Pendahuluan
Naskah Bustanus-Salatin ‘Taman Para Raja’, Salah Satu Karya Terbaik Syekh Nuruddin Ar-Raniri yang Menjadi Koleksi British Library.
Sumber: https://tengkuputeh.com/2020/09/27/bustanus-salatin-sultan-aceh/
Naskah-naskah kegamaan Nusantara masa lampau banyak megungkapkan kehidupan beragama masyarakat Nusantara berikut berbagai dinamika dan fenomenanya. Salah satunya adalah naskah-naskah Nururddin Ar-Raniri, seorang ulama Islam di Nusantara yang cukup tersohor. Disertasi yang dibahas dalam tulisan ini berjudul “Intoleransi dalam Wacana dan Praksis Keagamaan: Kajian Filologi dan Interpretasi atas Tiga Karya Nuruddin Ar-Raniri (Tibyan Fi Ma’rifatil-Adyan, Chujjatus-Shiddiq Li Daf’iz-Zindiq, dan FatchulMubin ‘Alal- Mulchidin)” dan ditulis oleh Adib Sofia sebagai syarat memperoleh gelar doktor Program Doktor Sastra di Universitas Gadjah Mada pada 2016. Karya ilmiah ini mengkaji secara filologis karya-karya Nuruddin Ar-Raniri, yaitu Tibyân Fi Ma’rifatil-Adyan, Chujjatus-Shiddiq Li Daf’iz-Zindiq, dan Fatchul-Mubin ‘Alal– Mulchidin (selanjutnya disebut Tibyân, Chujjatush-Shiddîq, Fatchul-Mubîn) dan membuat interpretasi atas karya-karya tersebut. Sofia meninjau sikap dan pandangan keagamaan Ar-Raniri dalam karya-karya tersebut sebagai bentuk penentangan terhadap pandangan keagamaan yang berbeda. Sikap penentangan ini disimpulkan sebagai suatu bentuk intoleransi dalam wacana dan praksis keagamaan serta dikorelasikan relevansinya dengan kehidupan majemuk di Indonesia.
Dalam 717 halaman, disertasi ini memuat tujuh bab:
1. “Pendahuluan”;
2. “Islamisasi di Nusantara dan Perbedaan Pemahaman tentang Wujud Allah”;
3. “Pernaskahan dan Penyuntingan Naskah Tibyan Fi Ma’rifatil Adyan, Chujjatush-Shiddiq Li Daf’iz Zindiq, dan Fatchul-Mubin ‘Alal- Mulchidin”;
4. “Struktur Narasi serta Fakta Kultural dan Sosial tentang Bentuk- Bentuk Penentangan dalam Tiga Karya Nuruddin Ar-Raniri”;
5. “Bentuk-Bentuk Penentangan dalam Tiga Karya Nuruddin Ar-Raniri sebagai Tindak Intoleransi dan Relevansinya bagi Masyarakat Masa Sekarang”; dan
6. “Kesimpulan”.
Makalah ini bertujuan untuk me-review karya tulis ilmiah tersebut.
Tentang Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan Pertentangan Aliran Akidah dalam Islamisasi Nusantara
Potret Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Sumber: wikipedia commons
Syekh Nuruddin Ar-Raniri bernama lengkap Nuruddin Muhammad ibn Ali ibn Hasanji Al-Hamid atau Al-Humayd Asy-Syafi‟i Al-Asy’ari Al-Aydarusi Ar- Raniri (Zainurrafiq, 2017: 9). Ia merupakan ulama abad ke-17 yang berasal dari kota Rander, Gujarat, India saat ini dan mempunyai darah keturunan Arab. Kata Ar-Raniri pada namanya adalah penisbatan terhadap Ranir yang merupakan pengucapan nama Rander dalam lisan orang Arab. Sebelum datang ke Nusantara, Ar-Raniri belajar bahasa Melayu di Gujarat dan juga pernah singgah ke negeri yang sekarang disebut Malaysia untuk mempertajam kemampuan dan keilmuannya sebagai bekal ke Nusantara. Kemudian, ia datang ke Kesultanan Aceh pada 1637 M dan menjadi ulama, mufti, dan penulis yang produktif di sana. Oleh Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), ia diangkat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syekh di Masjid Bait Ar-Rahman menggantikan Syekh Syamsuddin As-Sumatrani (Zainurrafiq, 2017: 14). Kemudian, Ar-Raniri kembali ke Rander pada 1644 M.
