“Ki Bagus Hadikusumo dan Pergulatan Sila Pertama”
Oleh Hijrauly Albebian
(Departemen Kajian Strategis JS UGM)
“dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya, satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan keputusan rakyat, serta luas dan lapang dada, tidak memaksa tentang agama. Jika tuan-tuan benar-benar menginginkan keadilan, kerakyatan, dan toleransi, maka dirikanlah pemerintah ini atas dasar Islam, karena Islam mengajarkan masalah tersebut. Allah berfirman dalam surat an-9Nahl 90, an-Nisa 5, Ali Imran 159, asy-Syura 38, dan Al-Baqarah 256.”
Teks diatas adalah salah satu petikan pidato Ki Bagus Hadikusumo saat sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, sebagai tanggapan atas pidato kelompok kebangsaan tanggal 29, 30, dan 31 Mei (pagi). Teks pidato ini memang tidak dijumpai di kebanyakan buku-buku teks yang biasanya mengutip dari dokumen negara susunan Muhammad Yamin.
Latar Belakang Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo adalah salah satu founding fathers yang sangat teguh ingin menjadikan ajaran Islam sebagai dasar negara. Beliau bersikeras dengan pendiriannya untuk tidak mengganti bunyi 7 kata dalam piagam Jakarta sebagai dasar negara kita, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Beliau meyakini, Islam adalah harga mati untuk Indonesia.
Keteguhannya dalam menyerukan ajaran Islam menjadi dasar negara Indonesia didasari oleh latar belakang beliau. Lahir dari golongan priyayi, sejak kecil Hidayat atau Raden Dayat (nama kecil Ki Bagus Hadikusumo) sudah terbiasa dengan tradisi Islam. Ayah beliau, Raden Kaji Lurah Hasyim yang berprofesi sebagai abdi dalem pamethakan (jabatan dalam keraton di bidang agama Islam) membuatnya memperoleh pendidikan yang baik. Meskipun untuk pendidikan umum beliau hanya sampai kelas tiga sekolah dasar, karena beliau lebih tertarik dengan pendidikan agama. Beliau memilih Pondok Pesantren Wonokromo Yogyakarta untuk menimba ilmu agama.
Selain itu lingkungan Kauman, Yogyakarta memberinya banyak kesempatan untuk dapat belajar langsung dengan ulama-ulama hebat. Pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan adalah seorang guru fikihnya. Khasanah keilmuan Islamnya juga bertambah lantaran kegemarannya membaca karya-karya ahli agama Timur Tengah seperti Ibnu Taimiyah, Imam Syafii dan Al Ghazali.
Islam sebagai Dasar Negara
Islam menurut Ki Bagus Hadikusumo adalah yang terbaik bagi bangsa Indonesia, pasalnya ajaran Islam telah mengakar kuat di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Menurutnya dasar negara hendaknya sesuai dengan jiwa masyarakat, maka kemudian beliau menantang agar para pemimpin bangsa hendaknya mencoba untuk tinggal di pedesaan agar bisa menangkap aspirasi masyarakat dengan sempurna. Jiwa masyarakat bagi Ki Bagus adalah Islam.
Pasal pertama pada piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebetulnya telah dikritisi oleh Ki Bagus. Sebelumnya beliau mengusulkan agar frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja, cukup dengan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Namun setelah dilobi, dan demikian Soekarno yang menyatakan bahwa hal itu adalah jalan tengah yang sulit dicapai, akhirnya beliau menyetujui jika ada mufakat.
7 kata yang telah dirumuskan, dan memeras otak berhari-hari itupun akhirnya dihapuskan hanya dalam waktu beberapa menit. Peristiwa 18 Agustus, begitu kita sebut masih diliputi misteri. Isa Anshary dalam sidang konstituen tahun 1957 menyebutnya sebagai “permainan sulap yang masih diliputi kabut misteri”.
Dalam Memoir yang ditulis oleh Hatta, perubahan sila pertama diawali oleh kedatangan kaigun Jepang pada 17 Agustus petang, yang mengatakan bahwasanya golongan Katholik dan Protestan (mereka menyebut diri mereka minoritas) berkeberatan tentang 7 kata dalam piagam Jakarta. Menurut mereka hal tersebut adalah sebuah bentuk diskriminasi golongan dalam hal agama. Hatta awalnya menyangkal bahwasanya hal tersebut bukanlah diskriminasi karena memang hanya akan mengikat orang-orang yang beragama Islam. Namun kemudian kata-kata dari kaigun Jepang itu yang menyatakan bahwa “bersatu kita teguh, bercerai kita pecah” akhirnya merubah pandangan Hatta. Hatta akhirnya memanggil Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo, dan Tuan Teuku Hassan keesokan harinya sebelum PPKI mengesahkan UUD. Hatta merundingkan bersama dengan mereka golongan Islam tentang niat untuk mengganti 7 kata dalam piagam Jakarta, dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara. Dari keempat orang yang diundang (wahid hasyim tidak hadir), ternyata yang paling mengerti bagaimana susahnya untuk berunding dan mendapat 7 kata itu adalah Ki Bagus Hadikusumo. Pasalnya ia adalah anggota BPUPKI , anggota sub panitia 22 dan juga anggota PPKI. Ki Bagus, menurut Arifin Suryo Nugroho, mendapat semua beban pada saat itu, dan keteguhannya pada 7 kata itu terbujuk oleh Kasman (yang di kemudian hari amat menyesal) yang saat itu menggunakan logika ancaman disintegrasi, Belanda yang bersiap menguasai kembali, dan janji akan perumusan dasar negara kembali.
Ki Bagus adalah tokoh vokal dari golongan Islam dalam sidang BPUPKI yang berjumlah hanya 15 dari 62 orang anggota (sebuah jumlah yang tidak merepresentasikan golongan mayoritas), ia sempat menyampaikan pidato (salah satu kutipan berada di awal tulisan) yang pada intinya menurut Arifin adalah “Membangun Negara di Atas Islam”. Ki Bagus telah memberikan berbagai alasan beserta dalil dan ayatnya. Terutama sekali beliau menekankan pada argumen sosiologis-historis bangsa Indonesia yang mana islam telah mengakar disana. Sayangnya naskah pidato itu memang tidak diberi tempat di rekaman sejarah resmi negara.
*Lihat, Ki Bagus Hadikusumo : Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin
Tentang hal ini bahkan Muhammad Hatta menyebut bahwa Muhammad Yamin adalah “Manusia Licik” karena tidak menuliskan pidatonya, dan golongan-golongan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, Sukiman.
Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/content-160-det-ki-bagus-hadi… (diakses pada tanggal 18 Maret 2014)