Dunia Shafeera Chapter Part 6.2: Kesempatan

Akhir Kisah: Kesempatan

 

“Assalamu ‘alaykum,” ucapku sembari membuka pintu mobil itu. “Wa ‘alaykumussalam,” jawabnya. Entah mengapa, di momen ini, ada yang berbeda dari gelagatnya. Selama ini, di saat ia memasuki rumah setelah melewati hari yang membuatnya penat, aku dapat menilai dari ekspresinya bahwa tidak semestinya ia aku ganggu. Namun di detik ini, ia terasa begitu berbeda; tetap diam seperti biasanya, tetapi dengan aura yang memancarkan penerimaan atas diriku. Rasa-rasanya, di dalam mobil ini, aku mampu untuk menjadi diriku sendiri tanpa membuatnya menolak kehadiranku.

“Dipakai dulu seatbelt-nya, Shafeera,” ujarnya kepadaku, dan itulah yang segera aku jalankan. Meskipun aku merasa cukup nyaman, harus diakui bahwa semua ini memang berada di luar zona kelaziman. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini terhadapku, bahkan memasuki mobilnya dan pergi untuk makan bersamanya saja berada di luar bayanganku. Selama perjalanan berlangsung, baik aku ataupun dirinya tidak berkata apa-apa. Namun kesunyian yang berada di dalam kendaraan ini berbeda dari yang aku alami di masa-masa yang telah berlalu—tidak ada setitik pun kekelaman yang terkesan di dalamnya.

Sampailah kami di sebuah restoran dengan tampilan sederhana yang menjual makanan tradisional. Bagiku, tidak ada yang spesial dari restoran ini, bahkan, ia terlihat cukup tua. Barangkali, suamiku serta ayah dan ibunya menyimpan banyak kenangan di sini, dan karena alasan itulah akhirnya restoran ini menjadi kesukaan mereka. Kami pun duduk di suatu meja yang berada di samping kanan tempat tersebut. Suamiku memesan hal yang ia ingin makan dan minum di malam hari ini, begitu pula diriku; selazimnya dua orang yang hendak makan malam di suatu restoran. Namun seperti yang telah aku sebut sebelumnya, tidak ada yang lazim dari pertemuan ini—baru kali ini aku dapat duduk berhadap-hadapan dengannya dalam keadaan tenang. “Jadi, Shafeera…” ucapnya, “sebelumnya maaf, saya mau bertanya terlebih dahulu kepadamu,” aku pun terdiam menunggu pertanyaan tersebut, “maaf, sebenarnya saya malu hendak menanyakan hal ini kepadamu, tapi…”

Apa gerangan pertanyaan yang ingin ia berikan? “Kamu sedang tidak shalat ya, Shaf?” Ujarnya, akhirnya menyampaikan pertanyaan itu. Aku hanya mampu mengangguk untuk menjawabnya, mengindikasikan bahwa iya, saya sedang tidak shalat. “Kalau boleh tahu, apakah ini masa haidmu yang ketiga setelah saya mentalakmu?” Anggukan kembali aku berikan, mengindikasikan bahwa ya, itu betul. Sesaat setelah aku memberikan jawaban-jawaban itu, tidak kusangka, aku dapat membaca ekspresi kelegaan pada raut wajahnya. Untuk apa dia menanyakan masa haidku? Apakah ia hendak…

“Shafeera, saya tidak ingin berpanjang-lebar,” ucapnya, “tetapi saya pun tidak ingin terkesan sangat tiba-tiba. Saya juga ragu bahwa kamu akan menyetujui proposal saya ini, setelah segala yang telah kita lalui sebagai sepasang suami-istri.” Mendengar hal-hal yang baru saja ia sampaikan, hatiku kemudian berdebar dengan luar biasa. Dari pernyataan-pernyataan tersebut, aku dapat dengan mudah menerka arah dari pertemuan yang ia lakukan denganku pada malam hari ini. “Shafeera, bagaimana kalau kita rujuk?”

Jangan salah kaprah, aku sangat bersyukur atas inisiatifnya yang menyenangkan ini. Membawaku makan ke restoran favoritnya sekeluarga, menjemputku dari rumah pula; pada detik ini saja, aku masih merasa layaknya sedang berada dalam mimpi. Namun, aku tidak akan semudah itu lupa akan hal-hal mengecewakan yang telah ia lakukan padaku. Aku terdiam sejenak, memproses kata yang baru saja ia keluarkan dari mulutnya. “Rujuk”? Setelah segala yang terjadi, setelah ketidaksukaan yang selama ini ia tunjukkan kepadaku, akhirnya ia meminta untuk rujuk? “Kalau Shaf boleh tahu, memangnya kenapa, kok Mas tiba-tiba mengajak rujuk?” Tanyaku secara gamblang, “Shaf senang kalau Mas sadar, bahwa posisi Mas untuk mengajak Shaf rujuk begitu lemah. Mas sudah banyak membuat Shafeera tersakiti, dan Shaf rasa Shaf tidak perlu mengulang kembali semua cerita yang hanya akan mengundang kembali perih yang sebenarnya sudah mulai pudar,” tanpa alasan yang jelas akan keinginan untuk rujuk, jujur saja, aku merasa seperti sedang dipermainkan.

