Dunia Shafeera Chapter 1: Akad Tanpa Harap

Dunia Shafeera: Chapter 1

Permulaan. Apakah permulaan selalu berawal dari hal-hal yang baik? Yang kutahu, permulaan itu seperti bagaimana waktu pagi bertandang. Semburatnya yang memancarkan rona keceriaan berpadu padan dengan kehangatan. Dalam harap yang tiada pernah senyap. Dalam sekumpulan detik yang terus berbisik. Berbisik kepada seorang diri ini, yang tak akan mampu menampik sekawanan realita, yang kini tengah membentang sepanjang sisa usia. Lagi dan lagi, ia terus saja mengusik. Baru saja perjumpaan dan perpisahan telah bersepakat. Sedang ‘ketakutan’ tengah tertengadah sembari mendambakan sang ‘keberanian’ akan menjemputnya.

Ketika sebaris kalimat sakral itu telah terikrarkan, dan serentak seluruh saksi mata beradu kompak melantangkan kata “Sah…”, maka detik itu pula duniaku berubah.

Sepasang mata asing itu tersenyum padaku. Tapi pandanganku masih sibuk dengan dua pasang mata lain milik kedua orang yang berarti dalam hidupku. Dua orang yang menghantarkanku pada keputusan ini. Keputusan yang sebenarnya masih menyisakan tanda tanya di benakku. Namun tanda tanya itu tak cukup mengalahkan tekadku. Demi menyaksikan kelegaan dua hati yang telah membesarkanku. Mereka yang sama sekali tak pernah menyempitkan hatiku. Bahkan, untuk setiap pilihan yang aku tentukan, mereka selalu menjadi yang pertama mendukungku.

Di suatu sore di masa-masa terakhirku menjadi aktivis di kampus, tempat aku mulai menuntaskan satu per satu tanggung jawabku dalam berbagai organisasi yang kugeluti sembari menunggu wisuda. Tak terasa semua berlalu dengan cepat. Sekelebat derap-derap semangat dalam langkah-langkah kecil ketika pertama kali berjumpa dengan sederetan kesibukan sebagai aktivis kampus itu, tiba-tiba kembali menggema. Terkadang menjeda sejenak untuk sekedar menantikan serentetan takdir yang mungkin tengah bergegas padaku. Selama ini, duniaku memang cenderung berkutat dengan aktivitas kampus. Hampir seluruh waktu kuhabiskan di kampus. Mulai dari kuliah, kepanitiaan, hingga organisasi. Menurutku semua itu menyenangkan. Selain melatih skill manajemen waktu, juga memberikan bongkahan semangat untuk selalu siap menghadapi tantangan di setiap saat.

Tidak seperti hari biasanya, kali ini aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Entah mengapa hari ini rasanya sudah tak ada yang bisa kukerjakan lagi di kampus. Semua perlahan terselesaikan. Memutuskan untuk pulang lebih awal adalah hal yang tiba-tiba saja terbesitkan dalam pikiranku. Padahal biasanya aku sangat jarang pulang sore atau pulang lebih awal. Tapi tak apa. Kali ini aku ingin segera pulang dan mendiskusikan mengenai rencanaku setelah lulus. Kedua orang tuaku pasti akan sangat senang membahas hal ini.

Sebuah mobil hitam mengkilap terparkir di halaman depan rumah ketika aku sampai. Suara gelak tawa cukup keras seketika menghidupkan suasana di ruang tamu rumahku. Setelah sekian lama ruang tamu itu hampir tak pernah kedatangan tamu. Sekilas saja, tapi terdengar begitu jelas. Aku bertanya-tanya, siapa gerangan yang tengah mengembangkan tawa ayahku? Untuk menepiskan rasa penasaranku, maka aku pun memasuki ruang tamu itu seraya mengucap salam. Tiba-tiba sekumpulan pasang mata itu memusatkan pandangan mereka kepadaku, sembari membalas salam dariku. Tiga orang asing yang tidak kukenal rupanya. Ayah dengan segera memperkenalkan aku kepada mereka, begitu pula sebaliknya. Ayah bilang bahwa seorang lelaki paruh baya itu adalah teman karibnya. Di sampingnya, perempuan yang sepantaran dengan ibuku, itu adalah istrinya; sosok pemuda yang duduk di sudut ruang dan sekilas tak banyak bicara itu adalah anaknya. Sudah lama Ayah tak berjumpa dengannya.

Orang yang sering Ayah ceritakan selama ini. Si Peluh yang Tak Berkeluh, Ayah memanggilnya. Dia dulu senang sekali berujar, “Peluh itu tidak berkeluh,” pada Ayah. Katanya itu motto hidup seorang pejuang tangguh. Kala itu, dialah satu-satunya orang yang menopang Ayah di saat Ayah mengalami keterpurukan beberapa belas tahun lalu. Begitulah hingga Ayah merasa berhutang budi padanya seumur hidup.

