Atas Kursi Rotan

rotan

Selepas isyak segera ku kembali ke kontrakan. Jalan- jalan sempit sepanjang gang, redup dengan temaram lampu kuning Kota Semarang. Tak ubah Semarang di zaman Belanda, penjajah yang merontakan rakyat kita. Masjid Ar Rahman berjarak 600 meteran dari kontrakan. Kontrakan mahasiswa tua, betapa tidak hampir semua yang tinggal di sana adalah yang menunggu dengan tenang ujian pendadaran. Begitu juga denganku, rencana bulan mei ujian pendadaran akan datang. Semoga keinginan ini segera terwujud, dan dapat kembali ke dunia sesungguhnya.

Agenda hidupku tidak pernah berucap, bahwa aku akan menjadi mahasiswa IAIN seperti saat ini. Apalagi IAIN Walisongo, terlebih Jurusan Tarbiyah. Melihat sejarah yang telah ku lewati masa lalu. Keonaran dalam tingkah laku semasa remaja SMA membuat ngiris untuk mengingatnya. Meski masih dimaklumi namun kadang membikin hati menangis pedih bak teriris. Masa kelam penuh penyesalan kini.

Masih teringat lekat dalam pikiran, bahwa kenakalan masa itu tidak dapat terhitung banyaknya. Sudah beberapa cewek yang menagis karena tingkah polah seorang Haikal. Mulai dari cewek seksi yang berbaju mini, hingga akhwat[i] dengan jilbab lebar, yang bikin hati berdebar saat bersua dalam kelas atau ruang praktikum. Meski penampilan biasa- biasa saja, rambut dipotong da disisir tidak karuan, bukan rapi ala bintang kelas. Masuk sering terlambat, dan kantong pun lebih sering kering ketimbang basah, bak kantong anak pejabat. Motor pun masih banyak yang lebih bagus. Namun masalah matematika nggak bakalan terlewat dalam mengerjakan. Itulah satu- satunya pelajaran yang buat aku menjadi benar- benar Haikal. Haikal yang dapat dihargai. Semoga ini bukan sesumbar.

Daftar cewek yang pernah menjadi pacar, masih teringat. Tahun pertama Dina anak manja, kemudian Nia, dan entahlah berapa lagi yang sudah kujajaki rasa cinta mereka. Masih juga ada Riska anak olimpiade Fisika, yang sempat membuatku mendapat nilai 85 dalam ulangan Fisika Bu Susi.

Banyak waktu luang yang terbuang, untuk nongkrong di alun- alun hanya untuk minum es degan[ii], atau menyiuli cewek yang sedang lewat. Memang tidak produktif sekali, seandainya dulu lebih baik sedikit saja. Pasti minimal dapat ikut olimpiade atau lomba matematika. Memang penyesalan selalu datang di akhir waktu, akhir yang sudah di tebak oleh semua. Dan waktu memang seperti garis lurus, tidak pernah kembali ke titik awal pergerakannya. Mirip pelajaran Bu Noormani waktu itu.

“Mas Haikal, wis makan?”, tanya Fajar teman kontrakan yang sudah semester 7.

“Kamu duluan aja, Jar. Lagi pengen muhasabah sendiri”, jawabku.

“Ya udah. Ane duluan Mas. Assalamualykum “

“Alaykasalam”

Ku perbaiki dudukku di kursi teras depan rumah. Kursi rotan ini sering kugunakan ketika sore sedang menjelang, sambil menikmati jingga surya di ufuk barat. Kini kunikmati suara gesekan rotan, saat ku mengingat masa sekolah dulu.

Seyogyanya sekolah pada umumnya, di sekolah pun banyak organisasi dan ekskul yang ditawarkan. Dasar memang ku tak pernah tertarik, ku tak sedikitpun memandangi mereka. Meski setiap senin Pak Kusneo selalu saja memberi amanat upacara, untuk aktif disana. “Emang siapa dia?”, timpalku dalam hati selalu.