“Baik, Shafeera,” balasnya, “di kesempatan ini saya juga hendak secara tulus meminta maaf. Saya sadari, bahwa diri saya tidak pernah berlaku adil kepadamu selama ini,” ujarnya, ekspresinya sekilas menunjukkan ketidaknyamanan dan rasa bersalah yang sebenarnya berusaha untuk ia tutupi, “maafkan saya yang tidak pernah mendengarkan dirimu, yang bersikap seakan kamu hanya sebuah benda yang orang tua saya berikan kepada saya. Kini, saya sangat menyesal atas segala yang telah saya lakukan kepadamu.”

“Baiklah…” timpalku, “lalu, mengapa kok tiba-tiba mau mengajak rujuk dengan Shafeera? Bukankah Mas sudah memiliki pengganti yang benar-benar menjadi pilihan Mas?” Tanyaku, menyinggung tentang keinginannya untuk menikah kembali dengan seorang perempuan lain—perempuan yang, menurutnya, membahagiakan dirinya. Bukankah dengan resminya perceraian antara diriku dan dirinya, ia menjadi selangkah lebih maju untuk menikah dengan perempuan itu?

“Mengenai itu…” balasnya, “saya juga hendak meminta maaf kepadamu, Shaf. Saya sangat kekanak-kanakan; alih-alih menyelesaikan masalah secara dewasa denganmu, saya malah mencari pelarian dengan perempuan lain…” ia berkata, “kini, saya pun sangat menyesali semua itu. Saya sadari, ketika kita menjadi seorang pribadi yang buruk, kita pun menarik orang-orang yang buruk ke dalam lingkaran pergaulan kita. Perempuan itu… dia bukanlah pengecualian atas hukum itu. Di saat itu, saya akui saya bukanlah laki-laki yang paling suci, Shafeera, dan saya juga sedang frustasi atas segala yang sedang terjadi.

Tadi malam, jujur saja, saya hampir melewati batas dengannya. Saya tidak akan mendetilkan kejadian itu secara spesifik—akan tetapi di titik itu, alhamdulillah, Allah masih berkenan untuk memberikan saya petunjuk Shaf,” ungkapnya kepadaku, “dan entah mengapa, sebuah perasaan bersalah spontan meliputi diri saya. Tiba-tiba, saya teringat akan dirimu, kamu yang baru saja saya talak. Shafeera yang sebenarnya tidak pernah ingin menikah dengan saya, tetapi tetap maju juga, karena ingin membalas jasa kedua orang tuanya. Shafeera yang, walaupun tidak diperlakukan dengan baik oleh suaminya sendiri, tetap berusaha untuk menjadi istri yang terbaik. Shafeera yang begitu tegar, yang tidak runtuh oleh problematika yang ia alami dalam kehidupannya. Kemudian saya pun menyadari kebodohan saya selama ini; saat dalam kehidupan saya, tanpa pencarian sedikitpun, Allah sudah memberikan saya perempuan terbaik yang pernah saya kenali dalam kehidupan saya, tetapi, ia malah saya talak. Saya akui, di kala saya menikahimu dan menjadi suami yang terburuk bagimu, barangkali, saya begitu ciut… saking ciutnya, saya baru bisa melihat dan mengapresiasi kualitas yang kau miliki setelah saya mendapatkan pengalaman buruk dari perempuan lain terlebih dahulu.

Shafeera, di sini saya ingin menghinakan diri saya sendiri, dengan penghinaan yang seharusnya sejak awal saya lakukan di hadapanmu. Saya sadar, atas segala yang telah saya perbuat kepadamu, saya sama sekali tidak pantas untuk menjadi suamimu. Namun Shafeera… berikanlah saya satu kesempatan lagi, kesempatan untuk memperbaiki segala yang telah saya hancurkan. Walau tidak mungkin bagi saya untuk memutar balik waktu dan memperbaiki segalanya dari titik awal hubungan kita, bukankah masih ada masa depan yang bisa menjadi modal utama bagi kita untuk mengulang kembali?”

