Virtual Frontier: ‘Lahan’ Kosong Non-fisik Penyebaran Agama Islam di Papua

virtual frontier

Oleh: Haidar Yusuf Arya Baskara

Pendahuluan

Salah satu kajian perbatasan yang cukup menarik untuk diulik dan diperdalam adalah tentang Frontier. Dalam tulisan ini nantinya akan menggunakan definisi tentang frontier dari Modie, dimana Frontier merupakan zona dengan lebar yang berbeda yang mana berfungsi sebagai pemisah dua wilayah yang berlainan. Selain itu, tulisan ini akan menggunakan teori atau pendapat kaitannya dengan perkembangan studi perbatasan menurut Vladimir Kolosov dan Robert J. Kaiser. Maka dari itu, dalam tulisan ini akan dilihat apakah frontier juga dapat diklasifikasikan sebagai batas negara yang bertahap berubah menjadi garis virtual. Isu yang diangkat dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan penyebaran agama islam di daerah Papua yang notabene dikenal sebagai mayoritas dengan pemeluk agama Kristen atau katholik. Tulisan ini tidak akan membahas kaitanya dengan frontier ataupun termasuk tanah ulayat yang ada di Papua  Akan tetapi, nantinya akan dijelaskan terkait apakah terdapat ‘lahan/tanah kosong’ yang konteksnya adalah penyebaran agama islam di Papua sekaligus juga mengetahui batas-batas virtual yang terlihat antara agama Islam dan agama Kristiani di kawasan Indonesia Timur. Seperti halnya beberapa kajian tentang frontier, terdapat banyak bahasan kaitanya dengan frontier ini. Salah satunya terkait dua poin kunci pendekatan frontier, dimana dalam studi frontier ini terdapat kesempatan eksploitasi ruang (Tsing 2005,Geiger 2008). Lebih lanjut, dalam bagian pembahasan juga akan dijelaskan apakah agama islam dapat mengeksploitasi ruang yang ada di Papua, mengingat Pulau Papua berdekatan dengan daerah-daerah yang dahulunya berdiri kesultanan-kesultanan besar islam.

Landasan Teori

Dalam beberapa kasus, cukup sulit untuk membedakan antara Frontier dengan Boundaries (apalagi Boundaries Zone). Modie berpendapat Boundaries diartikan sebagai garis-garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari wilayah suatu negara. Sedangkan Frontier merupakan zona (jalur) dengan lebar yang berbeda yang mana berfungsi sebagai pemisah dua wilayah yang berlainan negaranya. Hans Weiger dalam bukunya berjudul “Principles of Political Geography” memiliki pendapat tersendiri dimana Boundaries ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu Boundaries line dan  Boundaries zoneBoundaries line adalah garis yang mendemarkasikan batas terluar, dimana Boundaries line ini biasanya diwujudkan dalam bentuk garis, wooden barrier, a grassy path between field, jalan setapak di tengah hutan, dsb. Boundaries zone lebih diwujudkan dalam bentuk kenampakan ruang yang terletak antara dua wilayah, dimana ruang tersebut menjadi pemisah kedua wilayah negara dan merupakan daerah yang bebas. Sepintas terlihat kemiripan antara frontier dengan boundaries zone, namun Kristof dalam tulisanya yang berjudul “The Name of Frotiers and Boundarie” membedakan boundaries dan frotier berupa Frontier mempunyai orientasi keluar (sentrifugal, sedangkan boundaries lebih berorientasi ke dalam (sentripetal). Selain itu, perbedaan lainnya menurut Kristof adalah  Frontier merupakan suatu faktor integrasi antara negara-negara tersebut di satu pihak, sedangkan boundaries merupakan suatu faktor pemisah. (METTY, 2017)

Menurut Vladmir Kolosov, paradigma global sekarang menganggap batas negara secara bertahap berubah menjadi garis virtual dan digantikan oleh batas ekonomi, budaya, dan lain-lain (Palgrave Macmillan, 2013). Pendapat dari Vladmir Kolosov ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Robert J. Kaiser dalam tulisannya. Dalam jurnal yang berjudul “Performativity and The Eventfulness of Bordering Practices”, Kaiser mengemukakan bahwa terdapat perkembangan tentang studi perbatasan. Eksplorasi ‘batas’ menjadi bersifat dinamis, dalam artian batas didefinisikan sebagai sebuah wacana dan praktek yang membentuk dan memahami sebagai tempat atau komunitas dengan mengindentifikasi/membedakan antara satu dengan yang lainnya. Masih pada tulisan yang sama, dalam jurnal “Performativity and The Eventfulness of Bordering Practices” juga menyebutkan bahwa perbatasan adalah ‘events of becoming’ (woodward and Jones, 2005). Sehingga dapat dikatakan bahwa batas merupakan sesuatu yang mungkin berubah, entah itu karena adanya politisasi maupun disidentifikasi. (Kaiser, 2012)