Kali ini aku melihat dengan jelas dari raut wajah Ayah, hingga nada bicaranya, sempurna menggambarkan betapa bahagianya Ayah dengan perjumpaan itu. Ibu, apalagi. Karena dulu rupanya Ibu dan Ayah dipertemukan melalui orang itu. Seperti itulah momen pertemuan setelah sekian lama tak berjumpa. Banyak kisah yang terurai. Banyak tawa yang merekah. Banyak pertanyaan yang menerka. Panjang lebar bercerita hingga di suatu titik perbincangan itu berubah haluan. Sedemikian rupa dan tak ada sama sekali terbesit akan hal ini, tapi seketika aku diletakkan dalam dilema yang amat sangat.

Sebuah pertanyaan mendarat di kepalaku, begitu tiba-tiba hingga aku hampir tak percaya akan hal ini. Menikah? Apakah aku siap? Sedang saat itu pula, kedua orang tuaku menatapku lekat, berharap bahwa ini bukanlah ide yang buruk. Sebuah wacana yang akan menyatukan perpisahan yang telah lama berkelana. Namun rasa-rasanya tidak adil. Mengapa demi menyatukan mereka, aku yang dikorbankan? Maksudku, bukankah cukup bertemu sekali dua kali setiap pekan saja bisa, berkunjung setiap hari ke rumah pun bisa, apa harus sampai ke ranah pernikahan? Ini sedikit menggelitik, tapi cukup mengkhawatirkan. Bagaimana aku bisa menikah dengan lelaki yang tidak pernah kukenal sebelumnya? Bagaimana bisa semudah itu menjadi istri dari lelaki yang masih asing bagiku? Apakah pernikahan semudah itu?

Ayah dan Ibu… tadinya aku ingin membicarakan tentang rencanaku setelah selesai studi. Namun mengapa tiba-tiba aku dihadapkan pada pilihan ini? Bagaimana bisa aku menolak sebuah pinta dari dua hati yang telah mengalirkan ketulusan sepanjang hidupku? Untuk dua hati yang tak pernah meminta apapun padaku, kali ini hanya mengajukan sebuah pinta kecil. Sederhana saja bagi mereka, tapi ternyata tidak bagiku. Aku tahu mereka tak akan memaksaku. Namun aku bisa melihat dengan jelas gelagat itu, bahwa mereka sangat mendambakan hal ini. Lalu diriku? Entah apakah egoku memilih untuk berseteru atau bersetuju dengan wacana pernikahan itu.

Kini, terjawab sudah pertanyaan itu. Dilemaku tak membuahkan hasil. Karena pada akhirnya, keputusan ini bukan lagi tentang pilihan, tapi realita yang tak akan terelakkan. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk merajut kebahagiaan kedua orang tuaku. Maka dengan ini, aku menerimanya. Menerima keputusanku sendiri. Semoga saja benar yang kulihat hari ini.

Di balik kaca mobil yang telah berisi sepasang suami-istri ini, aku melihatnya. Mereka tengah tersenyum penuh haru. Lambai-lambaian tangan itu seperti berseru padaku, “Sampai jumpa Shafeera… duniamu akan berubah. Tidak ada yang namanya menjadi aktivis kampus lagi. Selain itu, apakah ada harapan untuk menjalankan rencana-rencana setelah selesai studi? Barangkali, semua itu hanya sebuah mimpi. Bangunlah, karena hari ini kenyataan tengah terbentang di depan mata. Ia tak akan memberimu ruang untuk bermimpi.” Butiran-butiran bening yang sedari tadi berusaha menjatuhkan diri ke bumi, yang sebelumnya hampir selalu berhasil kucegah, tak ayal jatuh juga. Sedih bertabur senang, begitulah perasanku. Kini aku hanya bisa berharap bahwa semua akan baik-baik saja. Ayah, Ibu… aku bahagia untuk kalian. Pernikahan ini tentunya tidak akan serumit yang kupikirkan. Lihat bagaimana kisah Ayah dan Ibu. Mereka dipertemukan tanpa mengenal sebelumnya. Akan tetapi, mereka berhasil membangun bahtera rumah tangga yang kokoh, sebagaimana aku menyaksikannya sendiri selama ini. Maka, apakah tidak mungkin bagiku untuk seperti itu?

Tunggu saja Shaf, biarkan waktu yang akan mengabarimu. Tentang bagaimana lembar-lembar kehidupanmu akan berganti. Tentang bagaimana membersamai sisa usia sebagai seorang ‘istri’. Seorang istri yang sebagaimana mestinya. Bukankah begitu Shaf?

 

 

One thought on “Dunia Shafeera Chapter 1: Akad Tanpa Harap

  1. Wahyu sri mulyani says:

    Prolog yang sangat pas,semangat untuk kelanjutannya,semoga kedepannya memberi motivasi untuk umat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.