Oleh Aldy Pradhana (Ketua Umum Jama’ah Shalahuddin 1437 H)
Fisika (bahasa Yunani: φυσικός (fysikós), “alamiah”, dan φύσις (fýsis), “alam”) adalah sains atau ilmu tentang alam dalam makna yang terluas. Fisika mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang dan waktu. Para fisikawan (ahli fisika) mempelajari perilaku dan sifat materi dalam bidang yang sangat beragam, mulai dari partikel submikroskopis yang membentuk segala materi (fisika partikel) hingga perilaku materi alam semesta sebagai satu kesatuan kosmos.1 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami objek material yang dipelajari oleh fisikawan atau umat manusia adalah alam semesta, dari mulai unsur yang sifatnya mikroskopis hingga makroskopis.
Perkembangan ilmu fisika di masa kontemporer, tidak dapat dipisahkan dari sentuhan dan interpretasi ilmuwan-ilmuwan Barat. Bahkan dalam buku-buku fisika yang tersebar luas saat ini, panduan pembelajaran dipercayakan kepada karya-karya ilmuwan fisika Barat. Artinya, proses transmisi ilmu fisika dikemudikan oleh paradigma, tata laku, etos, dan etika khas Barat.
Pertanyaannya, apa yang terjadi saat ini ketika Barat sangat erat dan melekat dengan fisika? Sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan pesat, ilmu fisika terbukti membawa banyak manfaat bagi umat manusia. Konsekuensinya, wajib bagi sebagian kaum muslim untuk menguasai ilmu ini. Hanya cara pandang dan belajar seorang muslim tentunya berbeda dengan yang lain.2 Sebuah antitesis muncul dari pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang mengatakan bahwa peradaban Barat modern membuat eksistensi ilmu menjadi problematis. Sekali pun peradaban Barat modern menghasilkan ilmu yang bermanfaat, tetapi peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan (chaos) dalam kehidupan manusia. Ilmu Barat modern tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, melainkan berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat spekulasi filosofis terkait kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.3 Eksplanasi demikian, perlu diketahui oleh seorang muslim yang menggeluti ilmu fisika. Dapat dikatakan bahwa konstruksi ilmu fisika yang dibawa saat ini berada dalam dimensi Sains Barat atau Sains Modern. Dimensi yang membawa tata nilai peradaban modern, yakni materialisme dan kisah tragis kematian Tuhan.4
Implementasi pemahaman materialistik ialah pada saat mempelajari ilmu fisika, kita sekedar berhenti pada aspek empirik atau ilmiah saja. Maka, cukup sulit ilmu fisika pada masa kontemporer ini mengantarkan seorang pembelajar ke dalam ruang ma’rifatullah atau ruang keimanan dan ruang transformasi aspek-aspek kehidupan diri sehingga mengkontsruksi akhlaqul karimah. Ketercabutan makna dan peran alam sebagai sebuah “ayat” merupakan dampak dari sekularisme. Akibatnya, alam tak lebih dari sekedar objek, tak punya makna, dan tak ada nilai spiritual.5
Lalu, bagaimana Islam menawarkan sebuah solusi atau konstruksi dalam mengilmui fisika yang secara de facto sudah mengalami western-isasi? Bagaimana cara agar kita memahami fisika secara islami? Dua pertanyaan di atas merupakan pertanyaan basic yang membutuhkan jawaban. Islam memiliki pilar ontologis, aksiologis, dan epistemologis yang berbeda dengan Sains Barat. Tiga pilar fundamental tersebut adalah pilar-pilar yang wajib dibangun atas prinsip-prinsip ketuhanan (tauhid) yang terangkum dalam kalimat la ilaha illallah. Pilar ontologis yakni hal yang menjadi subjek ilmu.4 Dalam Islam, realitas material maupun non material perlu diterima oleh manusia. Seperti yang tercantum dalam surat Al-Haqqah (69): 38-39 yang memiliki arti, “Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.
