Rilis Isu RUU HIP Jama’ah Shalahuddin

source: Widezone.com

MENGENAL RUU HIP DAN PERJALANANNYA

Berdasarkan Catatan Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) disebutkan bahwa RUU ini dibentuk karena belum adanya undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi latar belakang diperlukannya Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila. Sedangkan pengertian dari Haluan Ideologi Pancasila sesuai yang diatur dalam RUU HIP dimaksudkan sebagai pedoman bagi cipta, rasa, karsa, dan karya bangsa Indonesia dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong untuk mewujudkan tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, serta kerakyatan/demokrasi yang berkeadilan sosial.

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah melalui berbagai proses legislasi mulai dari tahap pengusulan, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang pakar dan tim ahli, Rapat Panitia Kerja, kemudian Rapat Pengambilan Keputusan, sampai akhirnya disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR RI. RUU ini diusulkan pada 17 Desember 2019 dan proses legislasinya dilakukan sejak 11 Februari 2020 sampai 12 Mei 2020. Namun, pembahasan RUU ini tidak bisa dilanjutkan karena Presiden Joko Widodo memutuskan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) yang merupakan tanda persetujuan pembahasan legislasi atas RUU HIP di tingkat lanjut. Reaksi dari masyarakat merupakan alasan utama penundaan pembahasan RUU HIP ini. Pasalnya RUU ini telah memancing reaksi keras dari tiga ormas keagamaan besar Tanah Air, purnawirawan TNI, sampai partai oposisi pemerintah.

Penolakan RUU HIP ini juga disuarakan melalui demonstrasi oleh berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) yang didalamnya terdapat massa dari PA 212 dan pentolan FPI. Aksi demonstrasi ini diwarnai dengan insiden pembakaran bendera partai PKI dan PDPI-P. Hal ini memicu reaksi dari kader dan pengurus PDIP-P. Aksi demonstrasi juga bergejolak di daerah lain, seperti Aksi Selamatkan NKRI dan Pancasila di Jalan Ahmad Yani Pontianak, unjuk rasa Forum Ormas Banten Bersatu di halaman Masjid Agung Kesultanan Banten, dan pembacaan pernyataan sikap pimpinan ormas dan tokoh masyarakat NTB dalam aksi damai terkait RUU HIP di Islamic Center NTB, Mataram. Bahkan aksi penyampaian protes terhadap RUU HIP juga dilakukan hacker dengan cara membajak situs resmi DPR RI.

POLEMIK RUU HIP

Beberapa poin dalam RUU HIP banyak disoroti dan menimbulkan polemik serta masukan dari berbagai pihak. Poin pertama adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV/1966 sebagai konsideran RUU HIP yang berisi pernyataan bahwa ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada hakekatnya bertentangan dengan Pancasila. RUU HIP sebagai penafsiran dari Pancasila seharusnya juga mempertimbangkan tentang paham yang bertentangan dengan Pancasila. Tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV/1966 ini disebut Muhammadiyah sebagai bentuk pengabaian fakta sejarah PKI yang sadis, biadab, dan memilukan di Indonesia.

Poin kedua adalah penggunaan klausul Trisila, Ekasila, dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan dalam Pasal 7 RUU HIP. Ayat (2) dari pasal ini membahas tentang ciri pokok Pancasila yang berupa Trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Konsep Trisila ini kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong royong sesuai penjabaran pada ayat (3) dari pasal tersebut. Maklumat MUI menyatakan pasal ini sebagai upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila. Maklumat PP Muhammadiyah menyatakan bahwa memasukkan Trisila, Ekasila, maupun maupun Ketuhanan Yang Berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945 serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Sedangkan dari hasil pengkajian PBNU dinyatakan bahwa upaya memeras Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila akan merusak kedudukan Pancasila baik sebagai falsafah dasar maupun hukum dasar yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945.

Poin lain yang dipermasalahkan adalah penguatan eksesif kelembagaan BPIP. Pihak PBNU menyinggung kelahiran kembali Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di zaman Orde Baru sebagai alat sensor ideologi masyarakat dengan adanya penguatan eksesif kelembagaan BPIP dalam RUU HIP. Sementara PP Muhammadiyah memandang kedudukan BPIP tidak perlu ditetapkan dalam UU secara khusus. Menjalankan Pancasila secara nyata disertai keteladanan pejabat negara dan ketaatan warga merupakan agenda terberat dan prioritas yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.