Mulai dari OSIS, Pramuka, anak Olimpiade, PMR hingga Paskriba. Semua tersedia, namun tak ku sentuh apalagi ku jajaki. Begitu juga tak sedikitpun ku ketahui siapa saja yang ada di sana. Hingga kelas 2 ku tak aktif di manapun. Hingga saatnya masa itu datang juga. Masa sedikit kesadaran tumbuh dalam diri.

Kelas 2 caturwulan 2, maklumlah masa itu belum ada KBK apalagi KTSP dan masih pada kurikulum tahun 1999. Meski nilai matematika masih baik, namun hampir semua selain matematika bernilai standar. Dan yang dulu di kelas satu, masih masuk 20 besar. Kini harus sedikit turun ke peringkat 25. Namun waktu itu tak pernah menyesal, karena memang tidak ada usaha yang extra miles menuju kesana.

Di kelas 2 inilah ku mulai mengenal ekskul dan teman- teman yang aktif disana. Anak OSIS yang lebih sering ngadain event, anak Rohis yang berjenggot tipis tidak berkumis. Yang kadang kalau bercanda ia berkelakar, walau kantongnya tipis tetap aktivis. Senyumku mengembang mengenang lagu wajib mereka itu. Meski ku tak aktif dalam kegiatan mereka, namun asyik punya teman yang lebih banyak lagi. Selain pacar yang setiap malam minggu ku apeli.

Masa itulah ke ketahui bahwa Hasan teman satu kelasku adalah ketua ROHIS SMA masa itu. Ternyata di kelasku ada orang yang paling alim di SMA ku. Meski ku tak akrab dengannya namun, ia adalah orang yang sangat supel dan obrolannya mengalir seolah dari dalam dada penuh makna. Wajahnya bersih, bebas dari jerawat tidak seperti siswa kebanyakan. Pipinya dipermanis dengan lesung pipi. Seragamnya selalu rapi, itulah ciri anak Rohis, yang dia bilang senyumnya manis pakaiannya necis. Meski saat ia bilang seperti itu, tawa canda berderai- derai tiada hentinya.

Dia tidak pernah sama sekali membeda- bedakan teman semua. Termasuk aku. Haikal siswa bandel, dan super nakal brandalan. Dialah satu- satunya anak di kelas yang sering mengajak sholat ke masjid waktu dhuhur, sholat dhuha waktu istirahat, hingga mengajak ke pengajian di sabtu siang seusai sekolah bubaran. Namun tetap saja ku dapat menemukan alasan untuk menghindar. Dialah sahabatku yang kini ku kenang.

Sejak ku ketahui ia adalah ketua Rohis, ia semakin sering dan semakin sering saja mengajak saya dan teman- teman ke masjid. Dengan berbagai alasan masih ingat olehku.

“Haikal udah sholat dhuhur belum?” tanyanya saat ku beranjak dari kelas ke kantin.

“Nanti aja, kan masih ada waktu”, segera ku jawab.

“Kalau makan aja nggak boleh telat. Bagaimana dengan sholat”

“Bener kamu. Tapi sekarang aku mau ke kantin. Nanti aja, ceramahnya”

Ku ngelonyor langsung tak peduli apa yang dirasakan dan bagaimana mimik mukanya waktu itu. Kesal acap kali ia menagajakku yang sok alim dan benar sendiri. Meski sebenarnya memanglah ia benar.

Hari berganti hari. Hingga suatu siang ia bilang. “Haikal nanti sore, aku mau main ke kosmu. Mau minta tolong bantu ngerjain PR matematika Bu Noormani”.

“Kenapa nggak ke Muji aja?”, iya ke Muji aja juara kelas, dan sebenarnya aku tak mau nikmatnya sore santaiku diganggu dengan si Hasan.

“Muji ada acara di Olim Club-nya sampai malam”

“Datang aja kalau emang urusan matematika, yang penting jangan usil” syarat yang ku ajukan.

