Oleh :
- Mutia Nadhilah Azzahra
- Pramudya Wisnu Wijaya
Perubahan Status Hagia Sophia
Belum lama ini, dunia digemparkan dengan pengumuman perubahan status Hagia Sophia menjadi masjid kembali. Bagaimana tidak, di tengah situasi yang di mana seluruh dunia tengah fokus dengan penangan COVID-19, Turki tiba-tiba memberikan pengumumannya terkait Hagia Sophia. Pengumuman itu disampaikan langsung oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Putusan pengadilan administrasi utama Turki telah menganulir dekrit pemerintahan pada 1935. Kini, sejak Jumat (10/7/2020), Hagia Sophia adalah masjid.
Dewan Negara Turki (Turkey’s Council of State), yang merupakan pengadilan administrasi tertinggi, pada awal Juli lalu telah menerima argumen banding yang mendesak pembatalan keputusan Dewan Menteri (Council of Ministers) tanggal 24 November 1934 tentang perubahan Hagia Sophia dari masjid agung menjadi museum. Dengan demikian, Hagia Sophia kembali dibuka sebagai tempat ibadah bagi kaum muslim.
Tuntutan hukum itu sendiri sebenarnya bukan baru saja diajukan, tetapi telah berproses sejak 2005 silam. Sebuah lembaga swadaya masyarakat di Istanbul, The Association of Foundations and Service to Historical Artefacts and the Environment, telah mengajukan petisi di Dewan Negara yang meminta pembatalan keputusan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi museum.
Menurut putusan Dewan Negara pekan lalu, berdasarkan akta pendirian Fatih Sultan Mehmet Foundation yang diajukan pengacara dalam bandingnya, Hagia Sophia dimiliki oleh yayasan yang didirikan oleh Sultan Mehmed II dan diwakafkan sebagai sebuah masjid. Menurut Dewan Negara, keputusan tersebut tidak dapat diubah secara hukum, kecuali oleh pendirinya. Yurisprudensi hukum Islam memang melarang perubahan akta atau piagam sebuah lembaga tanpa konsultasi dan persetujuan dari pemiliknya, sebuah prinsip perdata yang sejak lama juga telah diadopsi oleh hukum modern.
Kontroversi Perubahan Status Hagia Sophia
Perubahan status Hagia Sophia kembali menjadi masjid itu tentu saja segera memancing kontroversi. Dunia Barat umumnya tidak senang dengan keputusan tersebut. Perubahan status itu dianggap telah dan akan menyinggung perasaan umat Kristen dunia, khususnya golongan Kristen Ortodoks. Sebab, saat pertama kali dibangun oleh Kaisar Bizantium, Justinian I, pada tahun 532 hingga 537, Hagia Sophia semula dimaksudkan sebagai gereja katedral.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Morgan Otagus, misalnya, menyatakan kekecewaannya atas perubahan status tersebut. Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo, secara verbal bahkan meminta Turki untuk tetap mempertahankan Hagia Sophia sebagai museum. Senada dengan Amerika Serikat, juru bicara pemerintah Yunani, Stelios Petsas, mengatakan bahwa perubahan Hagia Sophia akan menciptakan jurang emosional yang besar antara orang-orang Kristen di dunia dengan orang-orang Turki.
Ungkapan ketidaksenangan Amerika dan Yunani ini sangatlah bisa dipahami, mengingat penduduk Amerika Serikat dan Yunani memang banyak yang berlatar belakang Kristen Ortodoks. Menariknya, pemerintah Rusia, yang sebagian besar warganya juga menganut Kristen Ortodoks, bersikap lebih kalem dan diplomatis. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Vershinin, menyatakan jika perubahan status Hagia Sophia menjadi masjid adalah urusan internal Turki. Pemerintah Rusia berpandangan bahwa tidak seorang pun boleh ikut campur dalam keputusan itu.