Pilar yang kedua adalah pada tatanan aksiologis. Pilar aksiologis terkait dengan tujuan ilmu pengetahuan itu dibangun atau dirumuskan. Tujuan utama ilmu pengetahuan islam adalah mengenal Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya.4 Firman Allah dalam surat Ali Imran (3) : 191 yang artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”
Kemudian, pilar ketiga adalah epistemologis. Dari pilar ini, timbulah sebuah pertanyaan: dari mana, dengan apa, atau bagaimana mengetahui realitas yang terjadi dalam fisika? Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan dalam buku Filsafat Ilmu perspektif Barat dan Islam, bahwa dapat diketahui dengan tiga sumber, yaitu persepsi indra (Idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).5 Tentunya, ketiga sumber tersebut berpanduan pada kalam illahi (Al-Qur’an) dan sunnah rasul (Al-Hadits).
Tiga pilar di atas akan membangun sebuah konstruksi pandangan atau worldview khas Islam. Konsekuensinya, untuk mempelajari fisika seorang muslim perlu membangun pandangan hidup khas Islam sebagai alat filter untuk melakukan aktivitas screening atau check and recheck terhadap ilmu fisika yang dibawa saat ini. Sebab proses memulai aktivitas keilmuan dimulai dengan benar atau tidaknya cara pandang seorang muslim terhadap ilmu yang bersangkutan.
Maka dari itu, setelah Islamic’s Worldview hadir dalam diri seorang fisikawan, hal-hal yang sifatnya problematis dalam sains Barat ternegasikan dalam dimensi khas Islam. Karena dalam khittah-nya, tidak ada dikotomisasi antara sains alam, atau lebih spesifiknya ilmu fisika, dengan Islam itu sendiri. Alasannya, hakekat ilmu fisika ialah mempelajari ayat-ayat qauniyyah. Ulama sekaligus ilmuwan Islam masa lampau telah menunjukkan objek ilmu tidak hanya hal-hal yang bersifat fisik atau inderawi saja. Bahkan, hal-hal yang bersifat metafisika menurut mereka lebih riil dibandingkan objek fisik. Mereka pun telah menyusun hierarki wujud (martabah al-maujuudat) justru dimulai dari unsur-unsur metafisik menuju unsur fisik.3
Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi, Al-Farabi mengemukakan hierarki wujud sebagai berikut:
- Tuhan merupakan sebab keberadaan wujud yang lain.
- Para malaikat merupakan wujud-wujud yang sama sekali materiil.
- Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial); dan
- Benda-benda bumi (terrestrial).5
Dalam buku “Ayat-Ayat Semesta”, Agus Purwanto menjelaskan bagaimana fenomena fisika dijadikan sebagai bahan tinjauan bahwa tidak terjadi pemisahan antara Islam dan fisika.
Artinya :
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al-Anbiya (21) :104)
Artinya :
“Allah menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali; kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS Al-Rum (30) : 11)
Artinya :
Katakanlah: “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali?” katakanlah: “Allah-lah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali; maka bagaimanakah kamu dipalingkan (kepada menyembah yang selain Allah)?” (QS. Yunus (10) : 34)
Ayat-ayat tersebut telah merefleksikan begitu gamblangnya interkoneksi antara Al-Qur’an dan objek-objek di dalamnya yang salah satunya mengenai alam semesta. Tugas besar kita sebagai seorang fisikawan muslim adalah bagaimana ke depan ekspansi dan sosialisas i “Al-Qur’an sebagai Basis Konstruksi Ilmu Fisika” menjadi isu yang menyegarkan dan mereformasi filsafat fisika, sehingga output yang seharusnya muncul adalah menghadirkan buku-buku teks atau panduan khas fisika yang di dalamnya penuh wahyu dari Al-Qur’anul Kariim.
REFERENSI
- Tulisan Usep Mohamad Ishaq: Belajar Fisika Secara Islami
- Husaini, Adian dkk. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani.
- Purwanto, Agus. 2015. Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan. Bandung: Mizan.
- Handrianto, Budi. Islamisasi Sains Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
- Nurisman. 2000. Pemikiran Metafisika Al-Farabi. DINIKA, 3, 83 – 100
Jaman dulu ada beberapa ulama yang kasih fatwa tidak boleh mempelajari Fisika karena dinilai ada unsur sihirnya, menarik ya 😀