“Siiip” jawabnya.

Dan benar sore itu, saat aku lagi asyik dengerin lagu Sheila on 7 kesayanganku. Ia datang. Sendiri, dengan tas dan tumpukan tugas dari Bu Noormani.

Sekali ia datang untuk urusan matematika, maka untuk kedua dan kesekiankalinya ia datang dengan maksud yang sama. Dalam setiap kali ia datang, ada saja yang dibicarakan selain matematika. Pertama ia bicara tentang sibuk dan capeknya ia di Rohis. Maklum aku waktu itu, karena ia adalah orang nomor satu di Rohis. Hingga pernah ia bicara tentang betapa pacaran hanya membawa hal yang buruk. Karena pada waktu itu pacarku telpon di tengah belajar. Makin lama aku pun terwarna oleh kebiasaannya. Mulai sering sholat tepat waktu, bahkan asyik saat di ajak ngobrol masalah islam.

Hasan lah yang mewarnainya. Mewarnai seorang Haikal. Intensitasnya datang urusan matematika, dan menyisipkan urusan agama makin lama makin tinggi. Hingga seorang Haikal berubah total, seratus persen. Haikal kini menjadi seorang Muslim yang berusaha mengaktualisasikan islamnya. Itulah usaha Hasan. Sahabat yang ku temui waktu itu.

“Haikal…, mungkin kau adalah sahabat sejatiku yang ku temui saat ini”

May be Yes, may be no” jawabku.

Hasan dan Haikal kini menjadi dua sahabat yang erat, dan terikat oleh sebuah ikatan hati yang kuat. Entah apa yang membuatku senang sekali bersamanya saat itu. Kebersamaan kita mulai di kelas, mengerjakan PR, hingga kita harus makan nasi goreng bersama. Itulah kisah manis bersama Hasan sahabatku itu.

Hasan lah yang membuat Haikal rajin sholat, nggak pernah telat. Menjadi orang yang protek terhadap pacaran. Mengubah semua lagu rock menjadi nasyid, kecuali lagu pop Sheila kesukaanku. Dan yang pasti menjadi aktivis Rohis, yang meski masih cetek posisinya saat itu. Hasrat belajar agama waktu itu pun, dipompa oleh Hasan secara keras. Dialah yang menemani setiap pekan untuk halaqoh[iii]. Membantuku belajar alquran dan menghafalnya waktu itu. Hingga kini ku mengantongi dua juz alquran. Terima kasih Hasan, sahabatku.

Di ujung tahun sekolah, kita berdua makin erat dan dekat saja. Kebersamaan kita kadang membuat iri teman nongkrongku dulu. Berbagi SMS nasihat itulah kebiasaan baru. Hingga suatu saat ia mendendangkan nasyid Teman Sejati SNADA. Bahkan saat ini pun nasyid itu, masih saja mampu menitihkan air mataku kini.

Selama ini ku mencari-cari teman sejati

Buat menemani perjuangan suci

Bersyukur kini pada-Mu Ilahi

Teman yang dicari selama ini telah kutemui

Denganya disisi perjungan ini

senang diharungi bertambah murni kasih Ilahi

Kepada-Mu Allah ku panjatkan doa

Agar berkekalan kasih sayang kita

Kepada-Mu teman ku mohom dokongan pengorbanan dan pengetian

Telah ku ungkapkan segala-galanya

Syahdu rindu hati ini saat mengingat semua itu. Terbungkus kenagan itu dalam memori dengan bungkus dan pita penuh bahagia. Hingga kini ia kuliah di teknik elektro UI, sedang ku menimba ilmu agama di IAIN Walisongo.

Ku dengar teman- teman kontrakan sedang bercanda, saling timpal menimpali ucapan. Dan ku lihat Fajar belum juga datang selesai makan.

