Mendadak Ngaji 31 Oktober 2024 | Warisan Strategi Perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Membangun Militer Modern Indonesia

Kajian yang disampaikan oleh Dr. Abdul Wahid M. Hum., M. Phil. pada 28 Oktober 2024 di Masjid Kampus UGM membahas Warisan Strategi Perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Membangun Militer Modern Indonesia. Warisan dalam hal militer Indonesia sangat penting untuk dipahami. Pangeran Diponegoro meninggalkan warisan yang begitu luas, tidak hanya dalam bentuk fisik tetapi juga dalam nilai-nilai dan strategi yang diterapkan. Memahami konsep warisan adalah kunci untuk menilai dampaknya. Warisan sejarah terdiri dari dua jenis: yang terlihat kasat mata dan yang tidak terlihat. Pangeran Diponegoro meninggalkan jejak yang tak hanya berupa lokasi geografis saat beliau diasingkan, seperti Goa Selarong di mana beliau melakukan praktik spiritual dan sejumlah monumen serta museum perjuangan. Goa Selarong, misalnya, adalah tempat perlindungan dan pusat komando Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa.

 

Selain warisan fisik, ada warisan yang tidak terlihat yang meliputi cerita legenda, memori publik, atau ilmu yang diwariskan. Nama beliau digunakan sebagai identitas militer di Jawa Tengah, menunjukkan betapa dalamnya pengaruh beliau terhadap budaya militer Indonesia. Upaya untuk menjaga ingatan ini bertujuan agar generasi mendatang tetap mengenang kontribusi Pangeran Diponegoro.

 

Peristiwa: Perang Jawa ini dianggap sebagai perang terbesar di era modern abad ke-16 hingga ke-17. Perang ini berlangsung cukup lama dan menimbulkan banyak korban, sekitar 200 ribu dari pihak Pangeran Diponegoro, jumlah yang sangat besar. Selain dampak di sektor militer, ada dampak yang sangat memprihatinkan di sektor ekonomi dan sosial bagi para petani. Dari sisi kolonial yang terlihat lemah lembut, ternyata bisa berubah sifat jika terjadi pemberontakan. Peperangan ini semakin besar dan mematikan karena merupakan perang asimetris, yaitu peperangan yang tidak seimbang dalam persenjataan dan taktik, diikuti dengan perang gerilya yang banyak melibatkan penduduk sipil.

 

Warisan: Perang ini bercorak modern dengan adanya spionase, peperangan terbuka, dan gerilya. Sistem tanam paksa yang berlangsung pada tahun 1870-an juga menjadi bagian dari warisan ini. Strategi gerilya yang diterapkan oleh Pangeran Diponegoro menjadi landasan penting bagi taktik militer Indonesia di masa depan. Gerakan ini menekankan pada mobilisasi cepat, pengetahuan medan yang baik, dan dukungan dari penduduk lokal.

 

Strategi:

  1. Membangun kualitas pribadi: Pangeran Diponegoro memperkuat dirinya secara personal dengan pemahaman keagamaan yang kuat, hubungan baik dengan ulama, dan masyarakat sekitar. Beliau dikenal sebagai sosok yang taat beragama dan memiliki integritas tinggi, yang membuatnya mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.
  2. Dukungan masyarakat: Untuk memenangkan perang, dukungan masyarakat sangat diperlukan. Pangeran Diponegoro berhasil membangun jaringan yang kuat dengan ulama dan tokoh masyarakat untuk menyatukan dukungan terhadap perjuangannya.
  3. Fondasi ideologi: Beliau membangun fondasi dengan menyamakan persepsi dan ideologi milenialisme. Ideologi perang jihad digunakan untuk menyatukan kelompok masyarakat. Pihak yang berperang harus menjaga moral dan sikap dalam melawan kolonialisme. Ini membantu memotivasi pasukannya dan memberi mereka tujuan yang jelas dalam perjuangan mereka.
  4. Teknis militer: Pangeran Diponegoro membentuk organisasi militer dan menerapkan strategi perang gerilya, dengan memanfaatkan kondisi alam seperti gunung dan bukit. Beliau juga membangun banyak benteng perlawanan dengan sistem benteng stelsel. Pasukan Pangeran Diponegoro tidak menjual barang-barang ke musuh dan memutus suplai makanan dan barang untuk musuh. Strategi ini memastikan bahwa musuh kesulitan dalam mendapatkan logistik yang diperlukan untuk bertahan dalam jangka panjang.

 

Dalam konteks modern, strategi ini dikembangkan saat tentara Indonesia melawan Belanda dalam perang kemerdekaan. Yogyakarta menjadi ibu kota tahun 1946. Perang pemuda Indonesia melawan sekutu, mulai dari Surabaya hingga Ambarawa, mencoba menerapkan strategi “capit urang”. Meski tidak 100% berhasil, mereka mencoba mengaplikasikannya. Tentara Indonesia dipimpin oleh Jenderal Sudirman dan A.H. Nasution, yang menerapkan strategi perang gerilya dengan memanfaatkan potensi masyarakat. Strategi ini menunjukkan betapa pentingnya warisan taktik dan semangat perjuangan yang diwariskan oleh Pangeran Diponegoro.

 

  1. Pangeran Diponegoro sebagai Ratu Adil: Ada dua lukisan Nicolas menggambarkan Pangeran Diponegoro; satu menunjukkan penyerahan diri, dan yang lain oleh Raden Saleh menunjukkan penangkapan karena jebakan. Pangeran Diponegoro digambarkan menyerah kalah.
  2. Hikmah: Kedaulatan dan kemerdekaan yang diperjuangkan Pangeran Diponegoro membawa taktik karena dijajah. Nasionalisme beliau mencerminkan keinginan kuat untuk membela tanah air. Semangat ini masih relevan untuk generasi muda saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan sosial dan politik.
  3. Pengajaran: Beliau adalah orang yang sangat taat agama, berani, punya prinsip, melawan kezaliman, jujur, mendapat kepercayaan dari pengikut, dan cerdas dalam strategi. Nilai-nilai ini bisa diadopsi oleh generasi muda untuk membangun karakter yang kuat dan berintegritas.
  4. Pengaruh strategi perang terhadap ekonomi: Perang membutuhkan logistik dari petani, dengan pasar yang hilang atau rusak, dan perdagangan terganggu. Kondisi ekonomi yang sulit selama perang juga menekankan pentingnya ketahanan pangan dan dukungan dari masyarakat lokal.
  5. Relevansi saat ini: Kisah Pangeran Diponegoro adalah inspirasi yang sudah tidak digunakan lagi dalam konteks fisik, tetapi nilai-nilai simboliknya diperlukan untuk semangat dan mindset. Warisan ini membantu membangun semangat kebangsaan dan kemauan untuk melawan ketidakadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.