Terlepas dari ketidaksukaan negara-negara lain dalam merespon kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid, kaum muslimin sendiri merasakan euforia tinggi atas perubahan status ini. Ribuan umat muslim Turki memadati kembali Hagia Sophia untuk melaksanakan shalat Jumat pertama mereka di situs sejarah Hagia Sophia sejak 86 tahun lalu. Presiden Turki yang memperjuangkan perubahan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid agung juga ikut serta mewarnai euforia kaum muslim dengan membacakan ayat suci Al Qur’an, yaitu Al Fatihah dan Al Baqarah, sesaat sebelum shalat Jumat dimulai.
Kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid menjadi angin segar bagi kaum muslim. Bagaimana tidak? Hagia Sophia merupakan monumen bersejarah yang sangat sentimental bagi kaum muslim. Dulu, Sultan Muhammad Al Fatih mengalihfungsikan gereja menjadi masjid sebagai bentuk kemenangan islam atas futuhat di tanah Turki. Apakah peristiwa ini dapat kembali menjadi pintu gerbang cikal bakal kemenangan kaum muslim? Bagaimana perpolitikan internal Turki merespon hal itu?
Perpolitikan Internal Turki
Selama berabad-abad, Hagia Sophia menjadi legitimasi politik bagi pemimpin yang menguasainya. Dari masa kuno ke zaman modern, siapa pun yang menggunakan Hagia Sophia, pastilah dia berkuasa untuk memupuk citra politik, sosial, dan budaya.
Sejak lama, Erdogan memimpikan Hagia Sophia menjadi masjid. Sikap politik Erdogan mengarusutamakan Islam dalam tataran simbol telah berjalan lebih dari satu dekade setelah memimpin Turki selama 17 tahun. Peresmian Hagia Sophia disebut sebagai puncak dari kemenangan Erdogan atas jalan politiknya, terutama penguatan Islam dalam bidang pendidikan dan lintas pemerintahan. Namun, Erdogan mengesampingkan programnya sendiri memulihkan Islam dalam kehidupan publik, menurut Soner Cagaptay, Director of the Turkish Research Program at the Washington Institute for Near East Policy.
Erdogan disebut sebagai Neo–Ottoman. Supremasi Khilafah Utsmaniyyah yang melumpuhkan Eropa sejak abad 16, telah meninggalkan trauma akut pada Barat. Karenanya, sedikit saja sinyal kebangkitan Islam pasti membuat mereka waspada dan siap mengokang senjata. Namun, kita juga tidak bisa menampik bahwa ada suatu urgensi dibalik perubahan status Hagia Sophia ini. Misalnya harapan partai penyokong Erdogan agar pundi-pundi dukungan kembali lagi setelah jajak pendapat menunjukkan partai kehilangan pendukung secara signifikan, mengutip Deutsche Welle, situs berita ternama Jerman. ‘Pembebasan’ Hagia Sophia dapat menandai kelahiran baru politik Islam di Turki.
Saat mengumumkan perubahan Hagia Sophia, Erdogan mengatakan, “Kebangkitan Hagia Sophia adalah pertanda satu langkah pembebasan Masjid al-Aqsa”. Kendati demikian, sinyal kebangkitan Islam sejatinya bukan berasal dari Erdogan saja. Meski memang Erdogan terkenal dengan citranya sebagai seorang pria taat beragama yang bangkit melawan elite politik sekuler yang ditanam Kemal Pasha sejak keruntuhan Khilafah Islamiyah 1924.
Urgensi lain dilihat oleh pengamat Timur Tengah berkebangsaan Turki, Fehim Tastekin, melihat hubungan Erdogan dengan Israel lebih kompleks daripada yang tampak di permukaan. Diam-diam perdagangan Turki dan Israel berjalan baik, tersembunyi dari pandangan orang awam Arab dan Turki yang mengira Erdogan adalah pemimpin yang berani melawan Israel. Tastekin mengatakan bahwa,“Negara Arab masih mengaguminya karena mereka tak bisa melihat pemimpin Muslim lain yang bisa menjadi inspirasi bagi demokrasi dan masa depan lebih baik.” Selain itu, The New York Times, pada Februari 2011, menyebut Turki sebagai “negara demokrasi yang kuat” sebagai harapan berseminya demokrasi seiring Arab Springs.