Hingga dua minggu lalu emailku mendapat kiriman undangan walimah, dari kakak angkatan. Mas Sis dan Mbak Nurul. Dialah mantan ketua Rohis dan kepala bidang muslimah satu tahun di atas Hasan dan aku. Semua anak Rohis diundangnya. Terlihat dari betapa banyak list email yang dikiriminya. Termasuk emailku dan email Hasan tentunya dalam list email tujuan.

Senang sekali hati itu waktu itu. Tentunya tak serapuh malam ini. Aku akan bertemu dengan teman sejati Hasan. Terakhir bertemu adalah idul fitri tahun pertama ia kuliah di UI. Sebelum semua keluarganya pindah dari Ungaran ke Jakarta, maklumlah bapaknya adalah seorang pengusaha besar. Komunikasi telpon dan email seolah tak mampu menggantikan kehadiran Hasan. Jauh berbeda pabila bersama bertutur sapa.

“Hasan, kamu datang ke Walimah Mas Sis kan?”, tanyaku lewat telpon.

“Iya, Insyaallah. Sampai ketemu disana ya. Sudah hampir 4 tahun nggak bertemu raga”

“Ok. Kalau Allah mengizinkan”

Positiflah Hasan akan datang ke Walimah Mas Sis. Hari- hari menjelang hari ini sangat berwarna. Aku akan bertemu dengan sahabat yang telahmengubah hidupku, dan teman- teman Rohis lainnya.

Ku berangkat ke Ungaran naik motor sendiri. Paling cuma satu setengah jam dari sini. Ku bungkus beberapa kado. Buku “La Tahzan” karya DR.Aidh Al Qarni kubungkus untuk Hasan, sahabatku. Dan sepasang baju Bathik Parang kubungkus untuk mempelai, Mas Sis dan Mbak Nurul. Baju bathik kesayanganku, celana kain hitam, dan selop hitam ku kenakan. Biar tidak malu- maluin. Meski kelas mahasiswa, namun tampilan harus utama juga. Siaplah aku berangkat ke Ungaran.

Sesampainya di tempat walimahan, rumah Mbak Nurul di dekat SMA kita dulu. SMA 1 Ungaran. Kenangan SMA pun kembali terkuak dari memori terdalam. Untung ku datang belum usai akad nikah. Meski hanya tinggal qabul dari Mas Sis. Semua teman telah datang. Langsung semua bertempur dalam obrolan panjang ngalor ngidul yang panjang. Sebelum kami satu per satu beranjak ke podium mempelai untuk berucap salam.

Serasi sekali mempelai berdua. Mas Sis wajah putih khas Gunung Pati, disandingkan dengan hitam manis Mbak Nurul. Terlebih dari itu Mas Sis yang kini tengah mengambil S2 di Belanda. Sedang Mbak Nurul jilbab lebar, baru saja usai S1 sastra Perancis dan bersiap menjadi dosen di Undip. Menurutku inilah pasangan yang paling serasi yang pernah ku temui. Sama- sama bagus, sama- sama unggul dalam prestasi masing- masing.

Ku lihat sekeliling belum juga datang Hasan dari Jakarta. Mungkin juga macet atau biasalah kendaraan di Indonesia tak bisa dipastikan jam berangkat dan sampainya. Hingga bakso dalam mangkok sudah habis ku nikmati. Teman- teman asyik berbicara tentang rencana nikah, rencana kerja, bahkan rencana S2 ke luar negeri. Hingga jam 11.00 berdentang.