Terdapat berbagai teori tentang asal tempat dalam proses islamisasi di Nusantara, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa salah satu faktor utama yang membuat ajaran Islam mudah diterima di Nusantara adalah ajaran tasawuf. Namun, pada kenyataannya, para ulama yang membawa dan menyebarkan ajaran tasawuf di Nusantara menganut pemikiran keagamaan yang beragam yang salah satunya adalah pemahaman tentang wujud Allah. Salah satu aliran pemahaman tersebut adalah Wachdatul-Wujûd atau Wujudiyyah yang meyakini bahwa wujud Allah dapat berupa suatu apapun. Sofia (2016: 3) menuturkan, “Ajaran ini meyakini bahwa dzat dan hakikat Tuhan sama dengan dzat dan hakikat alam semesta seisinya.” Karena antara Allah dan alam itu adalah satu, muncullah perkataan lâ anâ illâ-Huwa „tidak ada saya melainkan Dia‟ (Sofia, 2016: 10) atau dengan kata lain, Tuhan ada dalam diri kita sendiri sehingga tak perlu dicari jauh- jauh. Hal ini mengingatkan pada atau serupa dengan manunggaling kawula gusti di Jawa yang identik dengan tokoh Syekh Siti Jenar. Tokoh-tokoh yang menganut dan menyebarkan Wachdatul-Wujûd di antaranya adalah Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin As-Samatrani.
Pemahaman Wujudiyyah yang cenderung pada panteisme bersebrangan dengan pemahaman yang meyakini bahwa wujud Allah berbeda dengan suatu apapun. Pemahaman ini lah yang diyakini oleh banyak ulama tasawuf di Nusantara, salah satunya ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ar-Raniri mengikuti aliran pemahaman yang disebut sebagai Wachdatusy-Syuhûd yang meyakini bahwa alam semesta atau seluruh makhluk bersatu dengan Tuhan dalam kesaksian dan bukan dalam wujud (Zainurrafiq, 2017: 12). Alam semesta berbeda dengan Tuhan dan keberadaannya hanyalah refleksi dari Tuhan (Leaman via Zainurrafiq, 2017: 13). Oleh karena itu, Tuhan bukan berada dalam diri, tetapi keberadaan diri adalah refleksi atau pantulan dari Tuhan. Hal yang menarik adalah bahwa Ar- Raniri juga menggunakan istilah Wujûdiyyah. Ar-Raniri membaginya menjadi dua, yaitu Wujûdiyyah Muwachiddah yang menguatkan tauhid dan Wujûdiyyah Mulchidah yang menyimpang (Sofia, 2016: 5). Wujûdiyyah yang kedua ini merujuk pada ajaran yang dianut oleh Hamzah fansuri dan Syamsuddin As- Sumatrani.
Menurut Sofia (2016: 8), karya-karya tulis yang ditinggalkan oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri adalah respon terhadap karya-karya beraliran Wachdatul- Wujûd atau Wujûdiyyah oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin. Respon tersebut mengandung penentangan yang keras terhadap Wujûdiyyah yang di antaranya terdapat dalam tiga tulisannya, yaitu Tibyan Fi Ma’rifatil-Adyan, Chujjatush-Shiddiq Li Daf’iz Zindiq, dan Fatchul-Mubin ‘Alal-Mulchidin.
Pernaskahan Tiga Karya Nuruddin Ar-Raniri
Halaman Terakhir dan Kolofon Naskah Fatchul Mubin yang Dikaji.
