Refleksi Jum’at Edisi III: ”Ukhuwah Islamiyyah”
Oleh Najmi Wahyughifary
(Kajian Strategis JS UGM 1435 H/2015 M)
Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. (QS al-Hujurât [49]: 10).
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa persaudaraan antar kaum Mukmin adalah dalam hal dîn dan kehormatan, bukan dalam nasab. Karena itu, persaudaraan dalam dîn lebih kokoh dibandingkan dengan persaudaraan dalam nasab. Sebab, persaudaraan nasab dapat terputus dengan perbedaan dîn, sedangkan persaudaraan dîn tidak pernah terputus dengan perbedaan nasab.
Lebih jauh, Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslim untuk bersatu. Allah SWT berfirman:
Berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai. Ingatlah kalian akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dulu (masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan kalbu-kalbu kalian sehingga karena nikmat Allah kalian menjadi orang-orang yang bersaudara. (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Ayat ini turun mengenai kaum Anshar yang mengalami sedikit konflik. Konflik itu bermula dari melintasnya seorang Yahudi melewati kerumunan sekelompok kaum Anshar yang merupakan penduduk pribumi kota Madinah. Kaum Anshar yang berasal dari dua suku-Aus dan Khazraj-pada masa Jahiliah pernah saling berperang selama ratusan tahun. Setelah Islam datang, mereka masuk Islam, dan dengan nikmat Allah SWT, mereka bersaudara. Pemandangan yang indah penuh ceria dalam kehidupan Muslim itu menimbulkan iri hati Yahudi tersebut dan mendorong niat jahatnya untuk melakukan tindakan memecah-belah kaum Muslim. Lalu, dengan tangkasnya, Yahudi itu melakukan politik adu-domba dengan mengisahkan kembali peperangan-peperangan mereka pada masa Jahiliah serta menyebut-nyebut kejantanan, keperwiraan, serta kemuliaan masing-masing suku sehingga hati mereka masing-masing menjadi panas, bahkan masing-masing mulai mengambil senjatanya. Kabar tentang krisis itu segera sampai kepada Rasulullah saw. Beliau pun segera datang untuk melerai. Dengan tegas beliau berkata pada mereka (yang artinya, “Apakah kalian hendak membangga-banggakan dan menonjol-nonjolkan semangat Jahiliah padahal aku ada di antara kalian?”
Para sahabat Anshar dari kedua suku itu pun menyesal dan meletakkan senjatanya masing-masing. Demikian asbâb an-nuzûl ayat tersebut.
Seruan (khithâb) ayat ini ditujukan kepada orang-orang Muslim yang Mukmin, bukan kepada orang-orang kafir dzimmi. Dengan berpegang pada kitab yang sama yang merupakan wahyu Allah SWT, baik ungkapan maupun maknanya, kaum Muslim di manapun mereka berada akan dapat bersatu-padu dan berjuang bersama menegakkan agama Allah. Dengan pegangan yang sama, kaum Muslim akan muncul menjadi umat yang sukses dan selamat dunia-akhirat. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw. sebagaimana dituturkan oleh Abdullah r.a., bersabda:
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah tali (habl) Allah yang teguh; cahaya yang menerangi; dan obat penyembuh yang bermanfaat-yang menjadi pelindung (‘ishmah) bagi orang yang berpegang teguh padanya dan menjadi penyelamat orang yang mengikutinya. (HR Ibn Mardawaih).
Imam az-Zamakhsyari, dalam Tafsîr al-Kasysyâf, (I/386), memaknai firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 103 tersebut dengan menyatakan bahwa ayat tersebut bermakna, “Bersatulah kalian dalam permohonan dan kepercayaan kalian kepada Allah dan janganlah kalian berpecah-belah. Bersatulah kalian dalam berpegang teguh pada janji Allah kepada para hamba-Nya, yaitu iman dan taat, serta bersatulah kalian dengan kitab-Nya…”
Tegas sekali, ayat ini memerintahkan kaum Mukmin untuk bersatu atas dasar Islam dan untuk menegakkan Islam dengan hukum syariat sebagai tolok ukurnya; bukan bersatu demi pimpinan kelompok, partai, figur, ataupun fanatisme masing-masing. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah, menegaskan hal ini:
“Sesungguhnya Allah SWT meridhai kalian tiga perkara dan memurkai kalian tiga perkara. Allah meridhai kalian jika kalian (1) menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; (2) berpegang pada tali Allah dan tidak bercerai-berai; (3) sering menasihati orang yang diserahi Allah kekuasaan/wewenang untuk urusan pemerintahan kalian…” (HR Muslim).