PANCASILA IDEOLOGI FINAL

Pancasila adalah falsafah atau pandangan hidup, jiwa serta tujuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara Proklamasi Republik Indonesia oleh karena ia telah ditetapkan oleh wakil rakyat dalam PPKI pada tahun 1945. Ideologi Pancasila dianut karena diyakini akan membawa negara-bangsa ke arah kemakmuran dan keadilan. Tujuan dari setiap ideologi politik adalah untuk menghindari penderitaan manusia dengan menggabungkan ide-ide, emosi, dan orang-orang dalam moda produksi perubahan sosial yang mendasar. Ideologi harus memiliki ketiga variabel ini untuk mendapatkan kekuatan yang diperlukan sehingga berhasil sebagai kekuatan politik. Jadi, alasan penciptaan ideologi politik sebagai “pelarian” keluar dari ketidakadilan yang dirasakan.

Pancasila sebagai dasar negara dan suatu ideologi bangsa merupakan satu kesatuan dalam arti lahiriah yang oleh Notonegoro disebut kesatuan organis. Kesatuan organis adalah kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem ideologi. Pancasila terdiri atas bagian sila-sila yang tidak dapat terpisahkan.

Sila-sila Pancasila sebagai dasar filsafat negara berlandaskan pada adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai kenyataan yang sungguh-sungguh ada, sehingga mengandung isi arti mutlak, bahwa sifat-sifat dan keadaan segala hal kenegaraan harus sesuai dengan hakikat Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil.

Saat DPR mengajukan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila atau biasa dikenal dengan RUU HIP yang di dalamnya terdapat berbagai polemik, di mana pada pasal 7 RUU tersebut yang berbunyi:

    1. Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
    2. Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
    3. Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristailisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.

Sebagaimana Rancangan di atas yang mana pokok Pancasila yang berjumlah 5 butir sila yang bersifat satu tarikan nafas dan tidak dapat dipisahkan diperas oleh RUU HIP menjadi 3 butir yang dinamakan trisila dan kemudian diperas lagi menjadi hanya satu butir sila pokok gotong royong yang bisa disebut ekasila.

Trisila dan Ekasila pertama kali disebutkan dalam pidato di sidang BPUPKI yang sekarang diperingati sebegai hari lahirnya Pancasila. Ketika di pidato pada 1 Juni 1945, Soekarno memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Itu karena ia ingin membangun kesinambungan antara pikiran awalnya dan ide dasar negara sebab apa yang disebut trisila itu ialah ide-ide awal yang ia gagas sejak 1930-an hingga awal 1940. Namun apa yang Soekarno sampaikan pada waktu merupakan rumusan atau gagasan awal lahirnya Pancasila, sedangkan yang sudah diputuskan dan menjadi patokan sekarang bukan berjumlah tiga (Trisila) ataupun satu (Ekasila), yang menjadi dasar Negara kita yang tidak bisa diganggu lagi sekarang berjumlah lima (Pancasila).

DINAMIKA HISTORIS PANCASILA

Setelah dirumuskan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dan ditetapkan menjadi dasar negara pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila menjadi arah gerak dan tujuan bangsa Indonesia. Namun karena beragamnya masyarakat Indonesia beragam pulalah penafsiran Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Hal inilah yang semakin membuat rancu arti dari Pancasila karena bergantung kepada siapa yang menafsirkannya. Padahal sudah jelas bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang tegas dan simpel. Namun dalam perjalanannya yang kadang berbeda.

Sejak resmi berdiri sebagai sebuah negara bangsa dalam pengertian modern, eksistensi Pancasila sebagai landasan idiil NKRI selalu diwarnai polemik. Episentrum polemik terutama pada interpretasi Pancasila sebagai ideologi negara (state-ideology) khususnya dimensi kesejarahan dan fungsinya.

