Melihat Kebhinekaan dalam Jama’ah Shalahuddin

Oleh: Fakhirah Inayaturrobbani

Pengantar

Jama’ah Shalahuddin (JS) merupakan lembaga dakwah kampus (LDK) intra kampus tingkat universitas yang diakui secara legal oleh Universitas Gadjah Mada. Suasana multikultural terasa kental di organisasi ini, sebab anggotanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, secara sadar JS meletakkan kemajemukan menjadi modal dasar organisasi yang dicantumkan dalam pasal D. Modal Dasar Gerak Dakwah Jama’ah Shalahuddin (Jamaah Shalahuddin, 2015).

Menariknya, selain keberagaman asal suku dan budaya, dalam tubuh Jamaah Shalahuddin juga terdapat berbagai corak pemikiran Islam yang berbeda-beda dari tiap-tiap anggotanya. Hal ini dapat disebabkan, tidak sedikit anggota JS yang bergabung dengan organisasi mahasiwa baik ke-Islaman maupun umum esktra kampus UGM.  Perbedaan corak pemikiran ini dapat didasari oleh pandangan fiqih hingga implementasi syariah yang berbeda. Sehingga, mempunyai konsekuesi logis menimbulkan perbedaan pendapat dalam memandang titik penyelesaian masalah. Pada essai kali ini saya akan fokus pada keragaman corak pemikiran Islam di tubuh JS dan bagaimana JS menghadapinya.

3 Model Kebhinekaan Dalam Tubuh Jama’ah Shalahuddin

Sadar akan potensi konflik yang dapat ditimbulkan oleh keberagaman identitas corak pemikiran Islam di tubuh JS. Terdapat beberapa cara yang telah dilakukan oleh JS dalam menghadapi keragaman identitas ini. Diantaranya adalah sebuah regulasi di ranah system dimana saat menjadi pengurus JS diwajibkan untuk mengutamakan identitas JS diatas identitas pergerakan yang diikutinya di luar JS.

Identitas JS tercantum dalam Bab II. Pola umum gerak dakwah, pasal 8, yang berbunyi “Jama’ah Shalahuddin bersifat independen dan tidak berafiliasi pada organisasi massa dan organisasi sosial politik manapun, baik langsung, maupun tidak langsung.” (Jamaah Shalahuddin, 2015). Selain itu, ketua tidak diperbolehkan memegang jabatan struktural di organisasi lain (lihat Tata Gerak dan Tata Barisan (TGTB) Jamaah Shalahuddin, Bab IV Kepengurusan, pasal 11, 12 A, 15). Implikasi dari pasal berikut adalah identitas organisasi lain di luar JS diletakkan setelah identitas JS saat melakukan kegiatan organisasi di dalam tubuh JS.

Sekalipun setiap pengurus diharapkan mengedepankan identitas JS, yang dianggap lebih netral, saat sedang berada di tubuh JS atau sedang mewakili JS pada lembaga luar. Namun, pengurus dan anggota JS tidak pernah diminta untuk menanggalkan identitas pergerakan ekstra kampusnya berikut corak pemikirannya. Sehingga, dapat mudah ditemukan interaksi antar corak pemikiran Islam secara dinamis dalam tubuh JS. Performansi organisasi didasarkan pada persamaan-persamaan nilai tiap-tiap anggota yaitu berdakwah dalam satu identitas besar JS tanpa menghilangkan identitas corak pemikiran individu (deindiviuasi).

Faturrochman (2008) menjabarkan berbagai model menghadapi keragamaan dalam jurnal “Model-Model Psikologi Kebhinnekatunggalikaan dan Penerapannya di Indonesia”. Diantara lima model yang disebutkan, terdapat tiga model yang dirasa cukup mewakili dinamika kebhinekaan dalam tubuh Jamaah Shalahuddin yaitu diferensiasi mutual, identitas ganda hierarkis, dan persilangan kategori.

