadah. Jadi yang kami lakukan selama ada di pulau tempat kelahiran saya ini antara lain adalah memperbanyak silaturahim. Selain rumah saya, kami bersilaturahim ke rumah seorang rekan kami yang bertempat tinggal di kabupaten lain. Selain itu kami juga bersilaturahim ke Ustadz, serta ke dua lembaga dakwah kampus yang ada di dua Perguruan Tinggi Negeri yang ada di provinsi ini. Dari kunjungan-kunjungan tersebut, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang terontar dari rekan-rekan saya. Entahlah… saya merasa rekan-rekan saya yang merupakan para aktivis dakwah kampus sudah memiliki pendapat awal tentang pulau ini, dan pedapat ini sepertinya banyak yang bersifat negatif. Jadi bisa dimengerti kenapa mereka terkesan terheran-heran ketika di tempat ini pun tetap ada penggerak-penggerak yang berusaha memperjuangkan dien ini.

Semua itu membuat pikiran saya menjadi campur aduk. Tidak jelas, perspektif mana yang saya gunakan. Empat tahun lalu, saya pasti masih menggunakan perspektif teman-teman yang kami kunjungi ini, karena saya merupakan bagian dari mereka. Seperti apakah perspektif tersebut? Perspektif tersebut melibatkan perasaan ingin berjuang dan bertahan, namun di satu sisi juga merasa putus asa karena tidak bisa melakukan banyak perubahan. Waktu itu saya berpikir “hei.. kalian para aktivis di pulau jawa hanya sanggup berkoar-koar, tapi kalian tetap bertahan di zona aman dan nyaman kalian. Kalian tidak mengalami cobaan yang kami alami di sini sebagai kaum minoritas. Kalian hanya berdiri di sana, melihat kami, dan menaruh belas kasihan”. Kurang lebih seperti itulah perasaan saya saat itu. Terkadang pemikiran itu menjadikan kami permisif dengan keadaan kami yang stagnan, karena tidak jarang saya berpikir “wajar lah, kalau teman-teman aktivis di daerah mayoritas bisa melakukan pencapaian yang luar biasa, karena situasi dan kondisi yang sangat mendukung. Jadi wajar juga jika keadaan kami masih tertinggal”. Namun itu dulu.. empat tahun lalu…. sekarang, saya sudah berada di posisi yang berbeda. Saya telah tergabung ke para ‘aktivis daerah mayoritas’ tadi. Saya jadi paham, daerah mayoritas pun tetap memiliki tantangan dakwah, walaupun berbeda dengan tantangan dakwah di daerah minoritas. Yaaahh.. seperti itulah campur aduk pemikiran saya. Dan mau tidak mau, hal tersebut membangkitkan memori saya ke satu fase kehidupan saya yang lain, ketika saya masih tinggal di tanah kelahiran saya.

Saya memang dilahirkan di daerah tersebut. Jadi ketika itu, saya tidak merasa ada yang salah dengan kehidupan saya. Saya selalu merasa apapun masalah yang saya alami yang berkaitan dengan agama, sudah menjadi konsekuensi saya yang menjadi masyarakat minoritas. Jadi saya pun tidak terlalu memperjuangkannya. Apa saja kah hal yang saya alami tersebut ?

Mungkin sebaiknya saya awali sejak saya duduk di bangku sekolah dasar, karena pada fase itulah saya mulai belajar mandiri, lepas dari pengaruh keluarga.

