Review Literatur “Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik”

Oleh: Haidar Yusuf Arya Baskara

Pendahuluan

Sebagaimana yang kita ketahui, kekerasan sangat erat kaitannya dengan konflik, meskipun tidak semua konflik berbentuk kekerasan. Dalam literatur “Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik” yang ditulis oleh Cornelis Lay, akar dari kekerasan ini bisa dibilang cukup bervariasi, mulai dari pendekatan psikologis sosial, sebab-sebab yang bersifat struktural, hingga terkait dengan nilai yang melekat dalam kebudayaan ataupun ideologi (termasuk agama). Kekerasan dari pendekatan psikologis mengargumentasikan bahwa kekerasan muncul sebagai akibat dari pertarungan dua insting yang melekat pada libido, sedangkan pada sebab-sebab struktural adalah dari sistem-sistem seperti sistem ekonomi, politik, maupun sosial. Dalam tulisan ini nantinya akan lebih mengurai akar yang ketiga, di mana kekerasan cukup berkaitan dengan agama. Pada review ini akan dikupas proses bagaimana akar kekerasan dengan basis nilai yang melekat dalam agama menjadi sebuah konflik yang memiliki dampak yang cukup masif serta bagaimana cara meresolusi konflik tersebut. Lebih lanjut, dalam literatur yang ditulis oleh Cornelis Lay, setidaknya ada empat cakupan besar kekerasan yang menjadikan agama menjadi pembenar. Keempatnya adalah kekerasan yang berlangsung dalam ranah agama yang sama, kekerasan yang melibatkan agama yang berbeda, kekerasan oleh negara atas nama agama, dan kekerasan atas simbol kemaksiatan (Lay, 2009). Hal ini menjadi menarik untuk diangkat karena agama merupakan hal yang agaknya cukup sensitif untuk dipermasalahkan dan tentunya menyangkut orang banyak, sehingga memberikan efek/pengaruh yang masif pula pada masyarakat luas.

Empat Cakupan Kekerasan Atas Nama Agama

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kekerasan yang terkait dengan nilai yang melekat dalam kebudayaan/ideologi, utamanya agama dapat dikategorisasikan ke dalam empat cakupan besar menurut Cornelis Lay. Cakupan pertama ialah kekerasan yang berlangsung dalam ranah agama yang sama, di mana Cornelis Lay memaparkan beberapa kasus seperti kasus Ahmadiyah di Indonesia, Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta, Jaringan Islam Liberal, hingga artikel ‘Islam, Agama yang Gagal’. Kesemuanya bermuara pada hal yang sama di mana semua kasus tersebut mendapat perlawanan dan tekanan dari internal umat keagamaan yang sama (yang dalam hal ini Agama Islam).

Lebih lanjut, cakupan kedua adalah kekerasan yang melibatkan agama yang berbeda. Dalam literatur yang sama, Cornelis kurang lebih menjelaskan beberapa konflik antara umat Islam dengan umat yang lain di Indonesia. Mulai konflik terjadi dalam kasus pengerusakan rumah ibadah, kegiatan keagamaan yang dianggap mengusik, hingga konflik terbuka antar kedua agama berbeda. Sebagai tambahan, dalam literatur lain, konflik juga terjadi antara agama dengan penghayat kepercayaan. Di Indonesia seperti yang kita ketahui, terdapat banyak penghayat kepercayaan, baik dengan nama penghayat, aliran kepercayaan, maupun kebatinan. Salah satu contoh kasus yang dapat diangkat adalah penyegelan bangunan bakal makam milik Masyarakat Adat Karuhun (Akur) Sunda Wiwitan di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dikutip dari detik.com, saat proses penyegelan tersebut berlangsung, seribuan orang dari organisasi masyarakat (ormas) setempat  yang mendukung penyegelan itu, berada di sekitar lokasi kejadian (DW, 2020).

Selain daripada kekerasan di dalam internal agama yang sama dan antar agama yang berbeda, dalam literatur yang sama Cornelis Lay juga mengatakan adanya kekerasan atas simbol kemaksiatan. Pada bagian subbab ini, dominan memaparkan tindak tanduk Front Pembela Islam (FPI) dalam melakukan aksi kekerasan. Kekerasan ini didasarkan pada adanya pemberantasan ketidakbenaran menurut agama islam, atau dalam bahasa gamblangnya adalah kemaksiatan. Meskipun demikian, menurut jurnal ini kekerasan yang dilakukan tidak langsung secara serta merta membabi buta, namun di awal terlebih dahulu dari pemberian peringatan. Tentunya kekerasan ini juga menyasar tidak hanya agama yang berbeda saja, namun tergantung dari siapa yang melakukan kemaksiatan menurut sebagian yang lain.

