Pembicara | Urfa Qurrata ‘Aini (Penulis Buku Tak Masalah Jadi Orang Biasa) |
Hari, Tanggal | Sabtu, 20 November 2021 |
Waktu | 09.00 s.d. 11.15 WIB |
Tempat | Zoom Meeting |
Latar Belakang Penulisan Buku Tak Masalah Jadi Orang Biasa
Buku ini terbit pada bulan September 2020, pada saat pandemi. Penulisan buku ini terinspirasi dari keadaan pandemi. Pandemi datang, tidak peduli siapa pun kita, semua terdampak. Saat itu, terpikirkan oleh Kak Urfa bahwa ternyata kita manusia yang tidak bisa bertumpu pada diri kita sendiri, kita hanya manusia biasa. Kak Urfa berpikir bahwa pandemi ini membuat kita kembali kepada diri kita yang asli, siapa diri kita yang asli? Kita sebagai manusia biasa yang tidak punya kendali atas semua hal walaupun kita ingin melakukannya. Bahkan kita tidak bisa mengendalikan virus yang sudah masuk ke dalam diri kita. Kita tidak bisa mengendalikan siapa yang bisa terkena covid dan siapa yang tidak, walaupun tubuh ini katanya adalah milik kita.
Di bagian prakata, Kak Urfa menuliskan bahwa pandemi ini mengajarkan Kak Urfa untuk menerima berbagai kerapuhan dan menganggap itu sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Pandemi ini membuatku (penulis) menerima semua manusia seluar biasa apa pun kelihatannya dan sebesar apa pun ambisinya adalah tetap orang dewasa. Jadi ketika pandemi melempar semua ambisi kita ke jurang terdalam dan gelap, tidak ada pilihan lain selain menjadi diri kita yang sesungguhnya, yaitu menjadi manusia biasa dan bukan siapa-siapa.
Di situ, Kak Urfa melihat bahwa seperti itulah esensi kehidupan kita. Siapa pun kita di mata orang lain, berapa pun followers kita misalnya, berapa pun harta kekayaan kita, dihadapkan oleh suatu keadaan yang sulit seperti pandemi ternyata kita bukan siapa-siapa, ternyata kita tunduk oleh sebuah ketentuan Allah melewati sebuah virus. Itu yang melatarbelakangi Kak Urfa untuk menulis buku ini. ternyata kita bukan siapa-siapa, kita hanya orang-orang biasa, Cuma kita punya peran, punya status, punya topeng-topeng, tetapi jika topeng itu sudah tidak ada ya kita hanya seorang manusia.
Buku ini mengembalikan posisi kita sebagai manusia biasa. Kadang kita lupa, kadang kita seolah menganggap diri kita lebih tinggi di hadapan orang lain, kita melihat orang hanya karena jabatannya. Kita melupakan kemanusiaan. Pandemi ini membuat kita sebagai manusia biasa dan melihat orang lain juga sama. Jadi kita lebih terhubung, lebih bisa melihat kesusahan orang lain, kita lebih bisa berempati.
Tujuan dan Manfaat Penulisan Buku Tak Masalah Jadi Orang Biasa
Menulis itu adalah pekerjaan yang lahir dari perasaan gelisah. Kegelisahan itu dituangkan dalam sebuah buku. Tujuan yang pertama adalah untuk menunjukkan kepada orang-orang yang mempunyai kegelisahan yang sama, bahwa kalian tidak sendiri. Bagian 1 pada buku Kak Urfa menuliskan kegelisahan-kegelisahannya. Jadi tujuan dalam penulisan buku ini adalah mengumpulkan orang-orang yang mempunyai kegelisahan yang sama, bahwa kalian tidak sendiri, penulis juga merasakan kegelisahan yang sama. Bahwa apa yang kalian rasakan itu wajar.
Tujuan yang kedua, untuk memberikan sisi lain. Mungkin sudah cukup banyak penulis yang menulis buku motivasi, sebaliknya buku ini mengajak kita untuk lebih aware terhadap diri kita sendiri, lebih menerima diri kita sendiri. Pada kenyataannya, tidak bisa semua orang menjadi luar biasa, kalau tidak ada orang biasa maka tidak ada juga orang luar biasa. Akan selalu ada orang yang perannya terlihat “biasa-biasa saja” nampaknya.