Sekolah saya merupakan sekolah negeri. Pelajaran agama yang diajarkan resmi di kelas adalah pelajaran agama yang dipeluk oleh mayoritas warga. Jadi bagi siswa dengan agama yang lain, harus mengikuti pelajaran agama di luar waktu yang resmi. Sejak SD, sering kali kami yang merupakan minoritas ini ‘diminta’ untuk tetap di kelas ketika pelajaran agama mayoritas tadi berlangsung. Tapi tentu saja kami lebih sering kabur, karena tidak ada gunanya kami mengikuti pelajaran itu. Kami juga memiliki pelajaran Muatan Lokal. Di sana kami diajarkan membuat perangkat-perangkat sembahyang yang biasanya terbuat dari janur kuning. Bahkan saat itu saya cukup mahir untuk membuat sesajen. Hati kecil saya berkata itu bukanlah hal yang benar. Tapi ketakutan saya dengan kemungkinan tidak memperoleh nilai ternyata memenangkan hati kecil saya. Saat itu saya berpikir toh juga saya cuma membuat, bukan menggunakan. Selain itu saya juga hafal tri sandya.. itu semacam mantra sembahyang yang dibaca secara jahr di waktu-waktu tertentu. Untuk yang satu ini saya tidak pernah berusaha menghafalnya. Tapi bila kita mendengarkannya minimal sehari 2 kali selama kelas 1 SD hingga kelas 3 SMA, tentu saja bisa hafal di luar kepala…

Sebagai minoritas, ada banyak hal kenangan pahit yang pernah saya alami di sekolah. Misal, ketika hanya memperoleh peringkat rendahan, padahal nilai-nilai pelajaran saya di atas rata-rata kelas. Tapi ini tidak saya alami terus menerus… lebih tergantung pada wali kelas saya: adil atau diskriminatif. Misal, ketika kelas 4 SD, selama 3 cawu saya berturut-turut memperoleh juara kelas. Namun ketika menginjak ke kelas 5, saya hanya memperoleh peringkat 8. Tapi lucunya adalah, ketika guru-guru mengadakan rapat untuk menentukn perwakilan murid teladan, saya terpilih untuk mewakili sekolah. Padahal ada banyak anak yang memiliki peringkat di atas saya. Pada awalnya wali kelas saya sangat menentang keputusan rapat guru tersebut. Tapi nasi sudah menjadi bubur: nama saya sudah disetujui. Dengan tak terduga, saya bisa menjuarai tiap tahapannya hingga berhasil hingga tingkat provinsi. Rival saya di provinsi hampir semuanya merupakan peringkat 1 di sekolahnya. Oleh karena itu banyak yang heran ketika mengetahui bahwa saya hanya peringkat 8 di sekolah. Saat itu wali kelas saya benar-benar merah padam. Kelanjutannya bisa ditebak: cawu berikutnya saya memperoleh peringkat 1 di kelas. Tapi itu tidak bertahan lama, karena semester berikutnya di kelas VI (kurikulum sudah diganti menjadi semster), saya bukan lagi memperoleh peringkat 8, tapi saya bahkan tidak memperoleh ranking sama sekali. Saya merasa nilai-nilai saya baik-naik saja. Bahkan beberapa guru jelas-jelas memberikan dukungan tersirat kepada saya. Saat itu saya benar-benar syok. Bukan karena saya ingin menjadi juara kelas. Saya syok karena merasa perbuatan mereka sangat kasar, dengan memperlakukan saya seperti itu. Tapi saya memiliki dugaan yang menjadi jawaban atas semua itu. Beberapa minggu sebelum penerimaan rapot, saya mengalami kejadian yang cukup menghebohkan di sekolah. Saat itu pelajaran PPKn. Saya selalu menebalkan telinga tiap kali pelajaran ini. Bukan karena bosan dengan pelajarannya.. tapi karena sang guru yang dengan terang-terangan membenci agama saya. Bapak ini tidak henti-hentinya menyindir agama yang saya yakini dengan sepenuh hati ini. Beliau bahkan menanamkan rasa kebencian pada murid-muridnya: rasa kebencian terhadap agama saya. Pada suatu hari saat pelajaran PPKn, ada seorang teman yang kehilangan uang sebesar Rp. 50.000 (saat itu jumlah ini sangat besar). Saat itu tuduhan langsung dijatuhkan pada 2 siswi yang duduk di pojok, yaitu saya dan sahabat saya yang tentu saja seagama denga saya. Kami tidak ditanyai apakah kami mengambil uang tersebut, tapi kami langsung digeledah dari atas sampai bawah oleh guru tersebut, dengan disaksikan semua anak di kelas (setelah saya pikir-pikir sekarang, seharusnya saat itu guru tersebut bisa kami tuntut dengan tuduhan pelecehan). Tentu saja meskipun digeledah berulang kali, barang bukti tersebut tetap tidak bisa ditemukan. Entah bagaimana, setelah itu ada seorang teman yang secara tidak sengaja melihat uang Rp.50.000,- di kantong teman sebelahnya. Setelah diusut-usut, memang anak tersebut yang mencuri. What next? Sama sekali tidak ada permintaan maaf dari sang guru atas tuduhan dan penggeledahan yang telah dilakukannya. Beliau haya berpesan pada murid-murid, agar kejadian tadi tidak dibocorkan di luar kelas. Tapi tentu saja rumor sangat cepat tersebar. Yang mengejutkan adalah, tersebar rumor bahwa saya dan sahabat saya tadi telah mencuri uang dan tidak mau mengaku. Astaghfirullah… Rasa sedih, marah, kecewa, bercampur menjadi satu. Sampai di rumah saya tidak kuasa menahan tangisan saya. Dan tentu saja orang tua dan kakak-kakak saya marah besar, setelah mengetahui apa yang menimpa saya. Keesokan harinya, kakak sulung saya yang saat itu duduk di bangku SMA, membolos dari sekolahnya dan mendatangi sekolah saya untuk menemui guru saya dan teman saya yang terbukti mencuri tadi. Tentu saja kejadian itu membuat seisi sekolah heboh, karena bukan pemandangan biasa ada anak SMA yang tidak gentar menghadapi seorang guru dan memaksa teman saya yang mencuri tadi untuk mengakui perbuatannya di depan teman-teman sekolah (padahal teman saya yang mencuri tersebut merupakan putri dari guru kakak saya di SMA). Dengan segala kehebohan yang terjadi, tidak heran kalau setelah itu saya tidak memperoleh rengking sama sekali di kelas, walaupun nilai-nilai saya berkata lain.