Taksi Blue Bird khas terminal tembalang. Sekali naik taksi, ketika menjemput pembicara acara seminar setahun yang lalu. Memasuki area parkir di depan rumah walimahan. Pasti itu Hasan, tebakku. Benar saja Hasan telah datang. Semua terheran- heran dengan datangnya Hasan. Kaget karena telah lama tak bersua bersama. Tampilannya memang agak berbeda dari terakhir berjumpa. Jenggot tipisnya kini habis dipangkas, kacamata minus membantu setiap kali ia melihat. Jeans hitam membalut kakinya. Namun mengapa ia kembali membukakan pintu taksi yang satunya lagi. Apa ia bareng dengan Ardi yang kuliah di UI juga, padahal ia kemarin bilang ada kerjaan penelitian dosen. Namun bukan ia bukanlah Ardi teman kita. Namun ia adalah seorang perempuan. Dengan pakaian bathik namun terlalu seksi untuk di pakai di resepsi sini. Perempuan itu entah siapa namanya. Meski beribu tanda tanya berjejalan dalan pikiran. Usai bersalam dengan kita temannya yang ada di kursi tamu. Hasan menggandeng wanita itu menuju podium untuk berucap salam dengan mempelai.

Usai semua. Kini ia bergabung dalam lingkaran kita yang besar, membicarakan entah apa. Tapi semua gembira karena dapat bersama, bercerita, dan bertukar apa saja. Pertanyaan lumrah ditanyakan oleh sahabat yang lama tak bersua, kuliah, kerja, dan kabar keluarga disana. Hingga ia memanggil wanita itu.

“Haikal, ini Rischa. Pacarku. Bulan depan kita tunangan” mengenalkan wanita itu.

Ku telungkupkan kedua tanganku mengindari bersinggungan dengan wanita yang belum muhrim. Senyum ikhlas sekedarnya ku kembangkan, di wajahku. Namun ada yang seolah menggelegar dalam pikiranku. Dan pasti tidak hanya aku, namun semua teman disitu waktu itu. Kok bisa? Mengapa begitu cepat perahu berubah haluan? Masih teringat dalam ingatan tentang nasihat untuk tidak berpacaran dan anjuran untuk langsung menikah. Masih ingat tentang nasihat betapa nikmat pacaran setelah menikah. Bahkan buku hadiah milad[iv]ku Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah masih terpajang manis diatas rak bukuku. Sahabatku kini telah menjadi orang yang asing dan berbeda dengan dulu.

Sembari menikmati penganan, tutur sapanya mengalir masih seperti dulu. Namun apa yang dibicarakan berubah dari yang dulu sering membahas buku yang baru. Kini asyik dengan blackberry dan bercengkerama dengan Rischa yang dikenalkan kepada kami sebagai pacarnya. Ketika ku tanya tentang alasannya maka ia akan segera membalas, bahwa hidup adalah sekali, makanya jangan diambil susah. Sudah capek dengan dunia masjid yang begitu-begitu saja. Ketika ku tanya halaqohnya. dia bilang dengan tegas sudah stop. Dengan alasan yang bersifat permukaan semata.

Kadoku yang ku bungkus tak jadi ku berikan Hasan. Ku simpan untuk mungkin kado pernikahannya saja. Lelah dan sedih hati ini, mengingat siang tadi. Air mata seolah menjadi obat haru yang menghujam kalbu. Seorang sahabat yang dulu ada bersama, seolah kini menghindar dari jalan benar yang dulu ia tawarkan kepadaku.

Malam ini, rasa capai setelah siang tadi bergolak di Ungaran. Kini di atas kursi rotan ini, ku hanya mampu menyesali dan makin sesal. Begitu cepatnya manusia berubah. Yang dulu menjadi teladan, kini telah berubah dan menyesakkan ketika harus diingat kembali. Air mata seorang sahabat hanya disaksikan oleh temaram lampu Semarang malam ini.

“Mas Haikal, belum masuk Mas?”

“Belum. Rasanya mata ini berat untuk terang” segera ku usap lelehan air mata ke sekitar pipi. Tak ingin orang lain tahu akan pilunya hati siang hingga malam ini.

Ku tinggalkan kursi rotan dan kembali ke dalam kontrakan.

 


[i] Akhwat : panggilan untuk muslimah dengan jilbab lebar.

[ii] Degan : Kelapa muda

[iii] Halaqoh : forum yang biasanya 7-10 orang, untuk mengkaji islam.

[iv] Milad : ulang tahun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.