Tema : Mental Health
Sub Tema : Upaya Self-Care
Pemateri : Wirdatul Annisa, M.Psi.
Sesi Pematerian
Menurut WHO (2014), sehat jiwa ditunjukkan dengan beberapa kriteria, yaitu mengenali potensi diri, mampu mengatasi stress sehari-hari, produktif dan mampu memberi kontribusi bagi lingkungan sekitar. Dari sisi Islam, Zakiah Daradjad menyatakan bahwa sehat jiwa adalah adanya kesesuaian antara manusia dengan diri dan lingkungannya yang berlandaskan iman dan takwa, serta berorientasi pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan, menurut Imam Ghazali sehat jiwa akan tercerminkan dari akhlak yang baik, yang dilihat dari perilaku atau perbuatan spontan. Jiwa yang terganggu akan tampak dari berbagai aspek, yakni perasaan, pikiran, perilaku dan kesehatan fisik. Imam Ghazali juga berpendapat bahwa terdapat 5 komponen jiwa yang sehat, antara lain: Akidah yang kokoh, bebas dari penyakit hati, berkepribadian baik, produktif dalam hubungan sosial dan bahagia. Imam Ghazali menggagaskan tiga cara pembinaan akhlak untuk menjaga kesehatan jiwa:
1. Mujahadah, artinya bersungguh-sungguh dalam mengontrol hawa nafsu.
2. Tazkiyah An-Nafs, membersihkan diri dari akhlak tercela dan mengisi jiwa dengan akhlak yang baik. 3. Riyadhah, melatih diri untuk melakukan pembersihan jiwa dan mengosongkan diri dari segala sesuatu
yang tidak Allah ridhoi
Beberapa hal yang bisa dilakukan muslimah untuk mengupayakan kesehatan jiwa ialah sebagai berikut:
1. Nurturing iman (merawat iman)
Iman merupakan perkataan, perbuatan dan akidah (keyakinan). Iman perlu terus dirawat dan ditingkatkan karena mampu menjadikan setiap orang memiliki kaca mata berbeda dalam memandang segala sesuatu, termasuk permasalahan yang sedang dihadapi. Seperti yang dijelaskan dalam quran surah ar-Ra’d ayat 28- 29, yang artinya “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.”
2. Membangun healthy attachment (kelekatan yang kuat) dengan Allah subhanahu wa ta’ala
Kelekatan (kedekatan emosional) yang aman akan mengarahkan pada sikap positif, sehingga memiliki kesejahteraan, mampu mengatasi stress, membaiknya kesehatan mental dan pelaksanaan fungsi yang optimal. Selain itu, kelekatan yang sehat kepada Allah akan mendukung kesejahteraan jiwa.
3. Menutrisi jiwa dengan sesuatu yang baik
Nutrisi jiwa bisa didapatkan dengan beberapa hal, yaitu membiasakan diri mengonsumsi hal-hal baik, melakukan aktivitas positif/bermanfaat, meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah dan memilih
lingkungan perkumpulan dengan orang-orang yang memiliki energi positif.
4. Meluaskan kesabaran dan melangitkan kesyukuran
Imam Ghazali mengatakan bahwa sabar adalah ciri khas manusia, dimana malaikat dan jin tidak memiliki itu. Sabar dibutuhkan saat menghadapi musibah, saat melakukan kebaikan maupun ketika menjalankan ketaatan kepada Allah.