Kehidupan SMP dan SMA tidak banyak berbeda dengan ketika di SD. Oh iya, di sekolah negeri, siswinya tidak diizinkan berjilbab. Tapi karena saya memang tidak ada panggilan hati untuk berjilbab, saya tidak keberatan dengan peraturan tersebut. Hanya sekolah swasta islam yang mengizinkan muridnya berjilbab, dan biasanya sekolah tersebut terkenal sebagai ‘sekolah anak-anak buangan’. Makanya saya sangat heran ketika di SMP dan di SMA saya mendengar ada murid baru angkatan saya yang tidak jadi sekolah di sini karena ingin tetap berjilbab. Bahkan di upacara penerimaan siswa baru, sang kepala sekolah sempat menyinggung-nyinggung tentang anak ini, dengan mengatakan ‘sekolah ini memiliki peraturan. Bagi yang tidak siap mengikutinya, silahkan mundur dari sekolah ini’. Pernyataan tersebut merujuk pada siswi yang mundur dari sekolah kami tersebut. Saat itu saya tidak habis pikir, kenapa ada orang yang mau membuang kesempatan untuk bersekolah di sekolah favorit yang seleksi masuknya sangat ketat, dan rela bersekolah di tempat ‘level rendahan’. Tapi setelah saya lihat dengan perspektif saya saat ini, sungguh luar biasa anak tersebut, karena tidak mau menukar akhirat dengan dunia. Subhanallah… andaikan saya dulu memiliki keteguhan hati seperti itu….

