Oleh: Afif Yati (Biro Khusus Kaderisasi Jama’ah Shalahuddin UGM 2019)
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) merupakan wadah para mahasiswa saleh yang aktif berdakwah dan memperjuangkan kebenaran. Seperti itulah yang dipikirkan oleh masyarakat awam, ketika melihat para akhi-ukhti LDK. Hal tersebut tak jarang menjadi daya tarik seseorang ingin agar dirinya atau anak maupun sanak keponakannya bergabung di LDK. Apalagi sekelas Jama’ah Shalahuddin (JS), LDK yang memiliki peran penting dalam sejarah dakwah kampus hingga membidani lahirnya pergerakan kampus, sangat memukau gelora mahasiswa baru yang masih berbau matahari palapa dan lapangan Pancasila.
Anggota JS: Banyak dan Beraneka Ragam
Ketika open recruitment unit kegiatan mahasiswa diadakan, mahasiswa baru (maba) muslim berbondong-bondong mendaftar ke JS. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pendaftar JS berada di angka 200-300 orang yang sudah pasti diterima semuanya. Jumlah ini bahkan dapat diklaim sebagai angka yang tinggi di antara jumlah pendaftar UKM-UKM se-UGM. Bisa dibayangkan betapa banyaknya jumlah anggota JS yang mencakup setidaknya empat angkatan dalam satu periode.
Banyak anggota, banyak pula polah tingkah yang dapat menguji kemampuan manajerial para pengurus dan para koordinator kepanitiaan. Ada yang sangat inisiatif, ada juga yang manut saja. Ada yang sangat ekspresif, ada juga yang serba tak nyaman hatinya. Ada yang hanya pintar bicara, ada juga yang diam-diam banyak kerja. Bahkan ada yang hobi bersih-bersih, dan sebaliknya, ada pula penebar kotoran yang cuek bebek bak anak raja. Masih banyak lagi polah tingkah mereka yang bisa bikin senyum-senyum ataupun mengelus dada.
Jenis-Jenis Anggota JS
Pernah ada keluhan dari seorang anggota JS yang sudah aktif selama tiga tahun. Pertama, ia memprotes kecenderungan JS yang dinilai terlalu fokus upgrade sebagian kecil anggota sehingga calon ketua JS, kepala departemen, dan para koordinator mudah sekali untuk ditebak. Kedua, ia merasa dirinya hanya begitu-begitu saja padahal sudah tiga tahun di JS. Ketiga, ia menyesalkan JS yang tidak bisa optimal dalam penjagaan dan pengkaryaan anggota. Lantas, apakah semua itu salah JS? Kalau bukan, lalu siapa? Sebelum menjawabnya, mari simak cerita beberapa jenis anggota JS berikut ini.
Pertama adalah anggota perekat forum keluarga, biasanya, ia berperan sebagai “tim hore” forum keluarga atau sekre. Mereka cenderung menyukai hal yang menyenangkan, tidak banyak aturan, dan tidak menguras pikiran. Mereka juga biasanya lebih paham hal-hal yang bersifat emosional seperti membangun keakraban satu sama lain serta bagus empatinya. Kemunculan mereka di grup WA sangat membantu kadep untuk memanggil anak-anaknya.
Bertolak belakang dari jenis pertama, jenis kedua adalah anggota “ilang-ilangan”. Anggota jenis ini biasanya tidak terlihat geliat “ilang-ilangan”-nya di kesan awal. Namun, di hari-hari berikutnya kemunculannya bak puasa daud, sekali ada sekali tidak, sehingga membuat orang-orang bingung memahami kehadirannya. Apalagi kadep yang bingung harus menganggapnya “anak” atau tidak. Butuh usaha yang cukup besar untuk memunculkan mereka kembali. Jika tidak berusaha memunculkan, mereka hilang bak tenggelam di lautan dalam.
Terakhir adalah anggota terniat. Anggota terniat ini biasanya ditunjukkan dari komitmen kontribusinya, entah di kepanitiaan JS atau di departemen, maupun di keduanya. Mereka tidak selalu orang yang paling baik, melainkan orang yang paling istiqomah. Misalnya ketika Training Kepemimpinan (TK) JS, anggota jenis ini biasanya selalu mengonfirmasi kehadirannya. Meskipun TK JS (baik kegiatan, tugas, maupun penilaiannya) relatif berat, mereka tetap melaluinya. Dalam kepanitiaan, mereka tidak selalu yang paling cemerlang idenya, tapi sekurang-kurangnya mereka amanah dan mudah dipahami oleh koornya. Dalam departemen, sekurang-kurangnya mereka selalu konfirmasi kehadiran rapat, menjawab salam kadep di grup, atau meramaikan rihlah.
