Membingkai Ibadah yang Berkualitas Dalam Diri Masyarakat Islami

shalat-jumat

Masyarakat adalah sekelompok individu yang hidup dan menetap secara bersama. Di dalam kesatuan sebuah masyarakat, terdapat sistem yang senantiasa berjalan atas dasar konsesnsus masing-masing “aktor”, sehingga dengan demikian diperlukan sebuah keselerasan bagi tiap-tiap individu dalam hal menjalankan peranannya masing-masing. Seperti halnya sistem yang ada ditubuh manusia, ketika terdapat salah satu organ yang tidak lagi berfungsi,  maka akan terjadi kemandegan didalam saluran tertentu. Begitu juga dengan masyarakat, apabila setiap individu tidak mampu lagi untuk menjalankan peranannya, maka sistem yang ada tadi akan rusak. Hambatan-hambatan tersebut merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat bukanlah sebuah komunitas yang statis. Masyarakat memiliki dinamika dari waktu ke waktu yang pada akhirnya menyimbolkan sifat dinamis bagi setiap aktor didalamnya, dan yang perlu diingat adalah dinamika tadi juga mampu membawa masyarakat ke dalam malapetaka yang justru akan memecahbelahkan mereka.

Konsepsi Masyarakat Islami

Menurunkan kembali apa yang telah kita pamahami tentang kosep sebuah masyarakat sebagai kesatuan individu, maka konsep masyarakat islam dapat diartikan sebagai sebuah kondisi yang merujuk kepada penerapan nilai-nilai islam disetiap tindak tanduk individunya. Dalam hal ini berarti masyarakat islami adalah masyarakat yang menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup mereka dan senantiasa selalu menjaga nilai-nilai keislaman bagi tiap-tiap individu dalam hal menjalankan peranannya didalam struktur masyarakat. Lebih sempit lagi konsepsi terkait masyarakat islami dapat pula merujuk kepada sebuah kondisi di dalam kehidupan masyarakat yang menempatkan syariat islam sebagai aturan tertinggi dalam tata kehidupan duniawi yang mana sepenuhnya memiliki orientasi kepada kehidupan akhirat. Nampaknya ini merupakan sebuah penegasan tentang apa yang kita sebut dengan dinamika kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu tadi. Bahwa dalam memandang sebuah perubahan, masyarakat islam selalu berhati-hati dalam memilih, karena tujuan utamanya bukanlah dunia melainkan kehidupan yang abadi setelah dunia.

Urgensi Meyakini Hidup Sebagai  Ibadah

Umat muslim harus meyakini bahwa setiap jengkal kehidupannya adalah wujud dari ibadah. Ketika semua telah yakin akan hal itu, maka pada waktu itu pulalah Allah SWT mengangkat derajat umatnya. Menyamakan hidup dengan ibadah bukanlah suatu hal yang kolot atau kuno jika diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Justru inilah yang menjadi turning point perbedaan umat muslim dengan umat lainnya. Bahwa hidup mereka adalah pengabdian kepada Sang Pencipta, pengabdian yang tercermin dari aktivitas-aktivitas dalam kesehariannya guna mencari ridho dari Allah semata.

Ibadah secara etimologis berasal dari kata ‘abada yang berarti menyembah atau mengabdi. Secara garis besar kita dapat mengartikan ibadah sebagai segala bentuk perbuatan yang diridhoi oleh Allah. Konsep ini sangat perlu dimatangkan oleh setiap umat muslim karena pada dasaranya Allah telah menegaskan didalam AlQur’an bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT (51:56). Berangkat darisanalah, betapa pentingnya setiap muslim untuk mengerti betul bahwa hidupnya adalah ibadah. Ketika aktivitas duniawinya bukan merupakan wujud pengabdian kepada Allah maka disanalah letak kedzaliman dan behih-benih kemaksiatan yang sesungguhnya. Astagfirullah.