Sumber: Dokumentasi Sofia (2016: 24)
Disertasi ini memilih dan menggunakan naskah Tibyân yang berupa facsimile dari naskah di Leiden dengan nomor kode Cod. Or. 3291 terbitan P. Voerhoeve yang diperoleh di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Kemudian, naskah Chujjatush-Shiddîq yang yang digunakan merujuk pada naskah yang tersimpan di London dengan kode RAS Maxwell 93 yang diperoleh di Perpustakaan FIB UGM pula. Sementara itu, satu-satunya naskah Fatchul-Mubîn yang dapat diakses untuk disertasi ini adalah naskah koleksi perpustakaan pribadi Ali Hasjmy bernomor 179/TS/4/YPAH/2005 yang tersimpan di Museum Ali Hasjmy.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan Sofia dalam disertasi ini adalah pendekatan filologi modern (metode landasan). Pada saat karya-karya Ar-Raniri ini dikaji, tradisi penyalinan naskah karya-karya tersebut belum lama berlangsung sehingga variasi-variasi naskahnya masih terus ditemukan hingga sekarang. Inilah sebab penggunaan pendekatan filologi modern yang memandang variasi naskah sebagai hasil subjektivitas manusia yang menyambut teks karya-karya Ar-Raniri dan menganggapnya sebagai hal yang positif karena adalah bentuk kreasi. Langkah- langkah yang ditempuh Sofia dalam pendekatan ini adalah: (1) studi katalog, (2) mencari naskah berdasarkan katalog dan buku-buku serta mencari salinan, (3) Membaca sejumlah naskah salinan, (4) mendeskripsikan naskah, (5) melakukan perbandingan naskah, dan (6) melakukan suntingan naskah terhadap naskah yang teksnya dianggap dapat menunjukkan sikap penentangan.
Selain filologi modern, pendekatan reseptif juga digunakan dalam disertasi ini. Pendekatan ini menekankan pada tanggapan pembaca atau penikmat sastra sehingga sesuai dengan karya-karya Nuruddin Ar-Raniri yang merupakan tanggapan atas tulisan-tulisan Hamzah Fansuri. Kemudian, digunakan pula teori interpretasi yang langkah-langkahnya adalah: (1) pra-pemahaman atau guessing terhadap fakta-fakta berkaitan dengan perbedaan pandangan kehidupan beragama dalam karya-karya Ar-Raniri; (2) explanation tahap pertama dengan mendeskripsikan, meneliti fenomena kebahasaan, menerjemahkan, dan mentransliterasikan karya-karya tersebut: (3) explanation tahap kedua dengan menjelaskan pola-pola struktur teks; dan (4) comprehension dengan memvalidasi pola-pola tersebut (Sofia, 2016: 15).
Struktur Narasi serta Fakta Kultural dan Sosial tentang Bentuk-Bentuk Penentangan dalam Tiga Karya Nuruddin Ar-Raniri
Terdapat struktur urutan logis yang runtut mulai dari pembuka, pengantar, pembahasan, kesimpulan, dan penutup dalam Tibyân dan Chujjatush-Shiddîq. Sementara itu, Fatchul-Mubîn berisi pendapat-pendapat penulis dengan banyak referensi terhadap karya-karyanya yang lain sebagai penguat sehingga strukturnya kurang sistematis dan terlihat terbolak-balik dan tumpang tindih.
Sofia (2016: 25) menerangkan bahwa kontak antara pandangan keagamaan dapat menghasilkan beragam interaksi dan interelasi yang tidak selalu mulus. Misalnya, kontak ini berupa diskusi panjang, perdebatan, dan komunikasi bernada hate-speech sebagaimana yang terdapat pada tiga karya Ar-Raniri yang dibahas. Dalam tiga karya tersebut, ditemukan bentuk-bentuk penentangan Ar-Raniri terhadap Hamzah Fansuri dan ajarannya, yakni,
“…(i) menganggap diri paling benar dan pihak yang tidak berpandangan sama adalah sesat, salah, dan dhalâlah; (ii) menyamakan pihak lain dengan golongan yang berstereotip negatif seperti kafir, mulchid, zindîq, Majusi, Yahudi, Nashâra, Fir‟aun; (iii) melakukan kekerasan verbal kepada pihak lain dengan pemilihan diksi yang keras, penghinaan, dan pelaknatan; (iv) menghukum pihak lain dengan menutup jalan perdamaian, mengadili, dan menjatuhkan hukuman; dan (v) membunuh pihak lain.” (Sofia, 2016: 25).