Kata-kata tersebut memang terasa begitu manis di telinga dan juga sangat meyakinkan; akan tetapi, akankah aku dengan secepat itu percaya dengan lelaki ini? Apakah proposal yang begitu singkat ini dapat menjadi pijakan yang cukup kuat bagiku untuk membuat keputusan yang amat krusial? Jika aku setuju untuk kembali dengannya, apakah jaminan yang ada sebagai bukti bahwa ia benar-benar tidak akan menyakitiku lagi? “Bagaimana… Shafeera?” Setelah sekian detik aku diam tanpa jawaban, ia kembali bersuara untuk mendapatkan kepastian itu. Lelaki yang sedang duduk berhadapan denganku ini, ia adalah lelaki yang sama yang berargumen bahwa ibu rumah tangga tidak memerlukan pendidikan lanjut; yang menyelingkuhiku; yang menampar wajahku di atas ranjang; yang kemudian ingin menduakanku tanpa landasan yang meyakinkan… lantas, apakah bisa aku mempercayainya dengan kesempatan kedua?

“Maaf Mas. Shafeera ragu…” jawabku, akhirnya. Helaan napas ia keluarkan setelah keraguanku kuperjelas, kemudian ia pun kembali membuka mulutnya, “Baiklah. Lalu, bagaimana agar kamu tidak ragu dengan saya, Shafeera?” Aku pun berpikir sejenak, kemudian berkata, “Mas… tadi Mas ada mengungkit tentang memutar balik waktu. Jika memang Mas mampu untuk melakukan itu, kalau boleh tahu, apakah Mas tetap akan melarang Shafeera untuk melanjutkan pendidikan? Apakah Mas akan tetap menyelingkuhi Shafeera? Apakah ketika Shafeera menuntut hak-hak Shaf, Mas akan tetap memukul Shaf? Apakah opsi untuk menikah kembali tanpa alasan yang jelas tetap mungkin untuk ada? Maaf apabila Shafeera bertanya dengan sebegitu detilnya; Shaf hanya tidak ingin—jika kelak kita memang jadi rujuk—hal-hal semisal semua itu terjadi lagi, karena kenyataannya, kejadian-kejadian seperti itulah yang begitu melukai diri Shafeera.”

Memori-memori itu kembali lekat ke dalam ingatan, membuatku ingat akan alasan di balik menangisnya diriku di dalam dekapan ibuku; membuatku kembali kepada segala rentetan kejadian yang berakhir dengan kalimat talak. Benarkah pada saat ini, lelaki yang merupakan sosok utama di balik semua itu telah gigih untuk berubah menjadi sosok yang lebih baik lagi? “Saya menyesali semua itu, Shafeera,” balasnya, “dan saya merasa begitu bersalah karena telah meninggalkan luka-luka pada dirimu yang tidak pantas untuk mendapatkannya.

Saya tidak ingin, kelak malah ada lelaki lain yang hadir di kehidupanmu dan menjadi salah satu penyembuh dari luka-luka itu. Saya ingin rujuk denganmu, karena justru saya ingin memperbaiki semua itu. Saya malah merasa tidak tenang, seandainya semua ini berakhir dan hal-hal yang kau ingat dari saya hanyalah hal-hal yang hanya akan membuatmu merasa sedih, menjadikan saya seorang lelaki yang menyedihkan. Saya harap, proposal ini kamu terima, Shafeera, sebab saya sungguh ingin mengulang dari awal denganmu—sesosok perempuan yang seharusnya saya hormati dari hari pertama.”

Walaupun samar tercecap rasa pahit yang telah menjadi teman baikku selama aku berstatus sebagai istrinya, aku rasa, aku bisa menjadikan hari ini sebagai titik awal dari suatu permulaan yang baru. Meski begitu berat rasanya untuk kembali mengenggam sebuah tangan yang pernah menyakitimu dengan sangat mendalam, aku rasa, tidak ada salahnya untuk mencoba. Setelah usai segala perkara makan malam berdua di restoran favorit keluarga pada malam hari itu, aku benci untuk mengatakannya—tetapi aku memutuskan untuk rujuk kembali dengan lelaki yang tidak pernah menjadi pilihanku; akan tetapi kali ini, akulah yang memilih untuk rujuk kembali dengannya.

 

***

Beberapa minggu telah berlalu setelah aku menerima proposal untuk rujuk darinya. Keempat orang pertama yang begitu bahagia saat mengetahui bahwa kita memutuskan untuk rujuk tentu saja merupakan Ayah dan Ibu kita berdua. Aku pun begitu bersyukur, sebab ia sungguh berusaha untuk menepati janji-janjinya—kini, ia senantiasa berupaya untuk menyenangkan hatiku dengan perhatian dan penghormatan yang semestinya.

