Feri Amsari: Politik Gentong Babi Telah Merusak Demokrasi

Jamaah Maskam pada RPL kemarin, Sabtu (30/03), diajak untuk merenungkan reorientasi prioritas kebijakan nasional setelah melewati pemilu 2024. Tidak jarang melihat pembicara pada mimbar masjid membawa topik berbau politik yang begitu hangat di negara ini, tetapi Feri Amsari S.H., M.H., LL.H. tidak terintimidasi dengan anomali ini. Beliau ingin menumbuhkan kesadaran jemaah Maskam untuk menghadiri pembicaraan politik secara aktif untuk menyongsong suksesi kepemimpinan pasca pemilu 2024. 

 

Beliau memulai dakwahnya dengan sebuah filosofi dari Minangkabau yang sering disebut rapat tikus. Ketika sebuah rapat terjadi di antara para tikus untuk membicarakan mengenai cara untuk menghentikan brutalitas rezim kucing. Para tikus setuju bahwa untuk mengetahui brutalitas rezim kucing yang akan datang, mereka harus tahu secara mendetail mengenai setiap langkah para kucing. Setelah beberapa lama kemudian, sebuah ide cemerlang muncul untuk mengalungi tiap kucing dengan sebuah lonceng. Dengan itu, setiap gerak-gerik yang dilakukan para kucing akan terdengar dengan suara lonceng tersebut. Pertanyaan selanjutnya pun muncul: siapa yang akan memasang lonceng pada leher para kucing? Karena tidak ada tikus yang berani mengacungkan tangan, rapat langsung dibubarkan dan masalah mereka tidak terselesaikan. 

 

Rapat tikus ini mengingatkan para penggiat dunia politik mengenai DPR negara ini. Pasca pemilu 2024, para politikus setuju untuk mengajukan hak angket tetapi tidak ada satupun yang berani untuk mengajukannya. Agama berkata bahwa untuk meraih kebenaran maka dibutuhkan keberanian. Jika tidak bisa dilakukan dengan tangan, maka dengan mulut. Jika tidak bisa dengan mulut, maka dengan hati. Para anggota DPR, sayangnya, hanya bisa melakukannya dengan tingkatan yang terlemah, yaitu dengan hati. 

 

Suasana Ramadhan ini seperti suasana perjuangan, karena seorang muslim tidak hanya menikmati ibadah mereka secara pribadi tetapi untuk juga berbagi ibadah tersebut kepada orang lain. Itu sebabnya ada kewajiban untuk membayar zakat, supaya kenikmatan ibadah seorang muslim dapat dibagi-bagi kenikmatannya. Karena pada akhirnya, kebahagiaan orang lain akan terimbas kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terjadi pada seluruh masyarakat Indonesia yang memantau pemilu 2024 kemarin. Jika dipikir-pikir, mungkin ada sebagian dari masyarakat yang tidak akan merasakan efek banyak dengan siapapun yang terpilih menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya. Tetapi ada juga sebagian besar masyarakat yang akan merasakan seluruh efeknya jika pemimpin yang terpilih adalah pilihan yang salah. 

 

Jika dilihat dari gambaran besarnya, pemilu 2024 bisa saja dibilang sudah direncanakan. Mengapa pemilu 2024 dilaksanakan di waktu yang berdekatan dengan bulan Ramadhan 2024? Karena para pemainnya tahu bahwa begitu konflik muncul, semua orang dengan mudah melupakan semuanya menjelang menjalankan ibada puasa dan mudik. 

 

Kesadaran dalam diri harus dibangunkan, terutama bagi umat Islam yang tengah menjalankan ibada puasa. Seperti cerita perang badar, ketika kemenangan diraih Islam, Rasulullah memperingatkan para sahabatnya bahwa masih ada perang yang lebih besar yang akan datang yaitu perang melawan nafsu diri sendiri. Problematika yang sama sedang terjadi di demokrasi Indonesia, nafsu yang mengelabui isi hati yang murni dan kekuasaan absolut yang akan selalu menggoda para pemegang kekuasaan tersebut. 

 

Feri Amsari menjelaskan bahwa saat ini, Indonesia membutuhkan pengawasan ketat dari publik. Para pemegang kuasa hukum harus diawasi, terutama pada aksi-aksi mereka. Sebagai contoh, problematika bansos. Tidak ada larangan untuk membagi-bagikan bansos, yang dipermasalahkan adalah penggunaannya untuk mempengaruhi pilihan publik. Ini yang bisa disebut sebagai politik gentong babi, dimana sebuah kebaikan yang sangat kecil digunakan sebagai alat persuasi publik. 

 

Di akhir kajian beliau menjelaskan, kekalahan Ramadhan datang jika seseorang tidak merasa penting untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Sudah sepatutnya perbaikan dilakukan terlebih dahulu pada diri sendiri. Tetapi jika seseorang enggan untuk memperbaiki keadaan sekitarnya, maka ia telah mengabaikan agamanya sendiri. (Raissa Serafina/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)

 

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.