Kesimpulan Disertasi
Sofia (2016: 27-28) menyimpulkan kajiannya sebagai berikut. Pertama, ditemukan sikap intoleran berupa penentangan-penentangan sebagaimana dijelasakan sebelumnya. Kedua, efektivitas intoleransi bergantung pada dukungan penguasa dan penggunaan dalil keagamaan sebagai legitimasi. Ketiga, karya- karya masa lampau menunjukkan fakta-fakta yang relevan bagi kehidupan kontemporer dalam masyarakat yang majemuk. Selain itu, dipaparkan bahwa disertasi ini adalah upaya menguatkan kajian Islam di Indonesia sebab dengan ini masyarakat dapat memahami bahwa, (1) klaim kebenaran dapat dilakukan oleh siapapun dengan informasi, argumen, dan bekal; tanpa kematangan beragama dan kemampuan analisis kritis, seseorang akan mudah intoleran terhadap pandangan kegamaan berbeda; (2) Islam yang berkembang di Nusantara adalah Islam yang ramah, komunikasi yang damai, dan dapat mengedepankan rachmatan lil- ‘alamin; serta (3) melalui intellectual history, masyarakat Indonesia dapat menemukan jati diri bangsa dan dapat meningkatkan kualitas diri sebagai manusia andal yang cinta Indonesia.
Intoleransi yang Diapresiasi?
Telah terekam dalam sejarah bahwa saat berada di Aceh dan menjadi ulama atau mufti resmi Kesultanan Aceh di bawah Sultan Iskandar Tsani, Syekh Nuruddin Ar-Raniri memang menentang keras ajaran Wujûdiyyah yang dibawa dan diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Sebagai usahanya melawan ajaran tersebut, Ar-Raniri memfatwakan bahwa paham Wujûdiyyah ajaran hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani adalah paham “kufur” dan sesat serta pengikutnya yang disebut kaum Wujûdiyyah boleh ditumpas (Umayah, 2017: 47). Selain itu, terjadi pelarangan atas peredaran kitab- kitab yang berisi paham Wujûdiyyah, pemusnahan salinan-salinan naskahnya, dan penjatuhan hukuman mati kepada para pengikut Hamzah Fansuri serta pengikut muridnya, Syamsuddin As-Sumatrani (Damanhuri, 2021: 71).
Ilustrasi Eksekusi Mansur Al-Hallaj, Salah Satu Tokoh Wachdatul-Wujûd, oleh Amir Khosrow. Sumber: wikipedia commons
Upaya perlawanan terhadap Wujûdiyyah oleh Ar-Raniri itu semua ditempuh atas niat untuk menyelamatkan masyarakat dari paham yang dianggap menyesatkan, menimbulkan keonaran dan kekacauan, membuat persepsi yang merendahkan Tuhan, serta mampu mengeluarkan seseorang dari ikatan agama Islam (murtad). Hal ini dianggap sebuah upaya yang kontroversial dan menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan terutama akademisi. Di satu sisi, banyak yang cenderung kepada pandangan sosok Nuruddin Ar-Raniri sebagai pahlawan yang menjaga ajaran Islam yang murni dan dianggap ortodoks, yaitu Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia yang identik dengan jargon rachmatan lil- ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Di sisi lain, banyak pula yang menganggap perlawanan Ar-Raniri terhadap Wujûdiyyah adalah upaya yang eksesif, ekstrem, intoleran, dan tidak menceminkan Islam di Indonesia yang rachmatan lil- ‘alamin, bahkan bertentangan dengan prinsip tersebut.