Ibadah secara umum terdiri atas Ibadah Maghdah (ritual) dan Ibadah ‘Amah (Non-Ritual) atau muamalah. Keduanya dibedakan dari sudut pandang keterikatannya dengan syarat dan rukun yang berlaku. Ibadah Magdhah merupakan ibadah khusus yang pelaksanaannya sangat terikat dengan rukun dan syarat seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Sementara Ibadah ‘Amah adalah ibadah dalam arti umum, yaitu segala bentuk perbuatan baik yang dilakukan manusia. Namun dalam uraian singkat ini, kita akan lebih banyak memperbincangkan keterkaitan Ibadah Maghdah atau ibadah yang bersifat ritual dalam membentuk karakter masyarakat islami.

Penting bagi umat muslim dalam menjaga kualitas ibadah wajibnya, karena ibadah tidak akan bernilai sebagai bentuk pengabdian kepada Allah jika dilaksanakan dengan asal-asalan atau justru terdapat hal-hal yang merusak didalam pelaksanaan  ibadah tersebut. Banyak diantara kita ketika mengerjakan ibadah wajib justru tidak diniatkan tulus karena Allah, atau terjadi sebuah pergeseran niat yang bukan lagi karena Allah tapi justru karena makhluk-Nya.(Astagfirullah). Seperti halnya sholat sebagai Ibadah utama yang nantinya akan ditanyakan pertama kali didalam alam kubur, ketika sendirian kita begitu cepat dalam melaksanakannya, namun disaat ada orang lain kita seolah-olah melaksanakan sholat dengan kusyuk dan lama. Hal tersebut mendefinisikan bahwa ibadah sholat yang kita kerjakan adalah untuk orang lain dan bukan semata karena Allah lillahit’ala. Bukan lagi  pahala yang kita harapkan datang menghampiri, tapi justru benih-benih dosalah yang mulai muncul dan mengotori ruang hati kita. Contoh ini tidak bisa kita elakkan dalam realita kehidupan yang kita lalui, bahkan mungkin kita sendiri pernah berada dalam kesesatan tadi. Semoga Allah mengampuninya.

Inilah yang dikatakan diawal sebagai orientasi seorang muslim terhadap kualitas ritual rutin yang dikerjakannya. Mengapa disebuah negri yang penduduknya rajin dalam beribadah wajib, namun justru malapetaka tak pernah lepas dari masyarakat itu. Salah satu jawabannya adalah karena penduduk di negeri tadi lupa bahkan tidak tahu sama sekali akan kualitas ibadah yang ia kerjakan. Mereka melakukan ibadah bukan lagi karena Allah, atau disatu sisi ia ta’at dalam beribadah namun disisi lain mereka tidak menjaga hubungan baik dengan sesama umat muslim, mereka saling hasut, iri dan saling mencurigai satu sama lain. Oleh karena itu merupakan sebuah keperluan mendesak bagi pribadi seorang muslim untuk mengetahui hal-hal yang mampu merusak ibadahnya.

Sungguh ibadah adalah praktik bagaimana ikhlas dilakukan. Melalui keikhlasan dalam beribadah, seorang hamba dapat membebaskan diri dari Tuhannya dan membuatnya memperoleh cinta dan ridha-Nya. Jadi sesungguhnya ketika pelaksanaan ibadah jauh dari representasi sifat ikhlas yang dilakukan seorang hamba Allah maka aktivitas yang ia lakukan tersebut tidak bernialai apa-apa bagi Allah SWT. Amat sangat bertolak belakang dengan fungsi ibadah yang masing-masingnya telah jelas di dalam AlQur’an. Bahwa ibadah wajib seperti shalat, haji dan zakat dapat membersihkan dan menyucikan jiwa serta membeningkan hati dan menyiapkannya untuk menerima musyahadah (penampakan keagungan) Allah berupa cahaya, hidayah dan hikmah (Najati : 2002). Jadi pada intinya niat yang ikhlas merupakan syarat dasar bagi setiap muslim dalam menjaga kualitas ibadah wajibnya.