Kelahiran Pancasila misalnya. Hingga tahun 1965 hanya ada tafsir tunggal dan tidak ada perdebatan mengenai dimensi sejarah kelahirannya. Bung Karno memainkan peran tunggal atas keduanya, tafsir sekaligus sejarah. Tetapi mainstream sejarah selalu ditentukan oleh pihak yang keluar sebagai pemenang dalam sebuah pergulatan politik. Dengan runtuhnya kekuasaan Soekarno dan munculnya Soeharto sebagai seorang figur baru, maka hitoriografi Indonesia pasca 1965 didominasi oleh militer dan kemudian oleh birokrasi. Bila pada masa Bung Karno Pancasila berkontestasi ideologi-ideologi lain seperti Nasional, Agama, dan Komunis (NASAKOM), pada masa yang dibabtis dengan nama Orde Baru ini, Pancasila ditetapkan sebagai ideologi Tunggal (mono-ideology). Isi Pancasila yang pernah diperas menjadi tiga sila dan empat sila pada era Orde Lama “dikembalikan” ke lima sila, sementara “penggalinya” dikaburkan, menjadi bukan hanya bung Karno. Dengan demikian, ruang tafsir atas Pancasila menjadi otoritas rezim dan tafsiran-tafsiran di luar itu dianggap sebagai sebuah kesalahan berpikir (falacy) yang berakibat pada ancaman subversif dari negara. Implementasi ketentuan ini dapat kita lihat dari proses fusi partai-partai politik yang memaksakan Pancasila sebagai mono-ideologi (Hermawan Sulistyo, 2004). Dalam kondisi seperti ini, ideologi rentan menjadi alat instrumentasi sebuah rezim untuk kepentingan kekuasaannya, ketimbang sebagai sebuah cara pandang bersama yang dapat mengayomi semua golongan dan kepentingan yang ada.

Kedua, persoalan rumusan Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup bangsa. Seperti yang dilansir Achadiat M. dalam Polemik Kebudayaan (Achadiat K. Miharja, 1984), pernyataan antara Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia selama beratus-ratus tahun dan sekaligus merupakan sebuah falsafat politik adalah sesuatu yang kontradiktif (contradictio in terminis). Sebagai pandangan hidup yang digali dan berurat akar dalam kebudayaan Indonesia yang heterogen, Pancasila belum merupakan dan memang tidak dapat berupa rumusan. Sebagai sebuah rumusan Pancasila adalah “produk historis” dari sebuah momentum tertentu, tepatnya ketika Supomo, M. Yamin, dan Soekarno merumuskan butir-butir pemikirannya dalam sidang pertama BPUPKI mengenai dasar yang akan kita pergunakan dalam membangun sebuah negara bangsa bernama Indonesia.

Ketiga, Pancasila yang sejatinya adalah suatu ideologi yang bersifat terbuka, alasannya Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa. Dengan demikian Pancasila adalah jati diri bangsa dan tidak menafikkan elemen budaya-budaya lain yang ada, malah akan di-inkulturasikan dengan nilai-nilai yang telah ada dalam Pancasila. Jadi, Pancasila selalu terbuka terhadap budaya lain, sepanjang budaya tersebut sesuai dan dapat memperkaya khazanah budaya bangsa. Namun dalam masa order baru Pancasila justru menunjukkan wajah yang tertutup. Pancasila yang sejatinya bersifat terbuka muncul sebagai ideologi tertutup dengan hanya menjadi instrumentasi rezim penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, tidak terbuka terhadap pandangan lain seperti interpretasi alternatif terhadap Pancasila. Tafsiran Pancasila hanya menjadi monopoli otoritas atau penguasa, serta kooptasi Pancasila oleh negara yang berujung pada melemahnya posisi tawar warga negara di hadapan penguasa.

Pancasila sebagai asas kehidupan adalah cita-cita hidup yang seharusnya diamalkan dengan benar. Pengamalan Pancasila tidak hanya dalam lapangan hidup kenegaraan, tetapi juga dalam lapangan adat, kebudayaan, keagamaan, termasuk lingkungan usaha pihak negara. Sebaliknya pemeliharaan dan perkembangan adat, kebudayaan, dan agama tidak boleh bertentangan dengan hidup kenegaraan.

Tujuan peneguhan dasar negara dalam perumusan RUU HIP memang patut diapresiasi. Namun, RUU ini telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak dan berpotensi membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis yang pernah terjadi. Hal ini akan menyebabkan terpecahnya konsentrasi pemerintah dan polarisasi dalam masyarakat yang saat ini sedang diuji krisis akibat pandemi.