Ketiga kategori tersebut bisa dikatakan mewakili karakteristik jenis-jenis anggota JS kebanyakan. Masih ada jenis-jenis lain yang tak perlu dijabarkan di sini karena jumlahnya yang sedikit atau bahkan masih sebatas isu, belum terbukti secara empiris. Nah, jika diminta memilih untuk diajak kerjasama, pastinya Anda akan memilih jenis terakhir, bukan? Tapi sayangnya, Anda akan menjumpai kegalauan seandainya Anda berada di posisi Biro Khusus Kaderisasi (BKK), kepala departemen, atau koordinator divisi.
Tentang Niat
Kembali ke permasalahan anggota yang protes tadi. Ada beberapa hal yang perlu kita sadari. Pertama, faktanya JS merupakan organisasi yang bersifat progresif. Hal ini terlihat dari banyaknya produk hukum JS yang rutin dibahas setiap tahun demi terwujudnya JS yang “berkemajuan” baik di level organisasi maupun di level anggota. Silakan Anda membaca Rencana Strategis (Renstra) dan Konsep Sistem Kaderisasi (KSK) JS yang terbaru untuk melihat betapa riweh-nya proses untuk menuju ke sana. Kedua, kita juga sudah menyadari keberagaman tingkah dan jenis anggota seperti dijabarkan di atas. Tak dapat dipungkiri bahwa kualitas tiap orang dan tiap periode kepengurusan pun akan berbeda. Ketiga, orang yang paling bertanggung jawab atas perbaikan diri seseorang adalah dirinya sendiri, maka sistem kaderisasi di JS saja tidaklah cukup. Agar tidak pusing-pusing menjawab pertanyaan anggota tadi, mari kita mulai dengan membahas niat.
Masuk JS, apa yang Anda cari? Anda cukup menjawab di benak masing-masing. Akan tetapi, perkara niat bukanlah perkara sederhana. Niat akan menentukan akhir dari amal kita. Niat pula turut menentukan hilir dari setiap proses kita.
Jika niat Anda untuk belajar, maka seperti kata orang-orang, “Jadilah ibarat gelas yang kosong dan air ibarat ilmu. Gelas yang kosong ketika diisi air maka akan berisi”. Artinya seseorang yang sedang belajar semestinya merendahkan diri dulu. Posisikan diri sebagai orang haus, serba ingin belajar. Sebaliknya, jika sok tahu atau memamerkan kepandaian tanpa alasan yang benar maka seperti gelas yang berisi, diisi air akan tumpah.
Atau barangkali anda hanya berniat untuk mencari pasangan yang salih Jika niat Anda adalah untuk mencari pasangan yang salih/salihah, sebaiknya tata ulang niat Anda agar benar-benar lurus. Perkara jodoh tidak seinstan itu, lur!
Atau niat Anda adalah untuk memunculkan pengaruh golongan Anda agar menjadi warna dominan di JS, sebaiknya Anda lupakan itu. Lezatnya hidup dalam keberagaman adalah nikmat yang sulit ditemukan di zaman serba fanatik ini. JS dibuat dengan tujuan mulia untuk menjadi wadah bersama berbagai golongan. Jika Anda berhasil merubahnya menjadi warna golongan Anda, sadarlah, ‘yang kamu lakukan itu jahat!’.
Ada sebuah cerita tentang niat untuk belajar. Cerita ini disampaikan oleh seorang anggota JS yang juga merupakan penerima Beasiswa Aktivis Salman. Ia menceritakan bahwa mahasiswa ITB yang baru saja diterima di Asrama Masjid Salman akan diajarkan soal pelayanan jama’ah. Mahasiswa itu diwajibkan membuat minuman setiap hari dengan dua menu yaitu teh dan kopi. Mereka juga wajib menyiapkan gelas serta mencucinya tanpa protes sedikitpun. Selain itu mereka wajib tersenyum saat bertemu jama’ah apalagi saat memberikan bingkisan. Harus senyum, tak boleh banyak mempertanyakan alasannya.
