Oleh:
- Pandega Abyan Zumarsyah
- Syahdan Haris Abdillah
Ada Apa dengan Lebanon?
Pada hari Selasa, 4 Agustus lalu, sebuah ledakan besar terjadi di Beirut, Lebanon. Ledakan itu disebabkan oleh 2.750 ton amonium nitrat yang tersimpan di Pelabuhan Beirut. Akibat ledakan itu, lebih dari 200 orang meninggal, 5.000 orang terluka, dan terdapat 300.000 orang yang kehilangan tempat tinggal. [1]
Insiden ledakkan juga menghasilkan gelombang kejut yang menjalar ke seluruh kota Beirut, cukup kuat untuk menimbulkan kerusakkan yang serius terhadap bangunan kota dan pemukiman warga yang ada di sekitarnya. Ledakan tersebut terdeteksi oleh Badan Survei Geologi Amerika Serikat (United States Geological Survey) sebagai peristiwa seismik mirip gempa berkekuatan 3,3 Magnitudo[2], yang juga dianggap sebagai salah satu ledakan non-nuklir terkuat dalam sejarah.[3] Disebutkan kerugian akibat insiden ledakkan diestimasi mencapai kisaran angka 10 – 15 miliar dollar (sekitar 146–219 triliun rupiah).[4]
Bagaimana respons Dunia terhadap Insiden Ini?
Tidak lama setelah ledakan itu, berbagai pernyataan belasungkawa bermunculan dari para pemimpin negara. Mulai dari negara-negara tetangga seperti Arab Saudi, Iran, Qatar, Turki, bahkan Israel; sampai negara-negara Barat seperti Perancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat. PBB juga turut memberikan pernyataan serupa. Negara kita juga memberikan pernyataan belasungkawa di antaranya melalui Bapak Presiden, Ibu Menteri Luar Negeri, dan Duta Besar RI untuk Lebanon. [5] [6]
Tidak lama kemudian, berbagai macam bantuan langsung berdatangan. Inggris mengirimkan bantuan senilai 6,6 juta dolar beserta tim medis. Perancis mengirimkan 6 ton peralatan kesehatan dan beberapa dokter. Jerman dan Hungaria mengirimkan bantuan senilai 1 juta euro. Italia mengirimkan 8 ton peralatan kesehatan dan para ahli. Amerika Serikat mengirimkan bantuan senilai 17 juta dolar. Masih banyak bantuan dari berbagai negara lain. Ada pula bantuan dari lembaga internasional seperti PBB dan Uni Eropa.[7]
Negeri-negeri muslim juga banyak memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan medis. Iran mengirimkan bantuan sebanyak 9 ton. Uni Emirat Arab mengirimkan 30 ton bantuan sementara Arab Saudi mengirimkan 120 ton. Mesir dan Tunisia masing-masing mengirimkan dua pesawat yang berisi bantuan sementara Qatar mengirimkan empat pesawat. [7] [8]
Dengan melihat semua itu, kita bisa merasakan persaudaraan, baik antar sesama keturunan Nabi Adam alaihissalam maupun antar sesama pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tindakan saling membantu seperti ini selalu menjadi sisi lain yang begitu indah dari sebuah bencana. Namun, keadaannya tidak selalu seperti ini. Hubungan Lebanon dengan negara-negara tetangga tidak selalu seindah ini. Untuk bisa memahaminya, kita perlu melihat kondisi internal negara ini.
Bagaimana Kondisi Internal Lebanon?
Sejak berakhirnya perang saudara di Lebanon pada 1990, pengeluaran negara tidak terkontrol dengan baik. Banyaknya korupsi yang terjadi di kalangan pemerintah makin memperburuk keadaan. Dengan semua itu, wajar jika Lebanon mengalami krisis dalam beberapa waktu terakhir. [9]
Insiden ledakan besar yang baru saja terjadi juga memperburuk kondisi internal Lebanon. Meski begitu, sudah menjadi perihal lazim bagi warga Lebanon pada umumnya, bahwa insiden hanyalah wujud dari serangkaian krisis berkepanjangan yang sudah terjadi. [10]
Amonium nitrat sebanyak 2.750 ton yang setara dengan sebelumnya disita oleh pemerintah dari kapal MV Rhosus. [11] Namun, Amonium nitrat dalam jumlah besar tersebut kemudian hanya terbengkalai dan disimpan di pelabuhan Beirut tanpa disertai manajemen pengamanan yang tepat selama enam tahun terakhir. Keteledoran ini menjadi indikasi bahwa negara gagal dalam menjalankan salah satu fungsinya yang paling mendasar sebagai pelindung warga negara dari segala potensi bahaya yang ada. [12]
Bagaimana Hubungan Lebanon dengan Negara Arab Lainnya?
