Kemengangan Anggodo dan Islam dalam penegakan hukum

pengadilan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan SKPP (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan) terkait dengan kasus yang menimpa Bibit Slamet Rianto dan Chandra M. Hamzah. Pengeluaran SKPP ini dilatarbelekangi oleh dua buah alasan. Yang pertama adalah Alasan yuridis, meski perbuatan Bibit dan Chandra dinilai memenuhi unsur pidana, keduanya dianggap tidak menyadari akibat perbuatannya. Dan yang kedua adalah alasan sosiologis, yaitu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun, menurut Hakim Nugroho Setiaji alasan seperti itu, tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk penerbitan SKPP. Sehingga menurutnya, SKPP tersebut tidak sah dan melawan hukum. Oleh karena itu, Nugroho mengabulkan permintaan Anggodo Widjojo untuk mengengkat kembali kasus tersebut ke meja hijau.

Sebagian pihak menilai, kemenangan Anggodo ini patut dicurigai. Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, mengaku terkejut dengan keputusan ini. Ia khawatir dengan keputusan ini. Oleh karena itu, Satuan Tugas menemui Komisi Yudisial terkait dengan hal tersebut. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Teten mengatakan perlunya kewaspadaan dari KPK terhdap kemungkinan adanya upaya pelemahan KPK kembali. KPK harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan situasi darurat, yang akan berpengaruh pada kinerja KPK tersebut.

Keputusan tersebut kontan memicu terbentuknya berbagai opini masyarakat. Munculnya keputusan pra peradilan ini, dapat terjadi karena munculnya mafia peradilan yang berkeinginan untuk melemahkan kerja KPK. Atau bahkan mungkin ingin membangun KPK baru alias Komisi Pemberantasan KPK. Dengan adanya pembatalan SKPP ini, otomatis akan menyibukkan Bibit dan Chandra, karena harus berkali – kali pergi ke pengadilan dan mengurangi intensitas jam terbangnya di KPK. Kemungkinan besar hal ini akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Tidak ada kejelasan yang menjelaskan apa pun, yang muncul hanyalah dugaan – dugaan sementara dari masyarakat yang ber-su’udzon.

Kemungkinan sebab lain dari pembatalan SKPP ini adalah adanya pembuktian bahwa Bibit dan Chandra memang bersalah. Salah satu buktinya adalah rekaman yang dibawa Anggoro ke pengadilan. Walau pun ketika penyalah – gunaan wewenang terjadi, Bibit dan Chandra sedang berada di luar negeri .

Sejauh ini tidak tampak adanya bukti yang jelas dari hal tersebut. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus ini terkesan rancu dan ambigu. Dan semakin didukung dengan adanya pasal karet, alih – alih menyelesaikan, pasal karet ini membuat masalah semakin masalah. Adanya berbagai tafsir dari pasal ini, menimbulkan perdebatan baru. Bahkan hal ini memunculkan kesan adanya ketidak-profesionalan. Kriminalisasi KPK seolah dibuat – buat, segala kemunculan masalah ini seperti mengada – ada, hanya untuk melemahkan kerja KPK yang selama ini telah berhasil menggilas banyak koruptor di Indonesia.

Dampak yang terjadi di KPK sangat jelas. KPK bertambah tumpul, karena hilangnya dua wakil pimpiman KPK tersebut. Dalam lingkup internal KPK bisa saja muncul berbagai opini terkait hal ini. Kerja KPK tidak lagi fokus. Bahkan produktivitasnya dimungkinkan menurun karena terlalu banyak memikirkan kasus Bibit – Chandra. Jarang terdengar lagi tertangkapnya si A karena korupsi yang dilakukan di sana atau si B dihukum karena korupsi di sini. Hal ini cukup membuktikan bahwa kasus ini telah membawa dampak buruk bagi kinerja KPK secara khusus dan bagi bangsa Indonesia secara umum. Sementara rakyat yang tidak mengerti apa – apa, terus mejadi korban dari semua perdebatan raja – raja dan menteri – menteri mereka. Masyarakat kecil yang tidak mengerti hanya bisa pasrah dengan penggerogotan harta tipis mereka oleh tikus – tikus got yang semakin leluasa berkeliaran.