Alkisah, hingga SMA saya benar-benar seperti ‘Islam KTP’. Tapi di situluh ajaibnya. Orang yang ‘Islam KTP’ pun akan tidak terima bila agamanya dilecehkan. Buktinya ya kisah-kisah yang saya alami di atas. Tidak terhitung kelakuan-kelakuan buruk yang telah saya lakukan (semoga Allah menerima taubat saya). Hingga karena suatu kejadian, hingga akhirnya di penghujung masa SMA saya mengalami ‘titik balik’ dalam hidup saya. Saya mulai sholat dan membaca Al-Qur’an lagi. Tapi saya belum memiliki kesiapan mental untuk berjilbab hingga 2 bulan berikutnya, yaitu ketika saya sudah duduk di bangku kuliah. Terserah bagaimana kalian menaggapinya, sejak awal kuliah itu saya memiliki 3 sahabat yang berbeda agama dengan saya. Ketika baru masuk, saya belum berjilbab. Perlu diketahui, jurusan yang saya pilih ini merupakan jurusan yang menjadi favorit dari PTN ini, dan sekaligus jurusan terhedon. Mba-mba senior ber-make up tebal dan berpakaian seksi, dan tidak sedikit dari mereka yang merokok. Bahkan banyak kabar burung yang menyebutkan bahwa mahasiswi jurusan ini lumayan banyak yang menjadi ‘ayam kampus’. Sepanjang sejarah jurusan ini, belum pernah ada mahasiswi yang berjilbab. Jadi bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika saya pertama kali mengenakan jilbab ke kampus. Orang-orang secara terang-terangan memelototi saya dari atas hingga ke bawah. Bisa dibilang perubahan saya saat itu lumayan drastis. Dengan sebelumnya yang tidak berjilbab dan berpakaian seperti mahasiswi kebanyakan, tiba-tiba saya berjilbab dan mengenakan rok. Untunglah ada 3 sahabat tadi yang mendukung keputusan saya, dan membela saya tiap kali ada komentar-komentar miring tentang saya. Bahkan mereka juga sangat membantu hingga temaj-teman sekelas saya akhirnya bisa menerima saya, bahkan ikut membela saya. Saat itu, dengan dukungan 3 sahabat dan teman-teman sekelas tadi, saya merasa cukup kuat untuk menghadapi perlakuan anak-anak kelas lain, para senior, dan bahkan beberapa dosen. Dengan lingkungan seperti itu, tidak heran bila saya menjadi ‘alien’ di sana. Saya tidak bisa mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, karena selain tidak tahan dipelototi orang-orang, saya juga tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut karena biasanya itu semua melibatkan aktivitas hingga tengah malam, merokok, minum minuman keras, pergaulan putra putri yang tidak terbatas, dll. Entah mengapa, sahabat saya dan sebagian besar tema saya juga mengikuti jejak saya. Mereka merasa tidak cocok dengan para senior di HMJ. Jadilah kami mahasiswa kupu-kupu, dan dianggap sebagai ‘pemberontak’. Saat itu benar-benar bukan saat yang mudah: dengan dipelototi dari atas sampai bawah tiap kali saya lewat (sambil mereka berbisik-bisik), disindir-sidir oleh dosen yang sentimen karena ada mahsiswi yang berjilbab, dan jam kuliah yang menabrak waktu sholat. Padahal untuk sholat saya harus pergi ke luar kampus untuk pulang atau numpang sholat di kontrakan akhwat, karena tidak ada mushola di kampus dan tidak ada ruang yang bisa kami gunakan untuk sholat di kampus. Tapi saat itu saya merasa masih kuat untuk menagunggnya, karena itu merupakan bagian dari memperjuangkan agama ini. Hingga di pertengahan semester 2.. saat itu saya mendengar para senior berosip bahwa saya tidak mungkin bisa mempertahakan jilbab saya, karena di semster 5 nanti ketika PKL saya harus melepas jilbab. Tentu saja saya tidak begitu saja percaya dengan rumor tersebut, dan saya mengkroscek ke keua jurusan. Namun sayangnya sang ketua jurusan membenarkan rumor tersebut. Bahkan beliau berkata ‘toh juga cuma lepas jilbab selama 1 semster’ Astaghfirullah…. beliau bilang ‘cuma’. Selama beberapa minggu berikutnya saya dan orang tua saya berusaha mencari celah agar ketika PKL di semster 5 nanti saya bisa tetap berjilbab. Tapi kami hanya menghadapi jalan buntu. Kegalauan itu diperparah dengan kejadian setelah UAS. Di salah satu mata kuliah yang saya kuasai, saya dikejutkan dengan pernyataan dosen bahwa ujian saya gagal dan saya harus menjalani remidi. Waktu itu ujiannya adalah membuat essay. Saya merasa sudah berusaha keras dalam membuat essay tersebut. Jadi tentu saja saya kaget. Bahkan teman-teman saya juga kaget. Karena orang-orang yang mereka anggap ‘sangat parah’ pun tetap bisa lulus. Saya berpikir, mungkin saya gagal karena tema yang saya pilih salah. Alasan itu terlihat masuk akal daripada kemungkinan-kemungkinan lain. Tentu saja kemudian saya mencari tau kenapa saya tidak lulus. Dosen tersebut menuduh saya melakukan plagiarisme, karena essay saya terlalu sempurna untuk ukuran mahasiswa semeter satu, padahal beliau merasa yakin belum pernah mengajarkan hingga sejauh itu. Masya Allah, saya gagal dalam ujian karena pekerjaan saya dianggap terlalu bagus. Saya bisa menebalkan telinga tiap kali dosen ini menyindir saya yang berjilbab ini. Tapi perbuatan beliau yang satu ini benar-benar keterlaluan.