Penulis ingin menunjukkan bahwa status-status itu cuma sarana, cara kita untuk mengisi kehidupan kita menjadi lebih baik. Buku ini berusaha menjawab bahwa status-status itu hanya kulit, permukaan. Tapi apa sih esensinya? Kita kembali lagi ke ajaran agama kita sebagai seorang muslim. di bagian akhir Kak Urfa menuliskan bahwa surga itu terbuka untuk orang-orang biasa. Dan Allah juga tidak memandang rendah orang-orang yang kita anggap biasa. Rasulullah SAW pun terkenal sebagai seseorang yang suka membesarkan hati umatnya. sebenarnya sudah tinggi sekali peradaban kemanusiaan di dalam Islam. Menghargai seseorang bukan dari statusnya. Dalam ajaran Islam, semua manusia itu punya kedudukan yang sama. Yang membedakan hanya ketaqwaannya.
Jadi tujuan kedua dari penulisan buku ini adalah supaya kita tidak berkecil hati kepada peran-peran kita dan supaya kita tidak memandang kecil orang lain bagaimanapun perannya. Selain kita sebagai manusia, kita sebagai muslim pun sudah diajarkan oleh rasul kita untuk tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan statusnya.
Ringkasan Isi Buku Tak Masalah Jadi Orang Biasa
Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama berjudul “Pertanyaan yang menghantuiku”. Di bagian ini, Kak Urfa menuliskan kegelisahan-kegelisahan yang beliau rasakan. Pada bagian kedua, lebih banyak membahas secara teoretis, secara psikologi, dari apa yang telah Kak Urfa baca.
Desain buku berwarna, dan layout-nya dibuat tidak begitu padat, agak berjarak. Setiap halaman ada yang di-bold sebagai variasi. Trend saat ini adalah orang-orang suka dengan bacaan yang singkat-singkat. Sebagian orang jadi malas untuk membaca buku yang terlalu panjang atau layout-nya terlalu penuh. Juga terdapat beberapa ilustrasi dan kutipan-kutipan yang insyaa Allah tidak membuat pembaca menjadi bosan saat pembaca. Buku terdiri dari 202 halaman ukuran 14×21 cm.
Pesan dan Motivasi yang Ingin Penulis Sampaikan kepada Pembaca
Apa pun yang terjadi pada diri kita baik atau buruk, kita sendiri yang mengalaminya. Kita pasti punya keinginan, ekspektasi sebagai manusia. Tapi tidak semua ekspektasi itu terjadi. Buku ini hadir untuk memberi pelukan yang menangkap teman-teman ketika terjatuh, ketika tidak berhasil mencapai mimpi yang diharapkan. Tetaplah menerima diri kita, menyayangi diri kita, dan tetap melakukan yang terbaik yang kita bisa.
Sesi Tanya Jawab
1. Pertanyaan :
Terkadang kita ingin menjadi lebih baik karena ingin mendapatkan sesuatu yang baik, entah pasangan, pekerjaan, lingkungan, atau sebagainya. Tetapi ada faktor x yang tidak kita punya untuk menuju itu. Misalnya, qadarullah kita dilahirkan di keluarga yang biasa-biasa saja, kurang beruntung, terlahir di keluarga pas-pasan, dan sebagainya, yang menunjukkan kita ini bukan siapa-siapa. Bagaimanakah nasihat dari Kak Urfa supaya kita mampu menerima bahwa faktor x yang kita inginkan ini, yang kita pikir kita bisa menjadi lebih baik jika kita punya itu yang ternyata kita sama sekali tidak memilikinya. Bagaimana supaya kita bisa menerima itu? (Penanya : Anila Indrianti)
Jawaban :
Kehidupan manusia itu memang tidak seindah drama. Tidak seindah skenario buatan manusia. Ada faktor-faktor yang tidak bisa kita kendalikan. Sebetulnya tidak bisa instan. Proses penerimaan itu ya sepanjang hayat kita. Kita akan terus mencari sisi-sisi baik dari apa yang kita rasakan saat ini. kita seperti menyelami sebuah lautan. Kita tidak tau apa yang ada di dasar lautan sana. Kita terus mencari hikmah, sisi baik. Memang tidak semua yang terlihat baik itu benar-benar baik atau yang kita anggap buruk itu buruk. Karena kita tidak bisa melihat jalan kita ke depan. Yang kita lihat adalah kita hari ini.