Penghujung bulan sudah berada di depan mata dan aku merasa ada yang cukup aneh dengan diriku. Biasanya, di pertengahan bulan aku telah mengalami menstruasi. Mengingat kembali segala penyuluhan serta pelajaran yang telah kudapatkan mengenai sistem reproduksi wanita, mungkinkah sel telurku telah terbuahi sehingga bulan ini tamu itu belum kunjung hadir? Malam itu, setelah aku mendapatkan seperangkat test-pack yang suamiku belikan, aku pun mencari tahu mengenai status kehamilanku. Rasa-rasanya aku hendak menangis begitu aku melihat hasil dari tes yang aku lakukan… dua garis; dua garis yang menunjukkan bahwa sebuah unit kehidupan baru sudah mulai terbentuk di dalam rahimku.

Saat aku menunjukkan hasil itu kepada suamiku, aku menangis di hadapannya; sebuah tangisan yang menunjukkan entah haru, bahagia, atau campuran dari keduanya. “Mas, Shafeera hamil,” ujarku kepadanya. “Alhamdulillah, Shafeera…” balasnya dengan spontan, ia pun bergegas untuk melakukan sujud syukur kemudian menyambut dan memelukku erat. “Barakallahu fik, Shafeera,” ucapnya kepadaku.

Tentu saja syukur dan bahagia dalam sekejap aku rasakan dalam hatiku, akan tetapi di saat yang sama, rasa takut dan bingung pun juga hadir. “Mas… Shafeera takut,” aku berkata kepadanya, “sudah pasti bahwa Shaf sangat senang akan kehamilan ini, tetapi Shaf pun sadar akan segala tanggung jawab dan resiko yang menanti.” Mendengar pernyataan itu, ia melepas pelukannya dan berkata kepadaku, “Saya mengerti, Shafeera. Tidak apa, kita akan jalani ini bersama. Saya yakin bahwa kamu mampu untuk menjadi ibu yang baik… saya pun akan belajar mengenai hal-hal yang perlu dipersiapkan dan dijalani untuk menyambut anak kita ini, insya Allah.”

Aku tersenyum mendengar kata-kata itu, dan merasa lega bahwa aku mampu untuk mempercayainya. “Mas, kira-kira dia laki-laki atau perempuan, ya?” Tanyaku kepadanya, sebagai suatu bentuk usaha untuk mengubah suasana agar menjadi lebih ringan. Ia pun membalas senyumanku dan berkata, “Saya tidak terlalu peduli, Shaf. Laki-laki atau perempuan, dia adalah anak kita yang memiliki hak untuk disayang, sebuah hak untuk mendapatkan kehidupan yang terbaik.”

“Iya Mas ya,” balasku, “bukankah Allah juga memandang laki-laki dan perempuan setara di hadapanNya, sebagai hamba-hambaNya yang dibebani oleh tanggung jawab masing-masing?” Mendengar itu, suamiku membalas ucapanku dengan sebuah anggukan yang menunjukkan persetujuannya. Kemudian, tiba-tiba ia berkata, “Shaf, saya ingin berterima kasih banyak kepadamu.” Aku pun mengernyitkan dahi setelah ia mengatakan hal tersebut, menunjukkan keherananku kepadanya, “Terima kasih untuk apa?” Tanyaku.

Atas segala yang telah kau ajarkan kepada saya, Shaf. Jujur saja, sebelum semua ini terjadi, sebelum saya berhadapan dengan dirimu, barangkali persepsi saya terhadap perempuan begitu buram. Amat sulit bagi saya untuk melihat perempuan dengan segala kekuatan dan kerja kerasnya, yang dapat dengan mudah terlewati oleh seorang lelaki seperti saya. Seorang lelaki yang merasa bahwa dirinyalah pusat dari segalanya, yang merasa bahwa sejatinya penghormatan itu hanya patut diberikan kepada dirinya. Akan tetapi saat Allah memberikan petunjukNya kepada saya, di sanalah saya tersadar; bahwa tanpa peran perempuan, saya tidak akan bisa menjadi diri saya hari ini.