Cakupan keempat dan terakhir adalah kekerasan oleh negara atas nama agama. Hal ini berangkat dari diakuinya enam agama resmi di Indonesia yang tentu hal tersebut memiliki implikasi potensi konflik atau kekerasan apabila kita membicarakan di luar keenam agama tersebut. Dalam literatur Cornelis Lay, dikemukakan adanya kasus tersebut, di mana ajaran Madi, Lia Eden, Falun Dafa, dan Muhammad Yusman Roy dikriminalisasi oleh negara. Kriminalisasi yang dialamatkan oleh negara ini didasarkan atas penodaan agama, penyimpangan agama, dan sebagainya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan tiga cakupan sebelumnya karena dalam bagian ini, negara menjadi aktor yang paling disorot.

Resolusi Kekerasan/Konflik Atas Nama Agama

Secara garis besar, terdapat dua resolusi yang dapat ditawarkan dalam kekerasan atas nama agam seperti yang telah dijelaskan di atas. Keduanya adalah resolusi internal dan resolusi eksternal agama. Resolusi internal agama dapat dilakukan apabila memang terdapat konflik dalam internal agama seperti yang ada di cakupan pertama dan ketiga. Dalam artikel yang ditulis oleh Agus Yulianto, konflik internal yang sering muncul antara penganut satu agama adalah perbedaan mahzab atau paham sehingga mereka saling berbeda pendapat dan menimbulkan konflik (Yulianto, 2018). Lebih lanjut, dalam artikel yang sama, Ketua Front Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banjarbaru, Muslih Amberi di Kota Banjarbaru berujar bahwa konflik internal agama memanglah sering terjadi dan langkah menanganinya dapat dikatakan cukup sulit karena antara satu dengan yang lainnya berbeda pandangan, padahal menganut agama yang sama. Langkah dari penanganan/resolusi konflik internal ini menurut FKUB dan dosen senior FISIP Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan adalah mempertemukan kedua belah pihak sebagai upaya untuk mendinginkan suasana sekaligus menjadi fasilitator menengahi, sehingga konflik dapat mereda.

Lain halnya dengan resolusi internal, resolusi eksternal lebih menitiktekankan bagaimana relasi antara agama satu dengan agama yang lainnya, maupun relasinya dengan aktor-aktor non-keagamaan seperti negara atau korporasi. Merujuk pada jurnal Firdaus M. Yunus berjudul Konflik Agama Di Indonesia Problem Dan Solusi Pemecahannya, dalam banyak hal, realitas menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama justru berkaitan erat dengan faktor-faktor yang berada di luar lingkup agama itu sendiri (Yunus, 2014). Apabila kasusnya antar agama yang berbeda, menurut Amin Abdullah dalam jurnal berjudul Agama dan Resolusi Konflik, masing-masing penganut agama yang dipelopori oleh tokoh-tokoh agama perlu untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat dipegang secara bersama (communalities-shared value), yaitu nilai-nilai kemanusiaan (humanis), seperti plurality, democratin value, tolerance, honesty, respect, impartiality, justice, dsb. (Hadikusuma). Apabila nilai-nilai tersebut telah menjadi budaya bersama, hidup menjadi damai dan harmonis. Sedangkan resolusi konflik/kekerasan atas nama agama kaitannya dengan negara, dalam jurnal berjudul Agama dalam Pusaran Konflik (Studi Analisis Resolusi Terhadap Munculnya Kekerasan Sosial Berbasis Agama di Indonesia), negara perlu meletakkan dasar-dasar konstitusional yang kuat dengan memberikan jaminan dan kebebasan kepada setiap penduduk dan setiap kelompok pemeluk agama untuk menjalankan akidah dan ibadat agamanya menurut keyakinan dan kepercayaannya masing-masing (Syukron, 2017). Lebih lanjut, tidak ada pembatasan maupun pengekangan terhadap tiap warga negara untuk melaksanakan doktrin akidah dan ibadat agamanya masing-masing karena kebebasan agama merupakan hak asasi yang sangat fundamental.

Daftar Pustaka

DW. (2020, Juni 22). Nusantara Institute: Penghayat Sunda Wiwitan “Dikeroyok” Negara dan Ormas. Retrieved from DW: https://www.dw.com/id/penyegelan-makam-sunda-wiwitan-overdosis-agama/a-54261064

Hadikusuma, W. (n.d.). AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK (Analisis Terhadap Konflik Kegamaan di Indonesia).

Lay, C. (2009). Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1-19.

Syukron, B. (2017). Agama dalam Pusaran Konflik (Studi Analisis Resolusi Terhadap Munculnya Kekerasan Sosial Berbasis Agama di Indonesia). RI‘AYAH, 23-24.

Yulianto, A. (2018, Februari 16). Waspadai Konflik Internal Penganut Agama. Retrieved from Republika: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/02/16/p490o0396-waspadai-konflik-internal-penganut-agam

Yunus, F. M. (2014). KONFLIK AGAMA DI INDONESIA PROBLEM DAN SOLUSI PEMECAHANNYA. Substantia, 217-218


Disusun oleh: Haidar Yusuf Arya Baskara (18/428271/SP/28480)

Tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Manajemen Konflik

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Haryanto, M.A dan Azifah R. Astrina, S.I.P., M.P.S.

Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 2021

One thought on “Review Literatur “Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.