Mudahnya Belajar Menjadi Pembeda

Opini Tahu Bulat #1*

Oleh : Anonim

Kamu tau nggak sih psychological burden seseorang yang berkumpul dengan orang-orang dengan tipikal yang jauh berbeda darinya? Pernah ngalamin belum sih ngulang kuliah bersama dedek-dedek tingkat yang berjarak 2-3 tahun darimu? Lah, itu cuma 2-3 tahun. Ini saia sendirian di grup yang sekitar 80% penduduknya 4-5 tahun lebih muda dari saia, dan hanya kenal sekitar 10% di antaranya (itupun nggak kenal deket, heuheu T.T).

Penulis tidak berniat untuk mencurahkan hati (curhat) di tulisan ini. Penulis hanya berupaya menggali salah satu persoalan akut di Jama’ah Shalahuddin dengan mengawalinya melalui satu pemikiran personal. Persoalan akut yang penulis maksud ialah sikap anggota Jama’ah Shalahuddin yang tidak intelek dalam memandang perbedaan di antara mereka. Mengapa penulis sebut persoalan akut? Alasan utamanya yakni persoalan ini telah terjadi sejak lama, jauh sebelum penulis bergabung di lembaga ini. Penulis melacak sejarah masalah ini bermula sejak meluasnya pemahaman gerakan Islam transnasional di wilayah kampus awal dekade 1990-an. Alasan lainnya yakni adanya logika imperial (conquer and expand) antaranggota yang mengakibatkan perebutan pengaruh dan nilai di antara mereka.

Berkaitan dengan persoalan tersebut, mari kita fokus pada persoalan lembaga saat ini. Jika ada yang menginginkan jawaban dari penulis atas pertanyaan di awal tulisan, sejujurnya penulis merasa tidak nyaman berada di kelompok manapun yang latar belakangnya banyak berbeda dari penulis. Contoh pertama yakni keberadaan penulis di grup ini karena umur yang terpaut sangat jauh dari penduduk mayoritas. Contoh lainnya yakni keberadaan penulis di grup forum keluarga pada tiga tahun pertama keaktifan penulis karena dominasi para penduduk garis lempeng. Contoh ketiga yakni keberadaan penulis di sebuah LSM yang mayoritas beranggotakan teman-teman kampus sebelah yang sering tahlilan karena mereka juga penulis anggap termasuk garis lempeng. Tentunya hal tersebut tidak terjadi pada kehidupan penulis saja. Banyak anggota lembaga ini yang memiliki permasalahan yang senada.

Setelah mengerti bahwa penulis merasa tidak nyaman, mengapa masih tetap tinggal di dalamnya? Jawabannya ada pada visi Jama’ah Shalahuddin saat ini. Bagi penulis, visi lembaga sangat tepat dijadikan jawaban atas persoalan akut tersebut. Dalam mendefinisikan visi lembaga, penulis merujuk pada pemikiran Edward Said dalam bukunya yang berjudul “Representations of Intellectual” dan menggarisbawahi bahwa sifat intelektual tidak hanya cerdas secara kognitif, melainkan pula peka terhadap realitas sosial. Sifat kedua menjadi nilai vital yang perlu direnungkan oleh para anggota Jama’ah Shalahuddin. Peka berarti tahu posisi diri, tahu posisi orang lain, dan tahu cara memposisikan diri di sekitar orang lain. Poin terakhir dari definisi tersebut akan penulis kontekskan dengan situasi di lembaga ini.

Saya anggota departemen Kastrat yang diajari banyak kata dari planet lain (cirinya kaku, menggunakan kata keterangan, sering berimbuhan -isasi, dan lain-lain). Jama’ah Shalahuddin bukan hanya anggota departemen Kastrat. Berarti minimal saya tidak boleh mengolok-olok teman saya di departemen lain yang tidak paham dengan apa yang saya sampaikan. Saya harus peka bahwa saya berbeda dengan mereka. Syukur-syukur saya bisa membumikan kata-kata dalam penyampaian saya.

Saya sering mengikuti kajian-kajian dari Ustadz Arifin Badri, Ustadz Aris Munandar, dan masih banyak yang lain. Jama’ah Shalahuddin juga punya anggota yang malas mengaji atau bahkan mengkritik pengajian itu sendiri. Berarti minimal saya tidak boleh memaksa mereka mengikuti atau mendengarkan kajian-kajian yang saya ikuti. Saya harus peka bahwa mereka tidak sama seperti saya. Syukur-syukur saya bisa mempererat pertemanan tanpa harus menggunakan jurus ‘Qalallahu Ta’ala fil Qur’anil Karim’ yang bisa jadi membuat dia menjauhi saya.

Saya sudah tua, sudah demisioner, sudah merasa tidak berkepentingan lagi, dan sudah asing. Jama’ah Shalahuddin punya anggota yang banyak berusia muda yang masih mencari pengalaman. Berarti minimal saya harus menjawab ketika ditanya oleh anggota yang lebih muda. Saya harus peka bahwa meskipun saya merasa sudah tidak berkepentingan, mereka masih membutuhkan pengalaman yang telah saya lalui. Syukur-syukur saya bisa aktif memberi masukan dan mendampingi mereka yang lebih muda.

Penggambaran singkat atas pemaknaan visi Jama’ah Shalahuddin menjadi bahan perenungan untuk seluruh anggota secara umum dan jajaran pengurus secara khusus untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan akut di atas. Perbedaan adalah sesuatu yang pasti dan sesuatu yang perlu dijaga, baik sebagai identitas historis maupun identitas Jama’ah Shalahuddin saat ini. Tim Rencana Strategis juga telah merumuskan definisi yang lebih konkrit beserta parameter-parameternya dengan harapan perbedaan-perbedaan yang ada akan membuat langkah dakwah lembaga ini lebih berirama alih-alih saling menjegal satu sama lain. Dengan demikian, belajar menjadi pembeda memang semestinya mudah.

Tapi kan, niat kita amar ma’ruf nahi munkar? Tapi kan teman kita salah, masak didiemin aja? Tapi kan itu juga untuk njaga kita, trus kalo nanti kita malah ikut terjerumus gimana? Tapi kan… tapi kan… tapi kan… (celotehan barisan garis lempeng)

Tapi kan mereka itu udah meresahkan, udah maksa pake nada tinggi pula! Tapi kan mereka itu pasti mbawa ayat, trus nggak pernah mau dijak diskusi gimana dong? Tapi kan mereka itu mbuat orang awam jadi anti Islam karna pemikiran mereka yang saklek? Tapi kan… tapi kan… tapi kan… (celotehan barisan garis bruwet)

Ya jelaslah mudah, belajar itu kan cuma mbaca en nulis. Praktiknya? Tau ah, ogah rempong. Mau ngelanjut nge-game en jalan-jalan ajah yang nge-hepi-in… (celotehan barisan belum jadi garis)

#tobecontinuedinOTB2insyaAllah

*Panas, Digoreng Dadakan, Tidak Berisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.