Pembahasan

Hubungan dan keterkaitan Papua dengan islam sebenarnya telah banyak dikupas dalam tulisan Martin Slama  yang  berjudul  “Papua as an Islamic Frontier: Preaching in ‘the Jungle’ and the Multiplicity of Spatio-Temporal Hierarchisations”. Dalam tulisannya, Slama berpendapat agama islam mulai dikenal ketika dahulu terdapat interaksi pedagang Islam dengan masyarakat Papua. Kontak pertama antara para pedagang Islam dengan masyarakat Papua terjadi pada abad ke 15 atau lebih awal. Meskipun sulit untuk menentukan waktu pastinya karena sedikitnya bukti sejarah yang ditemukan, tetapi hal yang pasti adalah pada abad ke-17 terdapat dua wilayah di Indonesia Timur yang mempengaruhi persebaran Islam ke daerah pesisir Papua, yaitu Maluku Utara yang memiliki empat kerajaan Islamnya (Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo) serta Seram Timur dan Kepulauan Geser-Gorom yang memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan daerah Kepala Burung Papua dan Semenanjung Bomberai (Munro, 2018). Pada abad ke- 17 tersebutlah Kesultanan Tidore memiliki kesempatan untuk melakukan hubungan ekonomi  dengan Pulau Papua (atas dorongan VOC) dan pada pertengahan abad  ke-17 disebutkan bahwa Raja dari Pulau Raja Ampat diperkirakan memeluk agama Islam. Semenjak itu, hubungan antara Kesultanan Tidore dan Raja Ampat menjadi semakin dekat. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa Islam telah mulai masuk dan memiliki pengaruhnya di tanah Papua.

Namun jika kita berbicara konteks saat ini, terdapat stigma/stereotype berupa “Islam sama dengan Indonesia, Papua sama dengan Kristen”. Stigma yang seolah dapat dikatakan ‘membatasi’ tersebut tentunya bukan merupakan batas territorial atau geografis layaknya kajian perbatasan fisik. Namun lebih ke pendapat dari Vladimir Kolosov dan Robert Kaiser bahwa saat ini cukup banyak perkembangan perihal perbatasan, salah satunya batas virtual atau batas yang tidak terlihat. Kendati Papua memiliki batas tidak kasat mata kaitannya dengan agama, namun bukan berarti tidak terdapat ‘lahan atau ruang’ kosong yang dapat dieksploitasi kaitanya dengan pengaruh agama mayoritas di Indonesia. Merujuk pada paragraph sebelumnya, terlihat dimana masih adanya kemungkinan atau ruang kosong agama Islam untuk tersebar di Papua. Faktor historis daerah Indonesia timur yang sempat berkembang beberapa kerajaan Islam di kawasan tersebut, boleh jadi memiliki implikasi hingga saat ini. Implikasi yang dimaksud adalah berupa beberapa daerah di Indonesia Timur selain Papua memiliki mayoritas memeluk agama islam. Lebih  lanjut, seorang pendakwah yang melakukan aktivitas dakwah di Papua bernama Habib Munzir Al-Munsawa mengutarakan bahwa ketertinggalan Papua dalam hal agama Islam karena Papua tidak terkoneksi dengan kelompok Islam di Indonesia bagian lainnya (Munro, 2018). Berdasarkan apa yang disampaikan Habib Munzir sebelumnya, terlihat bahwa terdapat semacam zona batas/pembatas (yang bersifat non-fisik) sebagai pemisah antara wilayah Papua dengan wilayah Indonesia lainnya, sesuai dengan pengertian frontier menurut A.E. Modie. Sekaligus hal ini secara tidak langsung menjukan bahwa tidak adanya interkoneksi yang baik antar kedua wilayah sehingga agama Islam menjadi terbatasi untuk menyebar ke wilayah Papua. Meskipun demikian, tetap saja apabila kita merujuk pada argument utama tulisan ini bahwa masih terdapat ruang kosong non- fisik yang bisa dimanfaatkan/dieksploitasi kaitanya dengan persebaran agama islam karena adanya capaian-capaian historis berkembangnya agama islam di Papua pada zaman dahulu.

Referensi

Kaiser, R. J. (2012). Performativity and The Eventfulness of Bordering Practices. A Comapanion to Border Studies, 523-526.

Makahingide, R. (n.d.). UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERSOALAN DI WILAYAH. Jurnal Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik FISIP UNSRAT, 21-22.

METTY, W. E. (2017). KONSEP PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN. JURNAL TUGAS AKHIR PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN NSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG, 21-22.

Munro, M. S. (2018). rom ‘Stone-Age’ to ‘Real Time’ Exploring Papuan Temporalities, Mobilities and Religiosities onesia. Jurnal Masyarakat & Budaya, 435-436.

Palgrave Macmillan. (2013). Violence on The Margins States, Conflict, and Borderland. Palgrave Series In African Borderlands Studies, 59-60.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.