Konsekuensi Berjama’ah

Oleh:  Mirza Fathiarizki Taher (Departemen Kajian Strategis)

Seruan untuk shalat berjama’ah telah sering digaungkan di banyak masjid dan musholla di Indonesia. Iming-imingnya jelas, pahala 27 kali lipat dibandingkan dengan 1 pahala shalat sendirian. Sayangnya, saya kira, setidaknya kebanyakan orang di sekitar saya, belum memahami harga yang harus dibayar untuk tambahan ‘26 kali pahala’ itu. Tentunya ada banyak sekali perbedaan yang sangat penting yang menjadikan shalat berjama’ah sangat berharga, apabila dilakukan dengan benar.

Saya akan mencoba mengungkapkan kekhawatiran saya ketika shalat berjama’ah dan menyampaikan solusi apa yang sekiranya dapat menyempurnakannya. Hal-hal tersebut antara lain adalah kerapatan shaf, ketepatan gerakan shalat, dan perihal masbuq (terlambat, menyusul jama’ah). Setidaknya, saya rasa masalah terkait ketiga hal tersebut hampir selalu saya jumpai dalam shalat berjama’ah, khususnya dalam shaf wanita. Ternyata, ada banyak dari saudara/i kita yang kurang memahami hal-hal dasar dalam shalat berjama’ah. Tentu saja pemahaman saya bisa jadi kurang utuh dan saya pun terbuka untuk mendiskusikannya demi kebaikan bersama.

Pertama, kerapatan shaf. Entah apa yang menghalangi kedua telinga saudari kita ketika imam mengatakan, “Luruskan dan rapatkan shaf.” Kemungkinannya ada tiga, memang tidak mendengar, berpura-pura tidak mendengar, atau mendengar, tetapi tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Saya juga pernah berada di posisi tersebut, tidak tahu harus melakukan apa. Namun, agaknya kurang pantas bagi ummat masa kini yang dengan kehadiran Tuan Google dapat mengetahui segala hal, meskipun perlu dicek ulang. Hal yang tepat dalam merespon perintah imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf ada dua, meluruskan dan merapatkan.

Langkah pertama adalah berpikir. Bagaimana caranya bisa lurus dan rapat? Jawabannya sudah beberapa kali menjadi bahasan dalam berbagai kajian yang dapat dilihat melalui halaman Youtube. Mengutip Ust. Adi Hidayat dalam kajiannya di Jakarta pada tahun 2015 lalu, Rasulullah SAW menjadikan tumit yang lurus dan rapat antara makmum yang satu dengan yang lainnya sebagai cara untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Secara logis, ukuran kaki makmum bervariasi, merapatkan atau menempelkan jari-jari kaki ke makmum sebelah kanan dan kiri kita, bisa jadi hanya menjadikan shaf kita rapat, dan bukan lurus. Itupun apabila posisi kaki lurus menghadap kiblat. Lurusnya tumit dapat ditandai dengan sejajarnya ujung tumit (bagian belakang kaki) kita dengan tumit samping kanan dan kiri kita yang bisa dipermudah dengan menjadikan suatu garis lurus sebuah acuan. Ingat, adalah kewajiban bagi seiap makmum untuk menyempurnakan shalat berjama’ah.

Hal lain yang harus dipikirkan adalah membuat diri kita nyaman berada di dalam shaf yang lurus dan rapat. Mengapa demikiran? Saya sudah beberapa kali menemukan makmum yang semakin didekatkan atau dirapatkan, semakin kesal karena merasa terhimpit. Hal semacam ini bisa dicegah dengan sadar akan kebutuhan diri sendiri. Menurut saya, gerakan shalat yang paling makan tempat adalah tahiyyatul akhir. Logika yang kemudian muncul adalah bagaimana caranya saya bisa lurus dan rapat dalam shaf sekaligus nyaman ketika duduk tahiyyatul akhir? Jawabannya adalah melebarkan kaki sesuai dengan kebutuhan dan ‘semacam’ mengamankan tempat di lantai -tidak perlu dilebih-lebihkan. Hanya dengan konsisten (kelebaran yang sama pada setiap habis bangkit dari sujud ke posisi berdiri) dalam kelebaran kaki saat berdiri, kita tidak perlu mengomel dalam hati tentang betapa sempitnya digeser ataupun dirapatkan oleh makmum di sebelah kita, karena dengan akal yang Allah SWT berikan, kita bisa memperhitungkannya terlebih dahulu dan mencegahnya. Masyaa Allah, telah Rasulullah SAW contohkan juga bahwa cukuplah dengan melebarkan kaki selebar bahu, diri ini memiliki cukup ruang untuk seluruh gerakan shalat.