Bagaimana agar kita bisa menerimanya? Yang pertama adalah kita berusaha berprasangka baik kepada diri kita, kepada Allah yang sudah menciptakan kita, dan kepada orang-orang di sekeliling kita. Bahwa semua yang terjadi pada hidup kita itu ada sesuatunya. Sesuatu itu bisa berupa pelajaran. Kita dipertemukan dengan orang baik untuk mendapatkan keteladanan tetapi kita juga dipertemukan dengan orang buruk agar kita mendapat pelajaran. Jadi bukan kepada permukaannya tetapi apa di balik itu. Kita selami itu. Memang susah, pertama kita terima dulu, penerimaan. Penerimaan itu sepertinya mudah tetapi sangat sulit. Penerimaan sebagai kunci utama supaya kita bisa melanjutkan hidup kita menjadi lebih baik. Bahwa inilah hidup kita, tidak selalu cerah. Penerimaan itu yang membebaskan kita. Sesuatu yang tidak bisa kita ubah hanya bisa kita terima.
Dalam menerima itu kita mendapatkan kekuatan, untuk selanjutnya mencari apa sisi yang ingin Allah tunjukkan kepada kita. Mungkin kita belum melihatnya sekarang, it’s okay, sekarang kita masih terpuruk, menyalahkan keadaan, tetapi teruslah berjalan sampai kita menemukan momennya.
2. Pertanyaan :
Bagaimana perjalanan pertama Kak Urfa saat menjadi penulis. Pasti kan ada momen jatuh bangunnya. Bagaimana ketika momen jatuh itu Kak Urfa bisa bangkit kembali dan akhirnya produktif untuk menulis? (Penanya : Lintang Afra Karisma)
Jawaban :
Waktu awal menulis, Kak Urfa tidak terpikir untuk menulis buku. Di awal, beliau hanya berpikir untuk mencurahkan kegelisahannya dan ternyata terus berkembang, banyak yang memberi masukan dan respons positif, lalu memberanikan diri membuat buku. Tetapi Kak Urfa ingat bahwa semua penulis pasti memulai dari halaman pertamanya. Semua penulis punya karya pertama dan karya pertama itu pasti tidak sempurna. Tetapi kita melihat proses, bahwa kita adalah manusia bukan mesin. Kak Urfa tidak pernah memasang ekspektasi tinggi terhadap dirinya. Kita lakukan dulu apa yang kita bisa, tidak berpikir dulu apa respons orang nanti, yang penting dilakukan dulu. Menulis sebagai pelarian dari kesibukan. Dan ketika menulis memberikan efek positif kepada penulis. Jadi, sebelum memberi efek ke orang, tulisan itu memberi efek positif dulu ke penulisnya. Kak Urfa menganggap menulis itu sebagai terapi.
Setiap tulisan itu akan menemukan pembacanya. Yang terpenting, pertama adalah memberikan manfaat kepada diri kita sendiri. Yang kedua, kita berproses, terus belajar. Ada keyakinan bahwa kita tidak ditentukan oleh satu buku saja. Kak Urfa suka melihat ke depan bahwa ini bukan buku terbaik beliau, tapi mungkin suatu saat beliau akan mendapatkan momen terbaiknya, dan tidak bisa hanya berhenti di sini. Yang terakhir adalah kita perlu membangun kebiasaan untuk menulis. menjadikan menulis itu sebagai rutinitas maka rasa takut, ragu yang kita rasakan perlahan akan memudar. Orang yang pemberani bukan orang yang tidak punya ketakutan. Dia takut, tahu dia takut, tetapi tetap melakukannya. Jangan langsung memasang ekspektasi tinggi, yang penting tulisan itu kita rasakan dulu manfaatnya, kita happy, merasa bahagia setelah menulis, itulah kepuasan besar kita. Tetapi jika tulisan kita bermanfaat untuk orang lain, banyak yang baca, Alhamdulillah. Tetapi kalaupun tidak itu sudah cukup membuat kita lebih baik.
