Oleh: Virta Attirah Damananda
Kemuslimahan JS UGM
Saya adalah seorang muslimah. Apa makna dari pernyataan tersebut? Makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa saya ber-istislam, alias berserah diri sepenuhnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apa maksud dari “berserah sepenuhnya”? Maksudnya adalah bahwa saya meyakini kalau hanya Allah-lah yang sejatinya berkuasa atas alam semesta ini–Dialah yang menciptakan dan mengatur segalanya, termasuk diri saya sendiri. Alhasil, konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah terposisikannya diri saya sebagai seorang hamba dan Allah sebagai Tuhan. Lalu, bagaimanakah seharusnya sikap seorang hamba terhadap Tuhannya? Sikap seorang hamba yang tepat terhadap Tuhannya adalah sepatutnya ia menaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.
Allah, dengan keluasan ilmu dan hikmahNya sudah pasti tidak akan menelantarkan ciptaanNya. Berulang kali Allah nyatakan dalam al-Qur’an bahwa penciptaan alam semesta dan seisinya tidak sia-sia, maka dengan itu tidak mungkin Ia tinggalkan kita—manusia—yang merupakan salah satu dari ciptaanNya begitu saja tanpa petunjuk. Seperti yang telah kita ketahui bersama, petunjuk terakhir yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala ke muka bumi ini adalah risalah yang disampaikan melalui Jibril ‘alayhissalam kepada Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam berupa al-Qur’an; serta kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam sendiri yang disebut sebagai as-Sunnah. Dengan itu, sempurnalah Islam sebagai agama yang diridhai oleh Allah; satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk meraih keberkahan di dunia dan kebahagiaan yang abadi di akhirat, sebuah pedoman bagi kita dalam rangka menghamba dengan baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengan keluasan ilmuNya pula, Allah subhanahu wa ta’ala menggariskan seluruh kejadian dan ketetapan yang berada di alam semesta ini, yang tidak ayal dari penciptaan manusia menjadi dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda bahwa “perempuan adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Ahmad); dan di sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 36 bahwa “laki-laki tidak sama dengan perempuan”. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh hukum Allah yang berlaku pada laki-laki, berlaku juga pada perempuan—seperti shalat, membayar zakat, melaksanakan haji, dan sebagainya; hanya saja, pada hukum-hukum tertentu terdapat perbedaan pada tata cara pelaksanaan antara kedua jenis kelamin tersebut—salah satunya dalam perihal menutup aurat.
Kita ketahui bersama bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, dan batasan aurat pada keduanya berbeda. Bagi laki-laki, batasan aurat mereka adalah dari bawah pusar hingga ke lutut, berdasarkan pendapat mayoritas ulama’. Sedangkan bagi perempuan, batasan aurat mereka adalah seluruh tubuh mereka, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Q.S. al-Ahzab ayat 59 (yang artinya):
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Firman ini dirinci dengan hadits berikut (yang artinya):
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Beliau menceritakan, Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma pernah menemui Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam dengan memakai pakaian yang tipis. Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam pun memalingkan pandangan darinya dan bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini,” Beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud no. 4106 dan dishahihkan al-Albani)
Akan tetapi terdapat pendapat ulama’ yang menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan pun wajib untuk ditutupi untuk menghindari fitnah (cobaan, ujian) yang dapat terjadi jika ia ditunjukkan kepada mata-mata yang tidak berhak. Namun ada pula yang berpendapat bahwa menutup baik wajah maupun telapak tangan adalah perkara yang dianjurkan, bukan diwajibkan, yang salah satunya dikuatkan oleh hadits di atas. Dari sini mungkin muncul pertanyaan, Mengapa batasan aurat antara laki-laki dan perempuan berbeda? Sebagaimana kita ketahui, secara fisik terlihat jelas perbedaan antara keduanya. Laki-laki memiliki apa yang tidak dimiliki oleh perempuan, pun sebaliknya. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menjadikan fitrah (bawaan alami) bagi keduanya untuk memiliki ketertarikan antar yang satu dengan yang lainnya, yang dengannya umat manusia dapat terus memiliki keturunan—akan tetapi, semua itu hanya halal untuk dilakukan ketika seorang laki-laki dan perempuan telah terikat dalam bingkai pernikahan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 14 (yang artinya),
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Perhatikanlah bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mendahulukan kata “wanita-wanita” pada firman-Nya tersebut di atas kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya; hal ini menunjukkan bahwa di antara kenikmatan-kenikmatan yang ada, yang paling dicintai oleh laki-laki adalah apa yang terdapat pada lawan jenisnya, yakni perempuan. Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam pun telah memberikan peringatannya terhadap hal ini melalui sabdanya (yang artinya), “Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita,” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini menegaskan bahwa fitnah terbesar kaum Adam adalah kita, kaum Hawa. Maka, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nur ayat 31, seorang perempuan hanya boleh membuka auratnya di hadapan laki-laki tertentu, yakni suami dan mahram-mahram-nya (laki-laki yang haram untuk ia nikahi); dan yang berhak untuk melihat seluruh aurat serta menggaulinya hanya suaminya. Hal ini tentu mengandung banyak hikmah sebab perintah ini datang langsung dari Sang Pencipta, yang di antaranya adalah perlindungan terhadap kehormatan perempuan, terminimalisirnya fitnah yang terjadi di kalangan masyarakat, serta terjaganya jalur nasab (keturunan) sehingga ia tetap berjalan dengan jelas.