Dalam keadaan putus asa tersebut, saya mendaftar SPMB. Saya tidak benar-benar berniat mencari kuliah yang lain. Karena itu saya mengerjakan soal juga tanpa belajar untuk persiapan.. Mungkin memang sudah takdir Allah… ajaibnya, saya lulus SPMB, pada pilihan pertama pula. Saya tidak menyangka bisa lulus, oleh karena itu saya juga tidak bersemangat mengecek pengumuma. Informasi kelulusan saya iitiu saya ketahui ketika salah seorang teman SMA saya (yang merupakan putri dari rektor kampus saya saat itu) mengirimkan ucapan selamat karena telah lulus SPMB. Saat itu saya bingung. Saya merasa sangat berat untuk pindah kuliah karena saya tidak ningin membebani orang tua denga biaya kuliah di kampus baru saya ini yang lumayan mahal. Alasan lainnya adalah saya merasa, bila saya pergi untuk kuliah di tempat lain, itu sama saja saya menyerah dari perjuangan yang selama ini saya lakukan. Saya tidak ingin menjadi pengecut!!!

Namun orang tua saya benar-banar mendorong saya agar mengambil kesempatan ini. Selain itu ada resiko saya harus putus kuliah bila di semster 5 nanti sayabanar-banar tidak diizinkan memakai jilbab. Belum lagi dengan sistem penilaian dosen yang tidak fair. Akhirnya Bismillah, saya putuskan untuk memutar arah, dan berharap semoga ini bukan sikap seorang pengecut, dan semoga pilihan saya ini membawa keberkahan.

Itu tadi memori yang saya simpan di suatu sudut, yang meluap kembali ketika saya dan teman-teman mengadakan silaturahim ke aktivis dakwah di tanah kelahiran saya tersebut. Memori ini saya simpan di sudut, karena bahkan hingga saat ini pun masih sangat menyakitkan ntuk mengenang semua itu.

Pesan yang ingin saya sampaikan pada teman-teman adalah, janganlah mengasihani kami yang berjuang di daerah minoritas ini. Rasa kasihan hanya membuat kami makin mengasihani diri sendiri, dan menjadi permisif terhadap keterpurukan kami. Berilah kami motivasi.. motivasi bahwa kami sanggup menghadapi semua ini.. dengan keyakinan bahwa banyak saudara-saudara di luar sana yang akan menukung kami. Karena perjuangan kita masih sangat panjang kawan… dan selalu ada tantangan yang berbeda pada tiap langkah kita.

Moga Allah memperi kita kekuatan..

Kekuatan untuk bertahan

Kekuatan untuk berjalan maju

Kekuatan untuk menghadapi terpaan

Dan yang jelas kekuatan untuk mengemban beban dakwah..

Hingga panji ini bisa beriri tegak, dan kita mendapat kehormatan untuk mengenyam akhir hidup di dunia dengan cara yang paling mulia..

Sleman, 15 Februari 2011

Oleh : Nurul Hidayati

Mahasiswa Psikologi UGM 2007

Kadept. Ekstern Jamaah Shalahuddin 1431 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.