Hal yang kedua adalah ketepatan gerakan makmum. Telah diriwayatkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW berkata bahwa makmum harus mengikuti imam dan dilarang menyelisihinya, termasuk mendahuluinya. Hal ini berlaku dari awal takbir hingga salam. Gerakan yang sering kecolongan adalah bangkit setelah sujud karena kita tidak bisa melihat secara langsung imam ataupun makmum di depan kita. Kecepatan imam dalam bangkit dan tepatnya kapan beliau mengucap takbir untuk bangkit bervariasi. Maka dari itu, untuk mencegah merusak shalat berjama’ah kita dengan mendahului imam, ada baiknya menunda sebentar untuk bangkit sebagai upaya memastikan bahwa imam sudah benar-benar terlebih dahulu bangkit dari sujud. Dalam shalat sirr (shalat yang memelankan bacaan; dzuhur, ashar, rakaat ke-3 maghrib dan rakaat ke-3 dan ke-4 isya) hal ini menjadi penting karena tidak ada pertanda khusus yang mengisayaratkan imam telah bangkit, berbeda dengan shalat jahr (shalat yang mengeraskan bacaan; subuh, dua rakaat pertama maghrib dan isya) yang dapat ditandai dengan bacaan Al-Fatihah imam.

Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah perihal masbuq. Alhamdulillaah, di lingkungan saya, mayoritas telah mengerti dan cukup paham untuk bangkit kembali setelah imam mengucap salam untuk membayar rakaat yang tertinggal. Hal yang perlu diingatkan kembali adalah perihal masbuq di rakaat terakhir, dimana rakaat pertama setelah imam mengucap salam menjadi rakaat kedua bagi kita dan diwajibkan untuk melakukan tahiyyatul awal. Selebihnya, saya kita perihal membayar rakaat ini sudah cukup dipahami.

Hal yang kemudian mungkin kurang dipahami adalah seringnya makmum yang menyusul tidak melengkapi shaf yang ada. Beberapa kali saya perhatikan, ada cukup banyak makmum masbuq yang seenaknya mengambil posisi shalat berjama’ah tanpa memikirkan shaf yang telah ada. Perilaku yang saya maksud adalah yang menyusul shalat dengan menempatkan diri jauh dari shaf yang telah ada. Misalnya, shaf telah terbentuk atas beberapa orang lurus di belakang imam di posisi tengah musholla, jama’ah yang masbuq ini justru menempatkan diri di pojok dekat tembok musholla karena mencari posisi yang pas untuk menaruh tas, misalnya, namun tetap berjama’ah dan mengikuti imam. Tentunya peristiwa ini membuat saya bingung. Mau ber jama’ah, tapi kok nggak mau nyamperin? Ingin shalat sendiri atau berjama’ah? Mengapa memisahkan diri dari shaf? Langkah yang tepat untuk kondisi demikian adalah merapatkan diri dengan shaf yang ada, perintah imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf tetap berlaku meskipun kita tidak mendengarnya pada awal shalat.

Dibalik segala kekurangan terhadap pemahaman shalat berjama’ah, saya turut mengapresiasi keputusan saudara/i kita untuk datang lebih awal dan mengikuti shalat berjama’ah. Tugas kita semua setelah itu adalah mengupayakan kesempurnaan dalam beribadah. Saya harap, kekhawatiran saya bisa sedikit mewakili kekhawatiran saudara/I muslim lainnya dan menjadi pelajaran bagi sebagian yang lain. Saudara/iku yang telah paham mengenai hal di atas, bersabarlah dan ajarkan sedikit demi sedikit agar saudara/I kita yang belum bisa terbiasa memenuhi konsekuensi pahala berkali lipat dalam shalat berjama’ah.

Tautan Video Terkait:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.