Meski pemerintahan Lebanon sudah kacau selama bertahun-tahun, negara-negara tetangga tetap banyak membantu. Selama puluhan tahun, tetangga yang kaya raya itu senantiasa memberikan bantuan pada Lebanon. Dengan bantuan itu, meski tidak mudah, setidaknya Lebanon masih bisa bertahan. [9]
Namun, perubahan kondisi internal Lebanon memberikan perubahan drastis. Naiknya Hassan Diab sebagai perdana menteri membuat pemerintahan Lebanon makin dipengaruhi oleh pemahaman Syiah. Itu karena Hassan Diab didukung kuat oleh Hizbullah yang berpemahaman Syiah. Di Timur Tengah, terdapat semacam “perang dingin” antara pemahaman Syiah dan Sunni, pertentangan antara Arab Saudi beserta negara yang lain melawan Iran. Ketika Lebanon makin dipengaruhi oleh pemahaman Syiah, negara-negara Arab yang berpemahaman Sunni pun mulai menarik diri. Mereka mulai menghentikan pemberian bantuan pada Lebanon. [9]
Berkaitan dengan hal ini, seorang Menteri dari Uni Emirat Arab sampai menyatakan, “Jika kalian(Lebanon) membakar jembatan kalian, akan sangat sulit bagi Lebanon untuk mendapatkan bantuan-bantuan yang dibutuhkan”. Beliau juga menyebutkan bahwa Lebanon sendiri lah yang memperburuk hubungan dengan negara-negara tetangganya. [13]
Seorang kolumnis dari Arab Saudi juga menyebutkan, “Mengapa sekarang dunia internasional meminta negara-negara Teluk untuk membantu Lebanon tanpa meminta hal yang sama pada Iran yang mengantarkan Lebanon pada situasi ini”. [9]
Pada dasarnya, negara-negara tetangga tidak mau disalahkan atas berhentinya bantuan mereka kepada Lebanon. Kita pun tidak bisa langsung menyalahkan negara-negara kaya itu. Masalah Syiah dan Sunni memang bukan permasalahan yang sederhana. Yang jelas, meski pada insiden Beirut ini negara tetangga banyak membantu, hubungan Lebanon dengan negara tetangga tersebut tidak bisa disebut baik-baik saja.
Bagaimana Kondisi Internal Lebanon Pasca-Ledakan?
Setelah berlangsung demonstrasi anti-pemerintah yang di dalamnya juga menuntut reformasi besar-besaran dalam pemerintahan, pada Senin, 10 Agustus 2020, sebagai langkah pertanggungjawaban atas insiden yang terjadi, Perdana Menteri Hassan Diab mengumumkan secara resmi pengunduran pemerintahannya. Perdana Menteri Hassan Diab menyebut tindakan ini sebagai usahanya dalam berjuang bersama rakyat guna mewujudkan perubahan yang nyata. [10] [14]
“Hari ini kami mengikuti keinginan masyarakat atas tuntutan mereka untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas bencana yang telah bersembunyi selama tujuh tahun, dan keinginan mereka untuk perubahan nyata,” kata Diab, dilansir dari Reuters, 11 Agustus 2020.
“Dalam menghadapi kenyataan ini … Saya hari ini mengumumkan pengunduran diri pemerintah ini,” sambungnya.
Pada hari Senin, pengunduran pemerintahan Hassan Diab diterima oleh presiden Lebanon, Michael Aoun. Presiden Michael Aoun meminta kabinet Hassan Diab untuk tetap melaksanakan tugasnya dalam pemerintahan sampai kabinet baru terbentuk.
Melihat kondisi ini, sesungguhnya momen pengunduran diri pemerintahan Hassan Diab dapat dimanfaatkan guna memperbaiki hubungan Lebanon dengan negara-negara Arab. Telah disebutkan sebelumnya bahwasanya kondisi pemerintahan Hassan Diab yang didominasi oleh Hizbullah berpaham Syiah, cenderung memicu negara-negara Arab untuk urung diri dalam membangun hubungan baik dengan Lebanon. Oleh karena itu, sebuah konsekuensi yang cukup logis, apabila dalam pembentukan kabinet pemerintahan Lebanon yang baru, dapat sekaligus dimasukkan pertimbangan-pertimbangan yang diharapkan mampu memperbaiki ‘jembatan penghubung’ Lebanon dengan negara-negara Arab. Keadaannya memang tidak mudah, namun kita masih bisa berharap agar segalanya menjadi lebih baik. [9] [13]
Referensi
[1]https://www.nature.com/articles/d41586-020-02361-x
[8]https://www.aa.com.tr/en/middle-east/arab-countries-send-medical-humanitarian-aid-to-beirut/1934221
[9]https://www.the961.com/arab-gulf-no-support-lebanons-new-government/
[13]https://gulfnews.com/world/mena/gargash-lebanon-burned-its-bridges-with-the-gulf-states-1.72268583