Berangkat dari pernyataan-pernyataan yang telah dijabarkan, sebagai seorang muslimah saya pun berusaha semampu saya untuk menjalankan syari’at menutup aurat ini dengan baik dan benar. Berikut adalah delapan syarat bagi sebuah penutup aurat agar dapat dikategorikan sebagai syar’i (sesuai dengan syari’at) menurut Syaikh al-Albani rahimahullah, dengan penambahan mengenai dalil yang berkaitan dengan tiap poin yang saya tambahkan sendiri:
- Menutupi seluruh tubuh kecuali bagian yang dikecualikan (sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya).
- Bukan untuk berhias (sebagaimana dalam sebagian dari firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Q.S. al-Ahzab ayat 33 [yang artinya]: “…dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu…”).
- Bahannya tebal dan tidak transparan.
- Tidak menampakkan lekuk tubuh.
- Tidak ditaburi wewangian atau parfum (sebagaimana yang dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam dalam hadits berikut [yang artinya]: “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” [HR. an-Nasa’i]).
- Tidak menyerupai pakaian laki-laki (sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” [HR. Bukhari]).
- Tidak menyerupai pakaian wanita kafir (sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.” [HR. Abu Daud]).
- Bukan pakaian yang mengundang sensasi di masyarakat karena terlalu mewah atau murahan (pakaian syuhrah), (sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” [HR. Ahmad]. As-Sarkhasi mengatakan, “Maksud hadis, seseorang tidak boleh memakai pakaian yang sangat bagus dan indah, sampai mengundang perhatian banyak orang. Atau memakai pakaian yang sangat jelek—lusuh—sampai mengundang perhatian banyak orang. Yang pertama, sebabnya karena berlebihan sementara yang kedua karena menunjukkan sikap terlalu pelit. Yang terbaik adalah pertengahan.” [al-Mabsuth, 30:268]).
Untuk memenuhi syarat-syarat di atas, biasanya saya sendiri mengenakan gamis lengan panjang serta kerudung yang menjuntai hingga ke lutut. Hal tersebut saya pilih karena lebih memudahkan saya dalam memenuhi kriteria syar’i. Pada dasarnya, seluruh aktivitas yang kita jalankan di kehidupan ini merupakan pengabdian kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala –termasuk mengenakan penutup aurat yang syar’i bagi perempuan. Akan tetapi di saat yang sama, tidak hanya Allah subhanahu wa ta’ala saja yang melihat perbuatan kita, tetapi juga makhluk ciptaanNya, termasuk orang-orang yang berada di sekitar kita dan juga diri kita sendiri. Sebagai hamba Allah, kita pun juga mengemban tanggung jawab sebagai seorang anak, siswi atau mahasiswi, anggota masyarakat, pemimpin bagi diri kita sendiri, dan seterusnya.
Banyak kekhawatiran yang menyelimuti saya saat mulai mengenakan penutup aurat secara syar’i, di antaranya pendapat orang lain terhadap diri saya sendiri. Di media massa zaman sekarang, seringkali ditampakkan bahwa perempuan yang mengenakan kerudung-kerudung yang panjang adalah mereka yang mengikuti aliran kepercayaan tertentu (read: aliran sesat/radikal/sejenisnya). Padahal, saya tak ingin menampakkan kesan seperti itu sehingga kelak sulit bagi saya untuk mengambil peran di tengah masyarakat. Selain itu, di lingkungan manapun relatif sulit untuk menjumpai mereka dengan pakaian yang serupa, oleh karena itu saya harus selalu siap untuk berani tampil beda di masyarakat secara umum.