Cerita itu terdengar sederhana bukan? Akan tetapi, pelajaran besarnya adalah mereka diajarkan untuk beramal dengan ketulusan yang sangat dalam. Mereka diajarkan berkorban perasaan demi pelayanan. Dari pengorbanan mereka itu insyaallah jama’ah akan merasakan kehangatan dan kenyamanan selama di Masjid Salman. Hati masyarakat semakin terpaut dengan masjid. Jika mereka telah terbiasa, kelak mereka tidak mudah mengeluh ketika memperjuangkan kebutuhan umat dalam skala yang lebih besar. Bukankah ibadah yang paling sulit adalah ibadah hati?
Rekonstruksi Niat
Ada cerita dari seorang anggota putri. Dia merupakan anggota yang performanya bagus, baik di departemen maupun di kepanitiaan JS, padahal ia baru berdinamika sekitar satu tahun. Hal ini membuat namanya selalu berada di daftar teratas calon penerima amanah ini dan itu. Sampai pada suatu ketika, seseorang menawarinya sebuah amanah yang sama seperti yang ia ampu sebelumnya. Mungkin karena orang yang menawari ini sangat menginginkan dirinya untuk mengampu amanah itu, sehingga meskipun dia menolak, orang tersebut terus melobi sampai konon katanya terkesan memaksa. Hingga akhirnya lama kelamaan ia menerima amanah itu.
Beberapa lama kemudian, ia menjalani amanah tersebut dengan adem ayem karena memang ia bukan orang yang berisik atau banyak mengeluh. Sampai suatu ketika, ia mengeluarkan keluhan-keluhan dan sindirannya, sesuatu yang tidak diduga-duga hingga mengagetkan banyak orang. Di satu sisi mungkin dia “korban eksploitasi” atau juga korban “PHP” dari orang-orang yang mudah menjanjikan bantuan. Tapi di sisi lain dia juga terkesan kurang membaca atau memprediksi keadaan. Sebab, sebelum menerima amanah itu seharusnya ia sudah tahu akan seperti apa, kemampuannya seperti apa, dan bisa saja ia tegas menolaknya. Kemungkinan lain yang paling umum dijumpai adalah adanya anggapan “tidak enak menolak amanah”, “amanah tak akan salah pundak”, “insyaallah bisa”, dan sugesti-sugesti lainnya.
Fenomena anggota tidak pandai membaca situasi, tidak mampu memprediksi keadaan, bahkan “tawakkal” tanpa upaya persiapan itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, tidak hanya pada seorang dua orang. Hal ini pernah juga terjadi di suatu angkatan JS yang akan memasuki TK 3 JS (jika kalian tidak tahu, bayangan akan betapa riweh-nya TK JS bisa dilihat di KSK JS). Saat itu, selain mengikuti TK JS, mereka juga disyaratkan harus mengikuti kepanitiaan di JS yang cukup menguras perhatian. Alhasil kedua kesibukan itu berbentrokan sampai memukul mundur satu persatu pejuang TK 3 tersebut. Di satu sisi mereka berhak marah pada otoritas yang membuat aturan tak berperasaan itu (dalam hal ini maaf, BKK). Di sisi lain, bukankah ruang kritik masih terbuka luas? Mereka bisa saja kompak menolak aturan itu. Kalau tidak, mereka juga bisa akal-akalan cari cara (soal bagaimana akal-akalan ini tak perlulah disebutkan secara rinci).
Hal yang disesalkan adalah bukan hanya soal mundurnya para pejuang itu, tapi momen mundurnya yang sangatl buruk. Banyak dari mereka yang mundur di detik-detik terakhir, yaitu kurang dari 24 jam sebelum penilaian terakhir. Padahal mereka sudah menerima semua materinya, sudah mengerjakan 70-90% dari tugas yang diberikan, tapi mereka memilih untuk mundur dengan kondisi emosi yang meluap, dan tak bisa diajak bernegoisasi. Beberapa dari mereka tampak menunjukkan kelelahannya dan kekesalannya pada pilihannya sehingga merembet pada kegiatan mereka yang lain.