Kualitas pelaksanaan ibadah juga sangat ditentukan oleh sejauh mana kita dalam konteks masyarakat islam mengenal Allah SWT (Ma’rifatullah). Ma’rifatullah merupakan hal utama yang harus dismpurnakan oleh setiap muslim. Harus tertanam di dalam hati sanubari bahwa Allah adalah Rabb sekalian alam. Walau setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb (7:172) dan hadist nabi yang megatakan bahwa jiwa manusia adalah fitrah. Keyakinan ini harus bersandar kepada berbagai dalil dan bukti kut agar menghasilkan peningkatan kwalitas iman dan takwa, juga pribadi merdeka dan bebas. Ketika hal ini telah tertanam kuat dalam hati seorang muslim maka segala bentuk pengabdian yang di lakukan pasti semata karena Allah SWT. Hal ini terwujud dari bagaimana masyarakat tadi menempatkan ibadah sebagai satu-satunya jalan untuk mendekatkan diri dengan sang kholiknya.

Wujud Cinta Kepada Allah (Mahabatullah)

Kecintaan kepada Allah sebagai dasar utuk menjadikan amal yang saleh dan ibadah yang sahih. Amal dan ibadah tanpa didasari rasa cinta akan merusak amal yang dikerjakannya, tetapi sebaliknya apabila ibadah yang dikerjakan berdasarkan cinta, maka akan menghasilkan sebuah amal yang saleh yang akan dihayati dengan mendalam. Ibadah kepada Allah perlu didasari rasa kecintaan. (Prayitno:2003) Cinta kepada Allah maka akan rela dan ikhlas melaksanakan segala perintahNya. Bahkan denga cinta, rela mengorbankan jiwa jiwa dan harta untuk mengikuti perintah yang kita cintai. Banyak ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa dibutuhkan sebuah pengorbanan  untuk melaksanakan nilai-nilai islam seperti yang telah dijelaskan dalam surat 49:15 dan surat 9:111.

Didalam Islam, ibadah merupkan puncak ketundukan dan pengakuan atas keagungan dzat yang diibadahi. Ibadah adalah suatu tangga penghubung antara Al-Kholik dengan makhlukNya. Ibadah juga memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat islam dalam berinteraksi dengan sesama makhlukNya. Utuk mewujudkannya, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan seorang muslim dalam rangka meningkatkan kualitas ibadahnya tadi. Pertama, Menjadikan Ibadah tersebut hidup dan bersambung dengan Al-Ma’bud (Allah). Dan ini merupakan taraf ihsan dalam beribadah. Kedua Menjadikan ibadah penuh dengan kekusyu’kan sehingga kita dapat merasakan hangatnya hubungan dan mesranya buah kekusyu’kan tadi. Ketiga, Beribadahlah dengan hati yang hadhir (penuh kesadaran) dan menjauhkan pemikiran tentang kesibukan dunia dan probelamatik yang terjadi disekitar. Keempat, janganlah merasa puas dan kenyang dalam beribadah. Haruslah kita sebagai seorang muslim untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah nafilah. Kelima, dengan memilhara Qiyamullail dan melatih diri agar terbiasa melakukannya, karena sungguh Qiyamullail itu salah satu pembangkit iman yang paling kuat. Dan yang keenam adalah menjadikan do’a sebagai mi’roj kepada Allah dalam setiap unsur kehidupan, karean sesungguhnya do’a adalah sum-sum dari Ibadah (Yakan:1999)

Dalam konteks masyarakat islami, ibadah yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan beorientasi pada kualitas pelaksanan merupakan sebuah proses yang merujuk kepada aktivitas  menghapus segala bentuk dosa dan membangkitkan harapan mendapat ampunan Allah dalam diri masyarakat tersebut. Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki laki datang kepada Nabi Saw dan bertanya “Ya Rasulullah tunjukan padaku sebuah amal yang jika kukerjakan aku masuk surga”. Jawab beliau; “Kau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat yang diwajibkan dan berpuasa di bulan Ramadhan”. Ia berkata; “Demi diriku yang ada di tanganNya, aku tidak akan menambah hal ini”. Ketika ia pergi, Nabi bersaba: “Barang siapa ingin melihat laki-laki penghuni syurga, lihatlah dia”(HR Bukhari, Muslim dan Al-Nasai)

Vandy  Yoga Swara
Kepala Pusat Litbang  LDK Jama’ah Shalahuddin UGM
Mahasiswa Jurusan  Ilmu Pemerintahan UGM angakatan 2009

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.