Kala itu, di sebuah masjid besar di Kota Yogyakarta dipenuhi massa pengajian yang datang dari berbagai daerah. Kenapa mereka hadir. Mereka hadir tidak dengan tangan, hati dan pikiran kosong. Tapi mereka hadir membawa ghirah (semangat) Quran, pikiran jernih dan tentu sedang memenuhi panggilan hati untuk menyimak sekelumit nasehat dari Ulamanya. Karena Al Quran telah dinistakan, katanya. Sehingga layak mereka semua yang hadir disebut-sebut telah merasakan nikmat kuntum khoiro ummah, nikmat kamu adalah sebaik-baik umat. Apakah kita tak mau. Tak mau dilabel demikian. Caranya cukup dengan cara beramar makruf dan nahi munkar. Itu saja.
Berbeda dari pengajian biasanya, animo masyarakat tak kunjung reda untuk menggelorakan kembali semangat juang dalam menjaga spirit aksi 212 akhir tahun lalu. Perlu diingat, massa yang berjumlah lebih dari tujuh juta lebih itu adalah bayaran. Yang menjadi pertanyaan adalah partai mana yang berhasil mengumpulkan massa sebanyak itu. Ormas Islam mana yang bisa mendanai massa sebanyak itu. Menjadi menarik, adalah para Ulama yang mampu menggerakkan massa sebanyak itu atas izin Allah Azza Wa Jalla. Allah Maha Kaya. Maka Allah lah yang membayar pasukan putih itu.
Padahal stigma yang selama ini menjangkiti kaum muslim Indonesia adalah perbedaan dan perpecahan. Perbedaan pendapat di antara sekian banyak Ulamanya. Perihal penentuan awal bulan, qunut, hukum aksi (demo), kaidah sholat jumat dan furu’ fiqih lainnya. Namun, semua seakan terbantah ketika gelombang persatuan silih berganti mewarnai spirit kaum muslimin Indonesia. Dan semua itu dimulai dari cara para Ulamanya bersikap.
Bagaimana Ulama bersikap kini sungguh anggun. Soal perbedaan, alih-alih mencari perbedaan, justru Ulama menekankan persamaan akidah dan ukhuwah Islamiah di antara kaum muslimin. Suku, bahasa, usia dan watak boleh membedakan, tapi akidah tetap sama hingga ajal. Ada kaum muda dan juga kaum sampun sepuh, ada orang jawa, madura sumatera dan sumbawa, tapi semua bersaudara.
Alhamdulillah, umat muslim tak sekonyong dahulu di masa penjajahan yang ditutup hampir di semua lini informasi dan akses pendidikan kepada umat muslim. Kini umat muslim dan masyarakat umumnya melek akan aturan dan isu yang berkembang. Mereka mencoba melihat secara jernih persoalan yang ada, dengan berbekal kaca mata Islam, formula yang dihasilkan menjadi cukup gemilang. Dan hasil itu tak lepas dari peran Ulamanya.
Ketika para Ulama mulai menyerukan sebuah kebenaran, lantaran agama yang hanif ini seakan diobok-obok oleh oknum di luar agama yang sok-sokan tahu dan paham Islam, maka di saat yang sama masyarakat dapat menerima kebenaran itu dengan bijak. Oknum itu salah. Dan proses persidangan mulai berjalan di meja hijau.
Namun tak disangka, orang benar dan memperjuangkan kebenaran selalu punya musuh. Musuh yang tidak gandrung akan nilai-nilai kebenaran. Ulama dikrimalisasi.
Akhir-akhir ini mencuat kabar fitnah kepada Ulama yang dituduh menistakan butir-butir Pancasila yang Ulama sendiri memperjuangkan Pancasila itu, dan ada pula money laundry yang dituduhkan kepada Ulama, yang itu tidak berdasar sama sekali karena dana umat adalah kembali lagi kepada umat. Menarik. Biarkan proses hukum berjalan.
Tak menguras banyak pikiran, disadari dengan bijak bahwa hal tersebut menjadi ujian tersendiri bagi para Ulama kita yang tentu selalu ada balasan mulia dari Sang Pemilik Makar, Allah Azza Wa Jalla.
Masyarakat Islam Indonesia semakin sadar bahwa mereka sedang menghadapi serangkaian agenda pembodohan, sehingga tak mau dibodohi. Masyarakat Islam sadar bahwa Ulama tak hanya menjadi tempat mengadu keilmuan namun juga menjadi pemimpin. Masyarakat Islam sadar lebih sadar bahwa yang patut diteladani adalah Ulamanya. Masyarakat Islam sadar akan jati diri Islam yang bangkit dengan bangkitnya dakwah Ulama.
Ulama kini menjadi sosok yang dikagumi. Mereka memiliki integritas komunal yang tak terbantahkan lagi. Hingga kini tak perlu ditanya lagi, bahwa Ulama adalah Ulil Amri.
Habib Haydar, Kajian Strategis, Fakultas Hukum 2015