Menurut Subandi (2011), dimensi sabar terdiri dari 5 hal, yaitu pengendalian diri, ketabahan, kegigihan, penerimaan dan tenang. Sementara itu, rasa syukur ditujukan baik kepada Allah, diri sendiri, keluarga, maupun hal-hal lain di sekitar kita. Syukur adalah tentang penerimaan dan penghargaan terhadap sesuatu yang ada/dimiliki. Syukur juga menjadikan kita mampu mengambil hikmah dibalik apapun yang terjadi dan membantu kita untuk bisa melihat segala sesuatu dari berbagai perspektif. Menurut Imam Ghazali, seorang muslim seharusnya memberikan rasa syukur tertinggi kepada Allah subhanahu wa ta’ala, baik dengan meyakini dalam hati bahwa sumber nikmat berasal dari Allah, mengucapkan hamdalah atau menyebutkan nikmat Allah, serta menggunakan nikmat yang diberikan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Sabar dan syukur ini saling berkaitan karena kesabaran bisa dilatih dengan mensyukuri hal-hal kecil sebelum memulai aktivitas di pagi hari. 5. Meluaskan pandangan kepada Allah Meluaskan pandangan berarti berprasangka baik terhadap takdir Allah, serta selalu bertasbih kepada-Nya saat menghadapi kesulitan karena yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah memberikan sesuatu yang buruk. Hal itu juga ditegaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 216. 6. Mengelola emosi Langkah pertama untuk menjaga jiwa saat emosi memuncak adalah menyadari dan mengenali emosi, lalu mengambil jarak untuk menenangkan diri. Hal itu agar kita dapat mengenali sumber emosi dan akhirnya mampu mengambil langkah untuk menyelesaikan sumber emosi tersebut. 7. Menjaga kesehatan fisik
Kesehatan fisik dapat dijaga dengan mengonsumsi makanan sehat, memiliki kualitas tidur yang baik serta berolahraga secara teratur. 8. Memiliki support system yang baik. Lingkungan merupakan faktor sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, sebab kebaikan atau keburukan itu bersifat menular. Ketika berada di lingkungan yang positif, kita akan selalu diingatkan
kepada hal-hal baik yang mendukung kesehatan jiwa. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sesi Tanya Jawab
1. Terkait dengan syukur terhadap diri sendiri, terkadang saya bingung bagaimana cara mengapresiasi diri karena di setiap usaha yang saya lakukan itu tidak terlepas dari campur tangan Allah dengan segala pertolongan-Nya, jadi ada perasaan tidak pantas untuk mengapresiasi diri.
Jawaban: Jika rasa syukur kita terhadap Allah sudah mencukupi diri kita (tidak perlu apresiasi), maka itu adalah hal baik. Sebab, rasa syukur yang utama dan paling tinggi adalah untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, jika tidak merasa pantas untuk mengapresiasi diri, mungkin ada yang salah dengan rasa syukur kita kepada-Nya karena perlu dipahami bahwa ketika kita mengapresiasi diri sendiri, maka secara tidak langsung kita mengapresiasi Allah sebagai Pencipta manusia.
2. Tentang mujahadah tadi yaitu melawan hawa nafsu, bagaimana dengan keinginan interaksi dengan lawan jenis apakah termasuk hawa nafsu yang harus dilawan? Misalnya obrolan-obrolan santai saat bekerja kadang bisa membuat saya merasa bahagia dan berujung lebih produktif. Bagaimana Islam memandang hal tersebut? Dan sejauh mana hawa nafsu dalam hal interaksi lawan jenis itu harus dilawan?
Jawaban: Interaksi antar lawan jenis itu diperbolehkan, selama masih dalam batasan-batasan syariat. Beberapa interaksi yang tidak diperbolehkan dalam Islam adalah jika melalaikan waktu, berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis, membicarakan hal-hal yang tidak perlu, mencampuri masalah pribadi, dan sebagainya. Jika memang khawatir akan terjerumus ke hal-hal negatif, sebaiknya tidak perlu ada interaksi dengan lawan jenis.
3. Apakah self-care dan self-love itu berbeda? Bagaimana cara manajemen self-love supaya tidak berlebihan dan apakah self-love yang berlebihan bisa menjadikan kita pribadi yang self-centered?
Jawaban: Secara istilah, arti self-care dan self-love itu tidak sama. Self-care merupakan cara merawat atau menjaga diri agar jiwa kita tetap dalam keadaan sehat. Sedangkan, self-love adalah upaya untuk mencintai diri sendiri sebagai bentuk syukur kita terhadap apa yang Allah berikan, sehingga mengarahkan pada perkembangan fisik, psikis, maupun spiritual. Sebagai seorang muslim, self-love perlu dikontrol dengan tidak melakukan sesuatu yang menentang ajaran Al-Qur’an dan harus diarahkan agar berorientasi kepada akhirat.
4. Dari pematerian di atas, dikatakan bahwa sabar bukan berarti diam, tetapi tetap merasakan emosi negatif, seperti apa ekspresi dari emosi negatif yang masih dalam batasan yang Allah tetapkan?
Jawaban: Ketika menghadapi masalah, merasakan emosi yang datang seperti sedih, kecewa dan kesal adalah boleh (wajar), tetapi rasakanlah emosi tersebut secukupnya. Sementara itu, yang tidak boleh adalah jika perasaan tersebut membuat kita berprasangka buruk, menyalahkan keadaan dan tidak mau berusaha. Sebab, hal itu akan mengarahkan pada rasa kufur nikmat kepada Allah, padahal segala sesuatu yang terjadi sesuai kehendak Allah.