Keadaan ini seharusnya tidak dibiarkan berlarut – larut. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap dengan urusannya untuk menyelesaikan (atau paling tidak berusaha menyelesaikan) kasus ini. Dan pemerintah harus segera bergerak dan fokus pada keadaan bangsa serta keadaan KPK. Perlu adanya kesegeraan untuk membuat PERPU mengenai pergantian Bibit dan Chandra. Jangan sampai KPK lemah atau bahkan vakum karena kehilangan dua orang pimpinan mereka. Harus segera ada pemimpin baru yang mampu menarik kembali laskar – laskar KPK untuk melawan arus. Kembali dengan kerja yang profesional. Kembali dengan prestasi yang melejit. Kembali dengan jebakan tikus yang mematikan.

Selain itu, opini masyarakat secara tidak langsung sangat berpengaruh terhadap putusan peradilan. Terbukti dengan keluarnya SKPP pada beberapa waktu lalu, menggunakan alasan sosiologis yang sangat berhubungan dengan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perlu tenang dan tidak melakukan berbagai tindakan yang menyulitkan bagi pihak kepolisian, pengadilan, maupun KPK sendiri. Dampaknya petinggi – petinggi kita semakin tidak fokus terhadap apa yang mereka hadapi.

Pandangan Islam

Dalam islam, keadilan adalah salah satu pilar utama yang patut dimiliki terutama oleh seorang pemimpin. Dalam firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”. Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa keadilan harus ditegakkan terhadap siapa pun dan kapan pun. Tidak membedakan status sosial maupun kedudukan.

Islam mengisahkan tentang Umar bin Al-Khaththab yang membeli seekor kuda dari seorang Badui, ia membayar kontan harganya, kemudian menaiki kudanya dan pergi. Akan tetapi belum jauh berjalan, beliau menemukan luka pada kuda itu yang membuatnya terganggu ketika berpacu, maka beliau kembali ke tempatnya membeli kuda itu dan berkata kepada penjualnya, “Ambillah kudamu, karena ia terluka.” Maka orang itu menjawab, “Aku tidak akan mengambilnya -wahai Amirul mu’minin- karena aku telah menjualnya kepada anda dalam keadaan sehat tanpa cacat sedikitpun”. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, mereka meminta bantuan seseorang yaitu Syuraih bin al-Harits al-Kindi. Setelah Syuraih mendengar perkataan orang Badui, dia bertanya kepada Umar bin al-Khaththab dan, “Apakah engkau menerima kuda dalam keadaan tanpa cacat, wahai Amirul mu’minin?”, “Ya.” Jawab ‘Umar. Syuraih berkata, “Simpanlah apa yang anda beli- wahai Amirul mu’minin- atau kembalikanlah sebagaimana anda menerima.” Maka Umar melihat kepada Syuraih dengan pandangan kagum dan berkata, “Beginilah seharusnya putusan itu; ucapan yang pasti dan keputusan yang adil. Pergilah anda ke Kufah, aku telah mengangkatmu sebagai hakim (Qadli) di sana”.