Erdogan memang mati-matian mempertahankan kekuasaannya sebagai Presiden Turki sejak 2014. Seandainya dia memenangkan masa jabatan presiden ketiga pada 2023, dia akan meninggalkan jabatannya pada tahun 2028 dan bakal tercatat dalam sejarah sebagai presiden terlama kedua di Turki, kurang satu tahun dari kepemimpinan Kemal Ataturk.
Kesimpulan
Secara politis, keputusan untuk mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid tentu saja memberikan keuntungan politik yang sangat besar bagi Erdogan. Di sisi lain, pengecaman yang dilakukan banyak pihak lain akan mempengaruhi warna baru di Turki dan dianggap dapat memicu islamophobia. Bagaimanapun, apa yang terjadi saat ini di Turki adalah upaya melawan sistem sekuler warisan Ataturk. Namun, menurut sastrawan Turki pemenang Nobel Sastra, Orhan Pamuk, masih ada banyak muslim sekuler yang menolak konversi Hagia Sophia.
Perubahan kembali Hagia Sophia menjadi masjid memang merupakan mimpi banyak orang Turki sejak lama, bahkan mimpi seluruh kaum muslim di berbagai belahan dunia. Terlepas dari kepentingan yang dimiliki oleh Presiden Turki itu sendiri, kaum muslimin bisa sedikit berbangga diri bahwa angin segar kebangkitan umat islam sedikit demi sedikit mulai terasa. Itu terlihat dari euforia penyambutan dari kaum muslimin di tengah kecaman dari negara-negara besar yang cukup berpengaruh bagi dunia.
Referensi
Alam, Dipo. (2020). Hagia Sophia dan Kebangkitan Nasionalis-Religius di Turki (Bagian I). Diakses dari https://pinterpolitik.com/hagia-sophia-dan-kebangkitan-nasionalis-religius-di-turki-bagian-i
Amali, Zakki. (2020). Kontroversi Hagia Sophia dan Ambisi Erdogan Bebaskan Masjid Al Aqsa. Diakses dari https://tirto.id/kontroversi-hagia-sophia-dan-ambisi-erdogan-bebaskan-masjid-al-aqsa-fQDX
Azizlerli, Emre. (2019). Erdogan: Mengapa dunia Arab memilih presiden Turki sebagai pahlawan mereka. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-48776159
Blum, William. (2013, February 5). America’s Deadliest Export: Democracy, the Truth About US Foreign Policy, and Everything Else. London: Zed Books.
Christiyaningsih. (2020). Kebangkitan Hagia Sophia satu langkah awal bebaskan Masjid al-Aqsa. Diakses dari https://republika.co.id/berita/qdb3ry386990854/erdogan-kebangkitan-hagia-sophia-satu-langkah-awal-bebaskan-masjid-alaqsa
CNN Indonesia. (2020). Presiden Turki Tetapkan Hagia Sophia Sebagai Masjid. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200710221004-134-523418/presiden-turki-tetapkan-hagia-sophia-sebagai-masjid
Genc, Kaya. (2019). Tokoh Otoriter Dunia: Erdogan, Sang Islamis Penakluk Turki. Diakses dari https://www.matamatapolitik.com/tokoh-otoriter-dunia-erdogan-sang-islamis-penakluk-turki-in-depth/
Mandasari, Retno. (2020). Dibalik Euforia Masjid Agung Hagia Sophia. Diakses dari https://rri.co.id/internasional/873691/dibalik-euforia-masjid-agung-hagia-sophia