Oleh: Habib Haidar (Kajian Strategis Jama’ah Shalahuddin UGM)
Waktu itu, di sebuah masjid besar di Kota Yogyakarta dipenuhi massa pengajian yang datang dari berbagai daerah. Kenapa mereka hadir? Mereka hadir tidak dengan tangan, hati, dan pikiran kosong, tetapi mereka hadir membawa ghirah (semangat) Quran, pikiran jernih, dan tentu sedang memenuhi panggilan hati untuk menyimak sekelumit nasehat dari Ulamanya. Hadir karena Al-Quran telah dinistakan, katanya. Mereka yang hadir layak disebut telah merasakan nikmat kuntum khoiro ummah, nikmat kamu adalah sebaik-baik umat. Apakah kita tak mau dilabel demikian? Caranya cukup dengan beramar makruf dan nahi munkar, itu saja.
Berbeda dari pengajian biasanya, animo masyarakat tak kunjung reda untuk menggelorakan kembali semangat juang dalam menjaga spirit aksi 212 akhir tahun lalu. Perlu diingat, massa yang berjumlah lebih dari tujuh juta lebih itu adalah bayaran. Pertanyaannya, partai mana yang berhasil mengumpulkan massa sebanyak itu? Ormas Islam mana yang bisa mendanai massa sebanyak itu? Menariknya, para Ulama yang mampu menggerakkan massa sebanyak itu atas izin Allah Azza Wa Jalla. Allah Maha Kaya. Allah lah yang membayar pasukan putih itu.
Selama ini, stigma yang menjangkiti kaum muslim Indonesia adalah perbedaan dan perpecahan. Perbedaan pendapat diantara sekian banyak Ulamanya, perihal penentuan awal bulan, qunut, hukum aksi (demo), kaidah sholat jumat dan furu’ fiqih lainnya. Semua seakan terbantah, ketika gelombang persatuan silih berganti mewarnai spirit kaum muslimin Indonesia dan semua itu dimulai dari cara para Ulamanya bersikap.
Kini, sungguh anggun Ulama bersikap. Soal perbedaan, alih-alih mencari perbedaan, justru Ulama menekankan persamaan akidah dan ukhuwah Islamiah diantara kaum muslimin. Suku, bahasa, usia, dan watak boleh membedakan, tapi akidah tetap sama hingga ajal. Ada kaum muda dan juga kaum sampun sepuh, tapi semua rukun. Ada orang jawa, madura, sumatera serta sumbawa, tapi semua bersaudara.
Alhamdulillah, umat muslim tak sekonyong masa penjajahan dulu yang ditutup hampir di semua lini informasi dan akses pendidikan kepada umat muslim. Kini, umat muslim dan masyarakat umumnya melek akan aturan dan isu yang berkembang. Mereka mencoba melihat secara jernih persoalan yang ada dan berbekal kaca mata Islam, sehingga menghasilkan formula yang cukup gemilang dan tak lepas dari peran Ulamanya.
Ketika para Ulama mulai menyerukan sebuah kebenaran, lantaran agama yang hanif ini seakan diobok-obok oleh oknum di luar agama yang sok-sokan tahu dan paham Islam, maka di saat yang sama masyarakat dapat menerima kebenaran itu dengan bijak. Oknum itu salah dan proses persidangan mulai berjalan di meja hijau.
Tak disangka, orang benar dan memperjuangkan kebenaran selalu punya musuh. Musuh yang tidak gandrung akan nilai-nilai kebenaran. Ulama dikriminalisasi.
Akhir-akhir ini, mencuat kabar fitnah kepada Ulama yang dituduh menistakan butir-butir Pancasila, padahal Ulama sendiri memperjuangkan Pancasila. Ada pula money laundry yang dituduhkan kepada Ulama, padahal tidak berdasar sama sekali karena dana umat adalah kembali lagi kepada umat. Menarik, biarkan proses hukum berjalan.
Tak menguras banyak pikiran, disadari dengan bijak bahwa hal tersebut menjadi ujian tersendiri bagi para Ulama kita yang tentu selalu ada balasan mulia dari Sang Pemilik Makar, Allah Azza Wa Jalla.
Masyarakat Islam Indonesia mulai sadar bahwa mereka sedang menghadapi serangkaian agenda pembodohan, sehingga tak mau dibodohi. Masyarakat Islam sadar bahwa Ulama tak hanya menjadi tempat mengadu keilmuan, namun juga menjadi pemimpin. Masyarakat Islam lebih sadar bahwa yang patut diteladani adalah Ulamanya. Masyarakat Islam semakin sadar akan jati diri Islam yang bangkit dengan bangkitnya dakwah Ulama.
Ulama kini menjadi sosok yang dikagumi. Mereka memiliki integritas komunal yang tak terbantahkan lagi. Hingga kini tak perlu ditanya lagi, bahwa Ulama adalah Ulil Amri.