Persatuan Bermutu Tinggi
Persatuan dan persaudaraan umat Islam bukanlah persatuan yang asal saja, melainkan persatuan yang kokoh. Allah SWT lewat Rasulullah saw. menjelaskan adanya tiga karakter persaudaraan umat. Pertama, persatuan umat Islam adalah laksana persaudaraan antara sesama saudara kandung. Hal ini tegas dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw.:
Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara (ikhwatun) (QS al-Hujurât [49]: 10).
Seorang Muslim adalah saudara (akhun) bagi Muslim lainnya. (HR Muslim).
Dalam kedua nash tersebut Allah SWT dan Nabi saw. menggunakan kata ikhwatun dan akhun yang maknanya saudara. Realitas menunjukkan betapapun berbeda pendapat, satu saudara dengan saudara kandungnya atau familinya tetap akan saling membantu, menolong, dan saling meringankan beban dalam kebaikan dan ketakwaan.
Kedua, persatuan umat Islam haruslah seperti satu tubuh. Nabi saw. menyatakan:
Kaum Mukmin itu seperti satu tubuh. (HR ath-Thabari).
Tubuh yang dimaksud tentu bukan tubuh yang terbujur mati, melainkan tubuh yang hidup dan berfungsi untuk secara bersama-sama melakukan aktivitas bagi kepentingan tubuh secara keseluruhan. Secara individual, setiap komponen umat berjuang untuk kepentingan umat secara keseluruhan, persis seperti tubuh. Mulut, misalnya, mengunyah makanan bukan sekadar untuk kenikmatan mulut, melainkan untuk kepentingan tubuh secara keseluruhan. Hidung menghirup udara bukanlah untuk kebaikan hidung semata melainkan untuk kebaikan seluruh tubuh. Umat Islam, ketika secara benar menjalin persatuan demikian, akan menjadi umat yang utuh seperti tubuh.
Ketiga, persatuan umat Islam haruslah seperti satu bangunan. Hal ini diberitakan oleh Rasulullah saw.:
Muslim dengan Muslim lainnya laksana bangunan yang saling mengokohkan satu sama lain. (HR al-Bukhari).
Bangunan dapat dijadikan tempat beristirahat, menjalin keharmonisan, bahkan mengobati anggota yang sakit. Selain itu, bangunan dapat melindungi penghuninya dari hujan, terik matahari, bahkan gangguan penjahat. Umat Islam yang bersatu adalah umat yang memerankan fungsi seperti bangunan ini.
Secara praktis, Rasulullah saw. menegaskan bahwa kesatuan umat yang dapat menjalankan ketiga fungsi tersebut adalah persatuan di bawah kepemimpinan kaum Muslim (konsep khilafah; sebagai kerja peradaban). Sebab, kepemimpinan seperti itulah yang benar-benar merupakan benteng bagi mereka.
Pemimpin (imam) itu benteng. (Kaum Muslim) diperangi (saat berada) di belakangnya dan dilindungi olehnya (HR. Muslim).
Jelaslah bahwa Islam merupakan penyatu hakiki kaum Muslim. Untuk itu, setiap Muslim harus segera menanggalkan segala bentuk pemikiran dan ikatan pada hakikatnya bertolak belakang dengan Islam, dan beralih pada ikatan Islam. Dengan demikian, setiap upaya untuk menjadikan sesama Muslim saling berhadapan dalam bentrokan fisik wajib dihindarkan.
Namun, tidak berhenti sampai langkah cepat dan praktis ini saja. Langkah mendasar dan menyeluruh pun perlu segera dan terus dilakukan. Caranya, pertama, kembali pada pemahaman-pemahaman Islam yang memang membuang jauh ego golongan, kesukuan, ataupun isme-isme kegolongan lainnya. Kedua, mengusir bisikan dan tipuan dari kalangan imperialis dan para pengikutnya yang justru melanggengkan umat dalam golongan, kesukuan, dan isme-isme kegolongan lainnya . Ketiga, terus berupaya bersatu untuk menyatukan umat Islam dengan kerja-kerja peradaban yang holistik. Allahu’alam