Dalam sebuah kisah yang lain, Ali bin Abi Thalib RA kehilangan baju besi yang sangat disukainya. Tidak lama kemudian, dia menemukannya berada di tangan orang kafir dzimmi. Beliau melihatnya dan berkata, “Ini adalah baju besiku yang jatuh dari ontaku pada suatu malam, di suatu tempat.” Lalu kafir Dzimmi itu berkata, “Ini adalah baju besiku dan sekarang ada di tanganku, wahai Amirul mu’minin.” Lalu Ali berkata, “Itu adalah baju besiku, aku belum pernah menjualnya atau memberikannya kepada siapapun, hingga kemudian bisa jadi milik kamu. Perseteruan itu suit untuk diselesaikan, oleh karena itu mereka menemui seorang hakim dari kaum Muslimin, yaitu Syuraih. Ali bercerita, “Aku telah menemukan baju besiku di bawa orang ini, baju besi itu telah terjatuh dariku pada suatu malam dan disuatu tempat. Kini ia telah berada di tangannya tanpa melalui jual beli ataupun hibah”. Lalu Syuraih berkata kepada orang kafir itu, “Dan apa jawabmu, wahai orang laki-laki?”, dia menjawab, “Baju besi ini adalah milikku dan ia ada di tanganku tapi aku tidak menuduh Amirul mu’minin berdusta”. Maka Syuraih menoleh ke arah Ali dan berkata, “Aku tidak meragukan bahwa anda adalah orang yang jujur dalam perkataanmu, wahai Amirul mu’minin, dan bahwa baju besi itu adalah milikmu, akan tetapi anda harus mendatangkan dua orang saksi yang akan bersaksi atas kebenaran apa yang anda klaim tersebut.”

Lalu Ali berkata, “Baiklah! Budakku Qanbar dan anakku al-Hasan akan bersaksi untukku.” Maka Syuraih berkata, “Akan tetapi kesaksian anak untuk ayahnya tidak boleh, wahai Amirul mu’minin.” Lalu Ali berkata, “Ya Subhanallah!! Orang dari ahli surga tidak diterima kesaksiannya!! Apakah anda tidak mendengar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemuda ahli surga”. Lalu Syuraih berkata, “Benar wahai Amirul mu’minin! namun aku tidak menerima kesaksian anak untuk ayahnya.” Setelah itu Ali menoleh ke arah orang kafir itu dan berkata, “Ambillah, karena aku tidak mempunyai saksi selain keduanya.” Maka kafir Dzimmi itu berkata, “Ya Allah! Amirul mu’minin menggugatku di hadapan hakim yang diangkatnya sendiri, namun hakimnya malah memenangkan perkaraku terhadapnya!! Aku bersaksi bahwa agama yang menyuruh ini pastilah agama yang haq. Dan aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Hamba dan utusan Allah, Ketahuilah wahai Qadli, bahwa baju besi ini adalah benar milik Amirul mu’minin. Aku mengikuti tentara yang sedang berangkat ke Shiffin lalu menemukan baju besi terjatuh dari onta berwarna abu-abu, lalu memungutnya”. Maka Ali RA berkata kepadanya, “Karena engkau telah masuk Islam, maka aku menghibahkannya kepadamu, dan aku memberimu juga seekor kuda”. Berselang beberapa waktu, orang kafir itu ternyata ditemukan mati syahid saat ikut berperang melawan orang-orang Khawarij di bawah bendera Ali, pada perang Nahrawan. Orang itu amat bersemangat dalam berperang hingga dia mati syahid.

Dari kedua kisah tersebut, sangat terlihat pentingnya peran seorang hakim. Kejujuran dan keadilan merupakan modal terandal yang seharusnya dimiliki oleh seorang hakim. Menurut sebuah hadist, Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi).

Terlebih lagi dengan perkara yang simpang siur seperti kasus Bibit – Chandra. Mulai dari testimoni Antasari, munculnya pasal karet yang multitafsir, hingga pandangan yang kabur mengenai kejelasan kasus penyalah gunaan wewenang ini. Semua putusan ini memerlukan sentuhan yang tulus dari suatu kejujuran dan keadilan. Dan hakimlah yang menentukan semua itu. Hakim dapat menegakkaan keadilan seadil – adilnya, serta dapat pula dengan mudah mejatuhkan keadilan yang tak mampu ditegakkan.

Ditulis oleh : Raehana

Anggota Unit Satuan Intelejen

Lembaga Dakwah Kampus  Jama’ah Shalahuddin UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.