Hal lain yang membuat saya khawatir terhadap pilihan saya ini tidak lain adalah diri saya sendiri. Seperti yang telah dinyatakan, peribadatan tidak hanya dilakukan saat kita sendirian dan hanya dilihat oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi peribadatan pun mencakup muamalah yang kita lakukan dengan lingkungan kita. Sebagai seorang anak, mahasiswi, teman, dan seterusnya saya seringkali melakukan kesalahan dan kekhilafan sehingga hal-hal yang tidak seharusnya terjadi malah terjadi. Hal ini membuat saya merasa bahwa saya tidak pantas untuk mengenakan pakaian yang membuat saya seolah-olah lebih superior secara rohani dan membuat saya merasa gagal dalam menunjukkan kemuliaan syari’at Islam.
Tidak hanya muamalah dengan lingkungan yang menjadi kekurangan pada diri saya, ada kalanya menjalankan peribadatan yang langsung kepada Allah subhanahu wa ta’ala pun menjadi sesuatu yang begitu membebani saya. Sesederhana bangun tepat waktu untuk shalat shubuh—salah satu shalat yang diwajibkan saja masih merupakan perjuangan bagi diri saya sendiri. Kekurangan-kekurangan seperti ini menambah pertanyaan dalam diri saya mengenai kepantasan saya untuk menjadi representasi yang baik terhadap Islam melalui penutup aurat syar’i yang saya kenakan.
Namun alhamdulillah, Allah masih bersedia memberikan hidayah dan kemudahan dariNya sehingga sampai hari ini saya masih berjuang untuk menutup aurat dengan syar’i. Allah masih menyadarkan saya bahwa terlepas dari pandangan diri saya sendiri mengenai kekurangan-kekurangan saya dalam beragama serta pandangan masyarakat yang membuat saya ragu untuk memakai penutup aurat secara syar’i, ia adalah sebuah kewajiban. Dalam Islam, ketika kita tidak melaksanakan sesuatu yang wajib, maka balasannya adalah ancaman akan tercatatnya dosa ke dalam catatan amalan buruk yang dapat membuat kita semakin berpotensi untuk dimasukkan ke dalam neraka. Semoga kita senantiasa ingat akan pedihnya siksa neraka dengan perhitungan masa yang jauh lebih lama dibandingkan dengan masa yang kita lewati di dunia hari ini.
Di sisi lain, menjalankan kewajiban yang disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pun—selain mencegah diri dari ancaman dosa—juga membawa manfaat bagi mereka yang menjalankannya, baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat kelak, amalan-amalan yang Allah subhanahu wa ta’ala terima di sisiNya dapat menjadi pemberat bagi timbangan catatan kebaikan yang dapat memasukkan kita ke surga dan meninggikan derajat kita di sana. Semoga kita ingat akan kekekalan akhirat sehingga kita senantiasa mengedepankan kehidupan yang bahagia nan abadi yang kelak akan kita jalani sana.
Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa kita lalai akan kualitas kehidupan kita di dunia, tetapi sebaliknya, hendaknya kita kerahkan seluruh sumber daya yang kita miliki di kehidupan kita yang sementara ini untuk meraih kesuksesan di akhirat yang kekal. Dalam proses menjadikan kehidupan di dunia sebagai ladang yang kelak kita rasakan kemanisannya, pada hakikatnya kita sedang menjalankan perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala serta menjauhi larangan-laranganNya; yang tidak diragukan lagi mengandung banyak hikmah yang senantiasa menguntungkan kita, pun di dunia, sebab Allah-lah Sang Pencipta yang sudah pasti mengetahui yang terbaik untuk ciptaanNya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Q.S. an-Nahl ayat 97 (yang artinya):
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Oleh karena itu, untuk siapapun yang sedang membaca ini, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita terhadap Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan kemampuan kita. Saya sama sekali tidak memaksa Anda, jika Anda adalah seorang muslimah, untuk langsung mengenakan penutup aurat yang sesuai dengan syari’at Allah subhanahu wa ta’ala (seperti yang telah dijabarkan), tidak; sebab saya tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. Memberikan hidayah untuk melakukan sesuatu merupakan kemampuan yang dimiliki oleh Allah semata, dan manusia hanya bisa menunjukkan arahnya.