DAFTAR PUSTAKA

Aida, Nur Rohimi. 2020. Apa itu RUU HIP yang Dipersoalkan NU dan Muhammadiyah?. https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/17/062559765/apa-itu-ruu-hip-yang-dipersoalkan-nu-dan-muhammadiyah?page=all (diakses tanggal 28 Juni 2020)

Amali, Zaki. 2020. Bendera PKI & PDIP Dibakar di Demo PA 212 soal HIP Berimbas Panjang. https://tirto.id/bendera-pki-pdip-dibakar-di-demo-pa-212-soal-hip-berimbas-panjang-fLkl (diakses pada 28 Juni 2020)

Arif, Syaiful. 2020. Soekarno, Trisila, dan Pancasila.            https://mediaindonesia.com/read/detail/321964-soekarno-trisila-dan-pancasila. (diakses tanggal 23 Juni 2020)

CNN Indonesia. 2020. Situs Resmi DPR RI Dibajak Hacker, Protes RUU HIP. https://m.cnnindonesia.com/teknologi/20200624192757-185-517093/situs-resmi-dpr-ri-dibajak-hacker-protes-ruu-hip (diakses tanggal 29 Juni 2020)

detiknews. 2020. Aksi Demonstrasi Tolak RUU HIP Bergejolak di Berbagai Daerah. https://news.detik.com/foto-news/d-5069979/aksi-demonstrasi-tolak-ruu-hip-bergejolak-di-berbagai-daerah (diakses tangga 29 Juni 2020)

DPR RI. 2020. Program Legislasi Nasional Prioritas : RUU tentang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/248 (diakses pada 29 Juni 2020)

Garjito, Dany dan Rifan Aditya. 2020. 7 Fakta RUU HIP, dari Pengusul, Demonstrasi, hingga Pembahasan Ditunda. https://www.suara.com/news/2020/06/26/164525/7-fakta-ruu-hip-dari-pengusul-demonstrasi-hingga-pembahasan-ditunda (diakses tanggal 29 Juni 2020)

Faradila, Ayu Hanita, Holilulloh, M. Mona Adha. PENGARUH PEMAHAMAN IDEOLOGI PANCASILA TERHADAP SIKAP MORAL DALAM MENGAMALKAN NILAI          NILAI PANCASILA. Jurnal Kultur Demokrasi. 2(7) : 1-12

Maklumat Dewan Pimpinan MUI Pusat dan Dewan Pimpinan MUI Provinsi Se-Indonesia Nomor : Kep-1240/DP-MUI/MUI/VI/2020 tentang tentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ditetapkan pada 24 Syawal 1441 H/12 Juni 2020

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. 2020, Juni. Sikap PBNU terhadap RUU HIP : Perkuat Pancasila sebagai Konsensus Kebangsaan. dari : https:/www.nu.or.id/post/read/120871/sikap-pbnu-terhadap-ruu-hip—perkuat-pancasila-sebagai-konsensus-kebangsaan (diakses pada 25 Juni 2020)

Pernyataan Pers PP Muhammadiyah Nomor : 09/PER/I.0/I/2020 tentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ditetapkan di Yogyakarta pada 23 Syawal 1441 H/15 Juni 2020 M

Putro, Widodo Dwi. PANCASILA DI ERA PASKA IDEOLOGI. Veritas et Justitia. 5(1) : 1-19

Republika. 2020. Purnawirawan TNI-Polri Tolak RUU HIP. https://www.republika.id/posts/7446/purnawirawan-tni-polri-tolak-ruu-hip%C2%A0 (diakses pada 29 Juni 2020)

RepublikaDigital. 2020. Draft RUU Haluan Ideologi Pancasila. https://www.slideshare.net/RepublikaDigital/draf-ruu-haluan-ideologi-pancasila (diakses tanggal 25 Juni 2020)

Setiawan, Riyan. 2020. Mengapa MUI, Muhammadiyah, GP Ansor sampai FPI Tolak RUU HIP?. https://tirto.id/mengapa-mui-muhammadiyah-gp-ansor-sampai-fpi-tolak-ruu-hip-fHMK (diakses pada 28 Juni 2020)

Soeprapto, Sri. 2014. KONSEP INSENTIF ETIKA PANCASILA BERDASARKAN       FILSAFAT PANCASILA NOTONAGORO. Yogyakarta : UNY Press

Tasma, Agustinus Edward, Heru Santosa. POLEMIK EPISTEMOLOGI PANCASILA DAN DEMOKRASI YANG KONSTRUKTIF BESERTA IMPLEMENTASINYA. Humanika. 6(1) : 85-94

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.