3. Pertanyaan :
Kak Urfa, menjadi pribadi di tengah era yang serba pesat ini tentunya memberikan berbagai tuntutan dalam diri agar senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi, kita senantiasa dituntut untuk menjadi pribadi yang produktif, pribadi yang senantiasa lebih dari kebanyakan, dan sebagainya. Namun, energi dan tenaga kita pada kenyataannya tidak dapat meng-cover berbagai tuntunan itu, akibatnya yang terjadi dalam diri saya ialah demotivasi, justru tidak melakukan apa pun karena timbulnya kekhawatiran yang senantiasa berulang, lalu bagaimana sebaiknya sebagai muslim dalam menyikapi hal tersebut ? (Penanya : Bikhari Hakim)
Jawaban :
Memang ada sebuah kondisi, zaman dahulu kehidupan berjalan begitu lambat, kehidupan begitu sederhana. Tetapi memasuki zaman sekarang ini di mana kita untuk serba cepat, instan, dan penilaian terhadap seseorang jadi berdasarkan produktivitasnya.
Berbagai buku dan seminar mengajak kita untuk jadi manusia produktif. Memang menjadi produktif itu baik, tetapi bukan berarti kita terus memaksa diri kita untuk menjadi mesin produksi. Produktif itu dasarnya dari kata produk. Istilah dari orang industri. Di dalam buku, juga dibahas bagaimana corak kehidupan saat ini semakin industrial. Kita dinilai berdasarkan jam kerja. Tetapi pada intinya bukan berarti produktif itu tidak baik dan bukan berarti tidak produktif itu tidak baik. Jadi kita belajar untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Yang penting kita tidak menjadikan produktivitas itu sebagai suatu ukuran. Produktif itu tidak dinilai oleh sekadar angka-angka, apalagi penghasilan, tetapi kepada kualitas kebaikan atau menfaatnya. Dan itu bukan sesuatu yang perlu kita perlombakan. Kita kembalikan saja kepada fitrah kemanusiaan kita, ada kalanya kita lelah butuh istirahat. Kita dengarkan kebutuhan diri kita. Kita belajar mendengarkan bahwa kita juga punya kebutuhan lain, kita juga manusia, bukan robot yang harus terus bekerja. Tetap melakukan sesuatu dengan kecepatan yang benar. Kita upayakan supaya pikiran kita itu bisa fokus, hadir di tempat ini, saat ini.
Yang terakhir adalah berhenti bersikap perfeksionis. Kita kembalikan jati diri kita sebagai manusia, ngga usah perfeksionis, ngga usah meninggikan angan-angan, lakukan yang terdekat dulu. Berhenti bersikap perfeksionis, manusiakanlah diri kita. Lihatlah diri kita dengan kasih sayang. Allah juga menitipkan diri kita untuk kita rawat. Kalau kita sakit karena terlalu memforsir diri kita atas nama produktivitas itu malah bukan produktif, tetapi menyiksa diri kita.
4. Pertanyaan :
Saya sering sekali mendengar istilah agent of change yang disematkan pada mahasiswa. Berkaca pada perjalanan sejarah, kontribusi yang besar dari para mahasiswa memang mampu membawa negara ini ke lebih baik. Mahasiswa juga dianggap mempunyai ide-ide inovatif sehingga bisa memberikan perubahan yang positif bagi kepentingan orang banyak. Di sisi lain, manusia adalah tokoh yang selalu berubah-ubah, dinamis, fleksibel, yang membuktikan pertumbuhan. Pertanyaannya, bagaimana cara berhenti menghakimi proses orang lain dan mendukung perjalanan batin seseorang? (Penanya : Vidya Alia)
Jawaban :
Sering, kita melihat bahwa semuanya itu harus instan. Sebenarnya yang keliru itu bukan keinginan atau harapan, tetapi pemenuhannya, bahwa saat ini masyarakat suka yang instan, serba cepat. Atau melihat sesuatu dari permukaannya saja.
