Kabar gembira bagi para mahasiswa yang mempedulikan kemiskinan di Indonesia. Pemerintah akhirnya mencanangkan program kredit usaha untuk para sarjana. Para mahasiswa yang baru saja lulus, dapat meperoleh modal usaha dengan syarat ijazah kelulusan sebagai jaminannya. Ini merupakan suatu langkah positif pemerintah yang perlu diapresiasi dan ditindaklanjuti oleh para mahasiswa. Karena, masalah kemiskinan tidak akan terselesaikan tanpa diimbangi dengan bertambahnya jumlah pengusaha baru. Para mahasiswa yang terkenal dengan letupan-letupan idealismenya perlu menyikapi masalah kemiskinan ini dengan menjadi pengusaha sebagai alternatif solusi pewujudan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Ada beberapa potensi manfaat yang dapat dihasilkan ketika program ini dapat berjalan dengan baik.
Pertama, angka pengangguran dapat berkurang. Dengan munculnya pengusaha baru, maka akan membuka lapangan pekerjaan baru. Sehingga, akan terjadi penyerapan tenaga kerja yang jika jumlahnya besar, akan dapat menekan angka pengangguran menjadi lebih kecil. Dengan berkurangnya angka pengangguran, secara tidak langsung akan menghambat laju pertumbuhan angka kemiskinan.
Kedua, akan mebentuk mental produktif bagi para mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara ini telah tercetak sebagai negara konsumen.Hal ini ditampakan oleh warga negarnya yang sangat bangga dengan perilaku konsumtif seperti yang pernah dikemukakan oleh survey Koran Kompas. Pemuda saat ini telah terjerumus ke dalam era hedonisme yang dimana begitu bangganya menjadi pemakai produk asing ketimbang menciptakan suatu produk sendiri.. Contoh saja, di kalangan pemuda tertentu ada trend yang beranggapan, “jika tidak pakai blackberry maka tidak gaul” , pembicaraan sebagian pemuda saat ini sudah tidak lagi menyentuh masalah masyarakat, bangsa, dan negara, melainkan “eh, aku punya blackbary model baru loh”. Perilaku konsumtif tinggi seperti ini lah yang dimanfaatkan Nokia dan beberapa perusahaan teknologi lain, untuk menjadikan Indonesia sebagai negara untuk uji coba produk baru.Dengan adanya program kredit usaha untuk sarjana ini diharapkan dapat merubah mental bangsa ini yang semula bermental konsumtif, menjadi bermental produktif.
Ketiga, Membantu menciptakan harga diri bangsa menjadi lebih terhormat. Harus diakui bahwa Indonesia adalah negara buruh . Rakyatnya sangat bangga untuk menjadi buruh. Terbukti dengan tingginya jumlah TKI. Depnakertrans pun mengakui kalau devisa terbesar yang masuk ke Negara ini adalah berasal dari TKI. Ini adalah bukti kalau bangsa ini bangga menjadi bangsa buruh. Dengan adanya program kredit mahasiswa ini setidaknya adalah merupakan satu langkah untuk mengembalikan harga diri bangsa, yang semula adalah bangsa buruh menjadi bangsa pencetak pengusaha. Suatu hari nanti, bukan Tenga Kerja Indonesia yang kita butuhkan, tetapi Tenaga Kerja Asing.
Namun demikian, pelaksanaan program kredit usaha sarjana ini juga memiliki potensi resiko seperti macetnya kredit karena sang sarjana tidak mampu membayar pinjaman sesuai target pengembalian, meludaknya jumlah para sarjana yang ingin berwirausaha namun minim dengan kompetensi, terjadinya potensi korupsi dalam hal penyaluran dan penggunaan anggaran program ini, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah setidaknya perlu melakukan sejumlah langkah-langkah.
Pertama, merumuskan mekanisme yang tepat dalam pencairan modal. Misalkan, seorang sarjana yang ingin mendapatkan modal perlu membuat proposal rencana bisnis. Setelah itu, ia harus membuat kesepakatan dengan pihak penyelenggara program ini berkaitan berapa jumlah modal yang dapat didapatkan, berapa lama ia harus mengembalikannya, bagaimana sistem pengembaliannya, apakah menggunakan bunga atau konsep bagi hasil, dan lain sebagainya. Semua ini perlu dibuat mekanisme yang jelas, mudah, dan aman dalam pelaksanaannya.
Kedua, pemerintah hendaknya juga membuat tim monitoring dan asistensi. Banyak sekali pengusaha pemula yang gagal karena tidak memahami pengelolaan usaha dengan baik. Oleh karena itu, alangkah baiknya, para sarjana yang baru memulai usaha bisa mendapatkan pembimbimngan dalam mengelola usahanya sampai cukup settle untuk dilepas atau sampai ia mampu mengembalikan pinjaman modal. Selain itu, tim monitoring ini perlu dibuat agar program ini bisa terbebas dari resiko pelarian modal, usaha-usaha haram, dan persekongkolan yang mengarah kepada tindak pidana korupsi.
Ketiga, bekerja sama dengan perbankan BUMN dalam hal pengelolaan dana. Kenapa BUMN? Bukan Swasta? Kalau diberikan kepada swasta pengelolaan dananya, potensi konflik kepentingan akan lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sama dengan bank milik pemerintah. Pihak swasta tentu akan memiliksi potensi kepentingan lebih besar untuk mengembangkan Bank-nya secara pribadi daripada memajukan perekonomian bangsa. Bisa jadi, kejadian seperti kasus Century terjadi kembali. Jika Century adalah pelarian uang nasabah, kalau program kredit usaha sarjana ini adalah pelarian uang negara. Oleh karena itu, akan lebih baik jika kerja sama dilakukan dengan Bank BUMN sehingga bagi hasil dari keuntungan usaha para sarjana bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mengembangkan lagi program ini atau mengalihkannya kepada program-program pemajuan kesejahteraan bangsa yang lain.
Keempat, membuat regulasi dan iklim usaha yang kondusif. Kendala terbesar dalam dunia usaha di Indonesia adalah beratnya sistem regulasi di Indonesia. Dikit-dikit pajak, dikit-dikit pungutan, serta banyaknya persyaratan administrasi dalam membuka suatu usaha. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk mengurus surat-surat ijin tersebut yang sampai memakan waktu berminggu-minggu. Yang demikian ini perlu direformasi. Pemerintah wajib membuat regulasi yang mudah dan efisien demi menunjang iklim usaha yang kondusif. Koordinasi dengan asosiasi-asosiasi dagang juga dirasa perlu dilakukan pemerintah agar kompetisi usaha di lapangan dapat berjalan dengan sehat. Selain itu, adanya CAFTA yang merupakan ancaman baru namun juga bisa dijadikan sebagai tantangan, harus dipikirkan oleh pemerintah bagaimana kebijakan tepatnya agar para pengusaha dalam negeri tidak hancur. Namun, apapun usaha yang akan dilakukan pemerintah berkaitan dengan kredit usaha sarjana ini tidak akan berhasil dengan maksimal selama tidak ada respon bagi sang obyek program ini, yaitu para mahasiswa. Mahasiswa saat ini harus mampu mengubah mainset hidupnya yang umumnya berorietasi menjadi job seeker menjadi job creator. Mahasiswa harus sadar kalau penguasaha lah yang akan mengendalikan arah bangsa di masa yang akan datang.
Surabaya, 28 Januari 2010
Megantara Vilanda Setywan
Kepala Departemen Kajian Strategis
LDK Jama’ah Shalahuddin UGM