Dari cerita-cerita itu ada satu hal yang harus direkonstruksi, yaitu niat. Bagian yang harus direkonstruksi adalah bagaimana agar niat dapat menjadi semangat dan dapat menjadi pertimbangan melangkah ke depan. Maka, niat itu tidak terhenti di lillahi ta’ala, tapi juga mencakup dengan apa akan mencapai ridha Allah, dan akan seperti apa usaha-usaha yang dilakukan dalam prosesnya sehingga bisa mempersiapkan diri. Memang, manusia berencana, Allah yang menentukan kedepannya. Tetapi bukankah berencana adalah bentuk ikhtiar kita juga? Kalaupun tak sesuai kenyataan, setidaknya kita sudah berusaha.
Pertama, niat harus lillahi ta’ala. Harus untuk mencari ridha Allah, bukan yang lain. Karena jika poin ini kita terlewat, maka rentan terjerumus pada syirik kecil atau setidaknya amal kita akan sia-sia. Na’udzubillahi min dzaalik.
Kedua, niat harus dibumbui dengan tujuan. Tujuan itu setidaknya dengan melakukan apa ridha Allah itu dicapai, dengan menjadi apa ridha Allah itu dicapai. Niat juga terkesan seperti doa. Meminjam kalimat Ustadz Salim A. Fillah kira-kira seperti ini, “Doa atas keinginan yang didalamnya ada kebaikan insyaallah akan diijabah Allah.”
Dari niat menyambung ke tujuan. Dari tujuan turun menjadi langkah-langkah strategis. Dari langkah-langkah strategis turun ke penyusunan prioritas. Dari prioritas akan turun ke manajemen waktu. Ketika manajemen waktu ini sudah beres, maka sibuknya seseorang akan menjadi sibuk yang produktif.
Perkara prioritas, tentukan sendiri sesuai versi Anda. Jangan terpengaruh orang lain. Apalagi terpengaruh kalimat, “Apa itu kuliah? Kuliah itu ya di JS.” Halah, sadarlah! Anda sedang ditipu! Kalau JS lebih utama dari kuliah, itu dzalim namanya! Seharusnya, “Kuliah OK, JS OK”. Meminjam kalimat JMMB, “Muslim Cerdas, Saintis Hebat.”
Jika Anda sudah berkomitmen dengan prioritas Anda, orang-orang sekitar juga akan mudah memahami Anda. Jika sudah ada komitmen dengan prioritas maka tidak akan ada keraguan untuk menentukan pilihan dan bagaimana pun jadinya tidak akan kecewa di hari kemudian.
What you want to be?
Anggota JS sebaiknya merencanakan ia ingin menjadi apa atau menjadi siapa agar ia sendiri mengerti apa-apa yang ia butuhkan untuk pengembangan dirinya. Ingat, tidak ada yang sempurna, termasuk JS. JS tidak mungkin membentuk semua anggotanya dengan sukses. Akan tetapi, betapa indahnya jika kita belajar dari berbagai penjuru dunia, dari berbagai majelis ilmu, dari berbagai pengalaman kehidupan, lalu kita saling menyempurnakannya di JS.
Jika Anda ingin menjadi Event Organizer (EO) yang andal, maka pelajarilah desain kegiatan. Belajarlah dari para EO yang andal. Sekurang-kurangnya Anda bisa mengamati kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Lalu datangi mereka dan belajarlah. Tak lupa, mulailah membangun relasi yang luas.
Jika Anda ingin menjadi pemangku kebijakan, pelajarilah organisasi Anda, pelajari juga organisasi-organisasi lain apalagi yang jauh lebih baik dari organisasi Anda. Mulailah melatih logika organisasi, menjiwai visi dan misi, melatih diri untuk berinisiatif, berkreasi, mengambil keputusan yang tepat dalam waktu singkat, dan berlatih kritis membaca keadaan.
Jika Anda ingin berperan dalam dakwah secara teknis, tentukan kira-kira di mana peran Anda. Tak lupa peran itu disesuaikan dengan minat, bakat, dan kemampuan Anda. Lalu kembangkanlah.
Jika semua telah Anda rancang dan tidak sesuai dengan kenyataan, tetap tenang. Hal-hal baik yang sudah Anda kuasai tadi tidak akan sia-sia. Sekurang-kurangnya niat baik sudah tercatat di sisi Allah ta’ala. Jika bukan sekarang, suatu hari nanti ilmu-ilmu itu akan berguna. Jika bukan di tempat Anda saat ini, mungkin di tempat Anda selanjutnya. Tidak ada kebaikan yang sia-sia.