Secara singkat, model diferensiasi mutual, menekankan pada aspek kerjasama yang saling melengkapi dan menguntungkan diantara kelompok-kelompok yang ada tanpa mengabaikan identitas kelompok yang lebih kecil (Faturochman, 2008).

Diferensiasi mutual dapat dilihat dari aspek performansi kinerja organisasi yang menekankan pada aspek kerja sama secara komplementori (saling melengkapi). Pada tubuh JS, misalnya anggota JS yang sekaligus anggota HMI biasanya senang melakukan pengkajian dan diskusi isu kebangsaan dalam frame Islam nasionalis. Hal ini kemudian diarahkan untuk mengawal organisasi dalam penelaahan isu yang dianggap sesuai.

Sementara itu, model identitas ganda hierarkis yaitu model yang melihat bahwa manusia dapat beridentitas ganda secara vertical maupun horizontal. Misalnya, identitas kesukuan atau kedaerahan (identitas horizontal) ditempatkan pada level yang lebih rendah dibanding identitas nasional (identitas vertical) (Faturochman, 2008). Jika dalam konteks JS, maka identitas organisasi lain diletakkan setelah identitas JS.

Selain itu, identitas ganda hierarkis dilihat dari dibuatnya identitas kelompok yang lebih umum yaitu identitas JS, tanpa mengubah identitas kelompok-kelompok pergerakan yang ada secara total, identitas pergerakan ekstra kampus dalam tubuh JS lebih bersifat situasional, sehingga JS dianggap dapat mewadahi semua kelompok dalam satu identitas umum JS. Posisi identitas JS diletakkan lebih tinggi pada daripada identitas kelompok di luar JS dalam konteks organisasi. Identitas JS bersifat inklusif, sebab identitas yang lebih umum dan tinggi harus bersifat lebih terbuka (Brewer & Gaertner, 2003; Hewstone dkk., 2002 dalam Faturochman, 2008). Identitas yang lebih umum (identitas JS) inilah yang akan menjaga kontak antar kelompok agar tidak terjadi konflik dengan cara menjaga dinamika status identitas antar kelompok yang lebih kecil (Faturochman, 2008).

Terakhir, model persilangan kategori merupakan konsekuensi logis dari adanya identitas ganda hierarkis. Menariknya persilangan kategori memberikan kesempatan terjadinya titik temu dari berbagai dimensi sosial individu yang satu dengan individu lainnya, sehingga akan ditemukan lebih banyak persamaan antar individu. Oleh karena itu, kerentanan terhadap konflik dapat ditekan sedemikian rupa sebab kelompok berdiri pada asas titik temu atau persamaan-persamaan yang lahir dari persilangan-persilangan kategori itu sendiri (Faturochman, 2008). Model ini tampak dalam pola interaksi kultural organisasi. Setiap anggota pasti mempunyai ragam corak pemikirannya Islam sendiri, namun bergerak, bahkan bersenda gurau, atas dasar-dasar kesamaan yang lebih diutamakan. Hal inilah yang dinamakan dalam agama Islam, ukhuwah Islamiyyah, persaudaraan dalam keberagaman.

Kesimpulan

Dalam suatu kelompok bahkan negara dapat terjadi beberapa model kebhinekaan sekaligus yang berinteraksi secara dinamis. Seperti dalam tubuh Jamaah Shalahuddin yang majemuk, ditemukan tiga model sekaligus yaitu diferensiasi mutual, identitas ganda hierarkis, dan persilangan kategori. Ketiga model inilah yang menjadi pengikat sistemik dan kultural dalam tubuh Jamaah Shalahuddin.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Faturochman. (2008). Model-model psikologi kebhinekatunggalikaan. Jurnal Psikologi Indonesia, 1-15.

Jamaah Shalahuddin. (2015). Pasal 8. Pola Umum Gerak Dakwah. Tata Gerak Tata Barisan 1437 H, 19.

Jamaah Shalahuddin. (2015). Pasal D. Modal Dasar Gerak Dakwah . Garis-garis Besar Haluan Kerja Jamaah Shalahuddin, 5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.