Kita bisa mendefinisikan dulu agent of change tadi. Change, perubahan. Perubahan ini definisinya apa, indikatornya apa, sejauh apa sesuatu itu disebut perubahan, atau kontribusi. Tentu itu baik. Hanya saja jalannya perlu kita akui juga. Jalannya tidak mudah, berbeda-beda pada setiap orang. Banyak jalan untuk menjadi agent of change. Kita masih berusia muda, cenderung latah, mudah tersihir oleh hal-hal yang terlihat keren. Tetapi kita belajar untuk lebih bijaksana untuk melihat sesuatu itu lebih kepada esensinya. Ketika masih mencari, kita kenali dulu diri kita. Kita berjalan di jalan masing-masing. Entah kita sekarang berada di tengah jalan yang besar atau jalan yang kecil, tapi kalau kita tahu bahwa di ujung jalan itu ada sesuatu yang kita kejar, teruslah berjalan. Sekarang belum terlihat, ya karena kita belum sampai. Berproses itu terus berjalan, jangan berhenti.
5. Pertanyaan :
Terkait dengan apa yang telah disampaikan oleh Kak Urfa, saya menangkap bahwa tak masalah untuk kita menjadi orang biasa. Saat kita melakukan hal-hal kecil, itu juga sudah bermanfaat. Bagaimana cara atau tips untuk mengapresiasi diri kita yang sekarang mungkin bisa dibilang biasa-biasa saja, untuk menumbuhkan semangat untuk terus berproses jadi yang lebih baik, meskipun kita sendiri memilih untuk jadi orang biasa-biasa saja? (Penanya : Anik Nur Hasanah)
Jawaban :
Kita itu sebenarnya terlalu sering dikasih tahu kurangnya kita di mana. Sesuatu yang kurang itu dianggapnya sebagai sebuah aib. Mengapresiasi diri sendiri menjadi sebuah perjalanan terjauh bagi diri kita. Mengenal diri kita dan mencintai diri kita. Selama kita hidup akan terus ada pertentangan di dalam diri kita, ada dilema. Mengapresiasi diri kita itu tidak sulit jika kita sudah kenal diri kita. Kita harus tahu kelebihan kita apa yang patut kita apresiasi, dan itu tidak harus sesuatu yang luar biasa. Jangan fokus terhadap apa kata orang, tetapi kita juga harus mendengarkan diri kita.
Yang kedua adalah jangan membandingkan. Kalau kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain, akan selalu ada orang yang lebih hebat dari kita, dan standar-standar itu akan selalu mengikuti kita, tidak berhenti. Sekarang kita fokus ke diri kita. Karena tidak ada seorang pun yang bisa menjadi diri kita sebaik diri kita sendiri. Cukuplah jadi diri kita sendiri, tidak melihat ke kanan dan ke kirim. Boleh jika kita sesekali menoleh untuk motivasi, tetapi kita tidak perlu berlarut-larut dan tetap melihat bahwa kita hanya berbeda jalan saja. Kita lihat ke depan, langkahkan kaki kita. Mungkin jalan yang kita lalui itu tidak mengarahkan kepada popularitas, tetapi siapa tahu jalan yang ada di depan kita ini mengantarkan kita kepada keridhaan Allah, kepada kebahagiaan yang lebih.
Kalau kita sudah punya konsep diri, kita mau seperti apa, terus dijalani saja. Jika belum, dicari dulu, diusahakan dulu. Tetap menerima diri sendiri tetapi tidak menutup diri. Masa-masa menjadi mahasiswa sebagai momen kita untuk belajar. Tidak terbatasi oleh satu hal saja. Kita luaskan pandangan kita supaya bisa melihat pilihan-pilihan hidup yang sangat beragam.