Terlepas dari kontroversi tersebut, nama Syekh Nuruddin Ar-Raniri masih terkenal hingga masa kini dan kontribusi intelektual serta spiritualnya terhadap pendidikan Islam di Nusantara masih diakui. Fahm dan Hamisi (2017: 176) menuturkan bahwa Ar-Raniri sangat berpengaruh di Indonesia karena kontribusinya dalam pendokumentasian prinsip-prinsip dasar Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu dan menjadi pelopor di bidang ini, tulisan-tulisannya yang luas dan mencakup topik keislaman yang beragam, dan karya besarnya yang beraksara Jawi menjawab kebutuhan masyarakat pada masa itu. Selain itu, nama Ar-Raniri hingga kini masih menjadi nama salah satu perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia, yaitu Universitas Islam Negeri Ar-Raniry (UINAR) di Banda Aceh.
Ilustrasi Populer Tokoh Sunan Gunung Jati (Kiri) dan Sunan Kalijaga (Kanan) yang Tersurat dalam Boekoe Siti Djenar ingkang Toelèn. Sumber: wikipedia commons
Hal yang menarik adalah bahwa kejadian paralel terjadi pula di Jawa pada tokoh Syekh Siti Jenar dan manunggaling kawula gusti yang menjadi ajarannya. Dalam bentuk tembang asmaradana dalam Boekoe Siti Djenar ingkang Toelèn terbitan Tan Khoen Swie (1931), terekam percakapan bernada penentangan tokoh- tokoh wali sanga terhadap tokoh dan ajaran tersebut pada bait-bait:
“16. Jêng Sunan ing Gunungjati | amêdhar ing pangawikan | jênênge makripat mêngko | awase maring Pangeran | tan ana ingkang liyan | tan ana loro têtêlu | Allah pan amung kang tunggal ||
17. Jêng Sunan Kalijagangling | amêdhar ing pangawikan | dèn waspada ing mangkene | sampun ngangge kumalamar | dèn awas ing Pangeran | kadyaparan awasipun | Pangeran pan nora rupa ||
18. nora arah nora warni | tan ana ing wujudira | tanpa mangsa tanpa ênggon | sajatine nora ana | lamun nora anaa | dadi jagadipun suwung | nora ana wujudira ||”.
Baris kedua bait ke-18 yang berbunyi, “tan ana ing wujudira,” yang berarti (Allah) tak ada pada wujudmu menunjukkan pemahaman yang paralel dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Syekh Siti Jenar pun dikisahkan dijatuhi hukuman mati sebab ajarannya dianggap sesat oleh Wali Sanga (Saidah, 2004: 6). Terlepas kisah kematian Syekh Siti Jenar yang telah menjadi legenda di masyarakat Jawa dan sumber sejarah yang beragam bentuknya dan validitasnya, seperti Ar-Raniri, nama wali sanga dan tokoh-tokohnya masih berkonotasi positif dengan identiknya ajaran mereka dengan nuansa Islam yang akomodatif terhadap kebudayaan Jawa.
Pada era kontemporer, penentangan terhadap pandangan keagamaan berbeda yang memiliki kemiripan dengan penentangan Ar-Raniri terhadap Wujûdiyyah pun terjadi pula. Pada bulan April 2023, nama Pondok Pesantren Al- Zaytun atau Ma‟had Al-Zaytun (MAZ) dan nama pimpinannya, Panji Gumilang, menimbulkan kehebohan akibat praktik-praktik keagamaannya yang kontroversial. Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden Ma‟ruf Amin meminta koordinasi dengan jajaran mentri untuk menentukan langkah respon terhadap MAZ dan menyampaikan bahwa akan ada tindak lanjut pemerintah apabila terdapat indikasi penyimpangan ajaran Islam (Ramadhan, 2023). Sebenarnya, sejak 2002, Majelis Ulama Indonesia telah mengkaji MAZ. MUI (2023) memaparkan hasil kajian ini, yaitu afiliasi MAZ dengan organisasi Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX (NII KW IX) dan penyimpangan ajaran Islam dalam bentuk penyelewengan dana, penafsiran Al-Qur‟an yang menyimpang, pengkafiran terhadap kelompok di luar mereka, dan penerapan kurban dan zakat yang menyimpang.