Bagi saya, setiap dari kita hari ini sedang berusaha untuk memaknai hidup, dan pemaknaan tersebut tidak lepas dari pencarian terhadap tujuan dalam kehidupan ini. Begitu banyak orang-orang yang merasa tersesat dan tanpa arah berjalan di bumi ini, padahal telah jelas Allah firmankan dalam Q.S. adz-Dzariyat ayat 56, bahwa tujuan dari penciptaan kita adalah hanya untuk beribadah kepadaNya. Sungguh amat disayangkan bahwa terdapat mereka yang menyempitkan makna ibadah pada beberapa hal yang disyari’atkan Allah saja seperti shalat, puasa, dan seterusnya; padahal ibadah adalah menjalankan seluruh kehidupan kita berdasarkan syari’at yang telah Allah subhanahu wa ta’ala gariskan, termasuk menutup aurat bagi perempuan.
Meskipun menutup aurat memiliki urgensi yang besar bagi perempuan, tetapi menutup aurat saja tidak cukup; sebab syari’at Allah tidak hanya mencakup hal tersebut saja. Kita pun harus senantiasa memperbaiki aspek-aspek lain dalam kehidupan kita sebagai bentuk nyata dari implementasi yang menyeluruh terhadap syari’at Allah subhanahu wa ta’ala, seperti memperbaiki aqidah yang kita miliki, memperbaiki tata cara shalat kita, memperbaiki cara kita dalam berbakti kepada orang tua, dan seterusnya. Maka, marilah kita senantiasa mencari tahu lebih dalam mengenai agama Allah yang mulia dan memuliakan ini serta berusaha untuk mengimplementasikannya, agar kita termasuk mereka yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Tidak lupa, hendaknya kita senantiasa meluruskan niat dalam melakukan segala upaya kita dalam kehidupan ini untuk menggapai ridha dan balasan dari Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan berusaha untuk mencari informasi yang valid mengenai agama ini (yang berasal dari al-Qur’an serta hadits dan riwayat yang jelas berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in [murid para sahabat radhiyallahu ‘anhum], tabi’ut tabi’in [murid para tabi’in], dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan)—sebab menurut para ulama’, terdapat dua syarat diterimanya suatu peribadatan, yakni ikhlas dan ittiba’: ikhlas, meluruskan niat karena Allah dan ittiba’, meneladani dan mencontoh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam. Tentu saja, perbaikan tidak terjadi dalam semalam. Sesungguhnya ini adalah perjalanan seumur hidup yang penuh dengan naik dan turun, perjalanan dengan jalan berliku yang penuh dengan cobaan. Oleh karena itu hendaknya kita memasrahkan segala usaha kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta selalu meminta keistiqomahan dan kemudahan dalam meniti jalan ini, sebab pada hakikatnya segala sesuatu terjadi di bawah kehendak Allah, sementara sebenarnya kita tidak berdaya sama sekali.
Saya harap tulisan ini dapat menjadi wasilah (perantara) untuk menyampaikan kebaikan, bagi mereka yang barangkali beranggapan bahwa perempuan yang berpakaian serba panjang adalah mereka yang berpaham ekstrim (akan tetapi kemungkinan ini tetap ada), bagi mereka yang hendak memulai menggunakan penutup aurat yang syar’i, bagi mereka yang bertanya-tanya tentang kehidupan, serta keraguan apapun yang masih terbesit mengenai perbaikan diri ke arah yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai (atau yang biasa disebut dengan ‘hijrah’). Semoga hal-hal yang disampaikan di sini dapat meyakinkan Anda bahwa inilah jalan yang sudah seharusnya kita semua titi, yakni jalan yang telah ditunjukkan Allah melalui firman-firmanNya dalam al-Qur’an serta sunnah NabiNya shalallahu ‘alayhi wa sallam. Sebab inilah kita, ciptaan yang tidak diciptakan secara sia-sia, yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya saat kita berhadapan dengan Allah kelak, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Q. S. al-Mu’minun ayat 115:
“Maka apa kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?”
Muraja’ah oleh: Ustaz Boris Tanesia (Alumnus Ma’had al-‘Ilmi Yogyakarta)
Referensi