Ya, tanpa seorang ibu yang dengan teguh dan ikhlas merawat, menjaga, serta mendidik saya, entah bagaimana nasib saya hari ini. Tanpa dirimu yang dengan tekun mengerahkan usaha-usahamu agar rumah kita senantiasa makmur, entah kehampaan seperti apa yang akan terasa di dalam tempat tinggal kita ini. Tanpa dirimu Shaf, saya tidak akan bisa menjadi seorang ayah; dan mengenai hal ini, saya rasa kamu sungguh telah mengambil peran yang sangat penting sebagai sosok yang turut menyempurnakan pengalaman saya dalam berperan di kehidupan ini. Saya tidak lagi ingin memandang remeh perkara-perkara itu, sebab saya pun adalah seorang saksi hidup dari betapa beratnya perjuangan seorang perempuan dalam menjalaninya.

Hebatnya lagi, semua itu tidak hanya berhenti di sana. Shafeera, kamu adalah seorang perempuan yang begitu spesial. Selain hal-hal yang telah saya sebutkan, kau pun dianugerahi Allah dengan sebuah karakter yang menawan dan kecerdasan yang diakui oleh mereka yang mengenalmu. Dengan itu, kau pun tidak lapuk oleh semua badai yang menerjang, bahkan dengan bijak kau lalui itu semua. Tanpa kehadiran dirimu di kehidupan saya Shaf, sepertinya saya akan terus berkubang dalam perspektif kehidupan yang tidak semestinya. Kamu mendorong saya untuk berintrospeksi sebagai tidak hanya seorang suami, tetapi juga seorang lelaki dan umumnya lagi seorang manusia yang menjalani perannya dalam kehidupan ini.

Shafeera, sungguh saya tidak bisa berjanji banyak kepadamu. Saya tidak secerdas dirimu, saya pun tidak memiliki pengalaman dalam menjadi seorang suami atau ayah yang baik. Namun satu hal yang mungkin telah kamu sadari, bahwa saya sendiri sedang berusaha. Semoga segala yang telah saya usahakan sudah cukup untuk membayar segala luka yang pernah saya tinggalkan kepadamu, dan sekarang sayalah salah satu dari sumber kebahagiaanmu. Semoga pula, usaha-usaha yang saya kerahkan dengan segala kekurangannya yang ada kelak cukup untuk merawat dan membesarkan anak kita, agar ia dapat menjadi pribadi yang shalih atau shalihah.

“Tidak Mas,” balasku, “Mas tidak perlu berterima kasih kepada Shaf. Allah-lah yang mengatur semua ini dengan sedemikian rupa, sehingga kehidupan kita hari ini begini adanya. Sampai hari ini, Shaf pun tidak habis pikir… betapa lucunya segala yang telah Shaf alami sampai Shaf berada di titik ini. Jika ada yang bertanya kepada Shaf, ‘Adakah yang ingin kau ubah dari masa lalumu?’ Shaf tidak akan berani menjawab pertanyaan itu. Namun terlepas dari segala yang telah terjadi, kini Shaf yakin, bahwa apapun yang menjadi kenyataan, sudah tentu ia mengandung hikmah… walaupun ia pahit, walaupun ia kita benci. Karena bukankah segala yang terjadi di alam semesta ini terjadi di bawah izin Ia Yang Paling Bijaksana?

Oleh karena itu, Shaf sangat bersyukur, bahwa terlepas dari segala yang telah berlalu, hari ini, Allah bersedia untuk memberikan kita salah satu dari karunia yang menjadi dambaan begitu banyak hamba-hambaNya. Namun, di samping menjadi sebuah karunia, ia pun dapat menjadi sebuah cobaan bagi kita. Shaf harap, Shaf dan Mas sama-sama kuat untuk memikul amanah yang begitu berat ini—kita berdua, sebagai pasangan yang saling mencintai, mendukung, dan mengingatkan.”

Permulaan… sejatinya kehidupan kita memang penuh dengan permulaan. Setiap detik kian memperbaharui dirinya, begitu pula menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Manusia pun tidak ada bedanya. Di balik setiap momen kehidupannya, ada sebuah maksud, sebuah tujuan yang berasal dari Ia yang menciptakannya. Momen-momen itu pun memantik berbagai pikiran dan perasaan pada dirinya, hingga akhirnya ia sampai pada berbagai kesadaran. Kesadaran itu pun dapat mendorong seseorang untuk kembali memperbaharui dirinya, dengan pandangan-pandangan yang baru, dengan sebuah kehidupan yang baru. Inilah yang terjadi di duniaku: Dunia Shafeera… dan kuharap yang sama pun senantiasa terjadi di duniamu.

 

— Tamat —

2 thoughts on “Dunia Shafeera Chapter Part 6.2: Kesempatan

  1. Kucing Sekre says:

    Setiap chapternya bikin penasaran. Akhirnya selesai juga. Saya nunggu serial selanjutnya. Mungkin cerita yang sama tapi dari sudut pandang suami Shafeera, yang entah siapa namanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.