Penghargaan terhadap Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan wali sanga oleh mayarakat Indonesia serta penindakan terhadap MAZ yang melibatkan Wakil Presiden Indonesia dan MUI tentu memberikan insight tentang perlunya tinjauan kembali atas cara pandang dan pemaknaan term-term toleransi, intoleransi, kemajemukan, dan term lain yang terkait dengan relevansinya terhadap dinamika kehidupan beragama dalam sejarah bangsa Indonesia. Selain itu, minimalisasi bias terhadap kehidupan masa kini penting dalam mengkaji kehidupan sejarah termasuk pengkajian filologi terhadap naskah-naskah keagamaan masa lampau.
DAFTAR PUSTAKA
- Admin MUI Digital. 2023. “Ini Ringksan Hasil Temuan Tim Peneliti MUI Terkait Ponpes Al-Zaytun pada 2002 Lalu”. Diakses dari https://mui.or.id/berita/52662/ini-ringksan-hasil-temuan-tim-peneliti-mui- terkait-ponpes-al-zaytun-pada-2002-lalu/ pada 20 juni 2023.
- Damanhuri. 2021. “Hamzah Fanshuri tentang Konsep Wujud”. Jurnal Pemikiran Islam, volume 1, no. 1, hlm. 56-73. Diakses dari https://jurnal.ar- raniry.ac.id/index.php/jpi pada 20 Juni 2023.
- Fahm, Abdul G. O. dan Mwamburi A. Hamisi. 2017. “The Intellectual and Spiritual Contribution of Nuruddin Ar-Raniri to Islamic Education in Indonesia”. Jurnal Pendidikan Islam, volume 3, no. 2, hlm. 169-178. Diakses dari http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jpi pada 20 Juni 2023.
- Kangjêng Sunan Giri Kadhaton. 1931. Boekoe Siti Djenar ingkang Toelèn. Kediri: Tan Khoen Swie. Diakses dari https://www.sastra.org/agama-dan- kepercayaan/kebatinan-dan-mistik/1229-sitijenar-tan-kun-swi-1931-794 pada 20 Juni 2023.
- Ramadhan, Bilal. 2023. “Wapres Minta Menag dan Menko Polhukam Gerak Cepat Tindak Al Zaytun”. Diakses dari https://news.republika.co.id pada 20 Juni 2023.
- Saidah, Najmah. 2004. Sejarah Syaikh Siti Jenar. (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2004). Diakses dari https://digilib.uin-suka.ac.id.
- Sofia, Adib. 2016. Intoleransi dalam Wacana dan Praksis Keagamaan: Kajian Filologi dan Interpretasi atas Tiga Karya Nuruddin Ar-Raniri (Tibyȃn Fî Maʻrifatil-Adyȃn, Chujjatush-Shiddîq Li Dafʻiz-Zindîq, Dan Fatchul-Mubîn ʻalȃl-Mulchidîn) Ringkasan Disertasi. (Ringkasan Disertasi, Universitas Gadjah Mada, 2016). Diakses dari https://digilib.uin- suka.ac.id.
- Umayah, Ulfah. 2018. Peran Nuruddin Ar-Raniri dalam Menentang Paham Wujūdiyyah di Aceh. (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin, 2018). Diakses dari https://repository.uinbanten.ac.id.
- Zainurrafiq, Muhammad. 2017. Kritik Nuruddin Al-Raniri terhadap Hamzah Fansuri dalam Kitab “Hujjah Al-Shiddiq Lidhaf’i Al-Zindiq”. (Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2017). diakses dari https://repository.uinjkt.ac.id.