Tema | : Mental Health |
Subtema | : Falsafah Hidup Wang Sinawang – Diskursus Cara Pandang |
Pembicara | : Nurul Hidayati, S.Psi. |
Hari, tanggal | : Ahad, 27 September 2020 |
Waktu | : 09.00 – 10.35 |
Tempat | : Google Meet |
Sesi Materi
Ketika melihat beberapa orang di sekeliling kita dengan jalan hidup dan pencapaian masing-masing (Misal karier bagus, punya suami mapan, selalu tertolak di PTN, dll), sebenarnya kita tidak bisa menilai siapa yang paling bahagia. Hal itu karena hal-hal yang kita ketahui tidak menggambarakn kehidupan mereka secara utuh dan kita tidak tahu bagaimana masing-masing dari mereka memaknai kehidupan. Salah satu pepatah Jawa yang cukup familiar, “Sejatine urip kuwi mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang” yang menurut Wikipedia artinya adalah “Hidup itu hanya tentang memandang dan dipandang, jadi jangan hanya memandang dari apa yang terlihat”. Secara kontekstual, sawang sinawang merupakan istilah yang digunakan saat membanding diri sendiri dengan orang lain, melihat dan menganggap kehidupan orang lain lebih baik dibanding kita. Padahal, setiap orang memiliki perbedaan masing-masing, baik dari latar belakang, lingkungan, keluarga, dll.
Membandingkan diri dengan orang lain akan menjadi masalah saat porsinya berlebihan, karena bisa menjadi distorsi kognitif (Pola pikir yang kurang tepat). Beberapa distorsi yang bisa muncul akibat membandingkan diri dengan orang lain, yaitu:
- Mental filtering: kecenderungan untuk mengabaikan hal positif dan malah berfokus pada hal negatif.
- Overgeneralization: menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan 1 atau sedikit fakta yang terlihat.
- Mind reading: menduga-duga atau berprasangka terhadap pikiran orang lain tanpa bukti yang kuat
- “Should” statement: Memaksakan diri “harus” menjadi seperti orang lain
Beberapa gejala psikologis terkait distorsi kognitif sebenarnya bukan masalah selama tidak menimbulkan overthinking. Hal tersebut menjadi berbahaya ketika tidak dapat dikontrol dan dikelola dengan baik hingga akhirnya mengganggu kesehatan mental. Sebab, gangguan mental, baik yang ringan maupun berat bisa dipicu dengan pemikiran-pemikiran seperti tadi. Terdapat beberapa cara untuk meluruskan distorsi kognitif, antara lain:
- Berusaha melihat segala sesuatu secara menyeluruh, bahwa setiap individu disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sehingga kita bisa bijaksana dalam menilai orang lain dari berbagai sisi.
- Mengubah cara pandang kita terkait kesuksesan, karena sukses bukan tentang kita bisa melampaui orang lain, tetapi tentang kita menjadi lebih baik dari diri kita sebelumnya.
- Mengubah cara kita dalam memaknai suatu hal. Sebab, tidak segala hal yang terlihat buruk harus dimaknai secara negatif, cobalah melihat celah positif dari hal tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mukmin sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (HR. Muslim No. 7692)
Tanya Jawab
1. Jika kita berada di lingkungan keluarga (orang tua) yang sering membanding-bandingkan, bagaimana cara kita agar tidak merasa rendah diri/insecure?
Jawaban: Pada usia awal dewasa, bisa berusaha untuk mengkomunikasikan hal itu dengan baik kepada orang tua. Menyampaikan dan menjelaskan bahwa kita merasa insecure/sakit hati ketika dibandingkan, padahal diri kita punya pencapaian sendiri. Karena bisa jadi orang tua tidak sadar jika selama ini perlakuan yang diberikan kepada si anak membuat mentalnya terganggu.
2. Bagaimana cara menghindari bias, dimana kita membuat standar bahagia atau standar sukses berdasarkan ego pribadi (pembenaran terhadap diri sendiri)?
Jawaban: Coba tanyakan kembali pada hati kecil kita, mungkin memang standar sukses yang kita buat hanya mengikuti kemauan diri yang tidak mau berusaha. Evaluasi diri menjadi penting bagi kita, jika standar kesuksesan tersebut membuat diri lebih baik, selama tidak bermaksiat dan menyekutukan Allah, maka itu sudah benar jika sebaliknya maka harus diluruskan lagi.
3. Bagaimana cara menjaga diri biar tidak menjadi ‘toxic’ buat orang lain? Mungkin kita bisa menjaga diri dari distorsi kognitif yang dipicu oleh perilaku orang lain, tetapi bagaimana caranya agar kita tidak menjadi penyebab distorsi kognitif yang dialami orang lain?
Jawaban: Sebelumnya, jangan mudah melabeli sesuatu atau seseorang dengan ‘toxic’ hanya karena tidak sepakat dengan hal itu. Jika apa yang disampaikan sebuah kebenaran, maka tundukkanlah nafsu kita untuk menerimanya walaupun banyak pertentangan. Karena kita sendiri bisa dianggap ‘toxic’ saat menyampaikan kebaikan. Olehnya itu, banyak yang bisa dilakukan untuk menjaga perasaan orang lain ketika mendakwahkan kebaikan, yaitu menjaga lisan alias berhati-hati dalam pemilihan kata, jangan sampai merendahkan orang lain, dan perlakukanlah orang lain sesuai karakter masing-masing, paling tidak perlakukan mereka sebagaimana kita ingin diperlakukan.
4. Apakah boleh pujian orang lain menjadi semangat bagi diri kita? Misalnya, saya menulis lalu dipuji orang lain “sangat menginspirasi” sehingga saya lebih semangat menulis dan berpikir ternyata ada yang suka dengan apa yang saya kerjakan. Memang kita tidak mengejar pujian orang lain, tetapi saya takut jika jatuhnya riya’.
Jawaban: Sebenarnya, untuk di awal ketika masih berusaha mengerjakan sesuatu, hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun, semakin berjalan waktu, sebaiknya latihlah diri untuk mengerjakan sesuatu atas dasar yang kuat. Dengan artian, tidak berfokus pada faktor eksternal sebagai motivator, misalnya apresiasi, pujian, dll karena khawatirnya kita malah bergantung pada dukungan orang lain dan menjadi berhenti berbuat kebaikan saat tidak memperoleh hal tersebut. Olehnya itu, jadikan Allah dan faktor internal lainnya sebagai motivasi kita dalam berbuat kebaikan. Jangan mengikuti standar kesukaan orang lain, sebagaimana hal yang sering terjadi saat ini, yaitu menjadikan like & follower ig sebagai patokan apa yang akan harus kita lakukan.
5. Apakah ada tips bermedsos yang sehat untuk kesehatan mental? Karena saat ini bertebaran standar kebahagiaan dan kesuksesan dari orang-orang? Juga sebaliknya, apakah boleh kita posting sesuatu dengan alasan share happiness?
Jawaban: Kita tidak dapat mengontrol perilaku orang lain, yang bisa kita lakukan adalah mengontrol respon kita terhadap perilaku tersebut. Jika postingan mereka mengganggu kesehatan mental kita dan membuat kita tidak bahagia, silahkan untuk di-unfoll atau di-mute postingannya. Dalam bermedia sosial, tidak masalah sebenarnya jika kita share kebahagiaan karena tidak boleh juga mengumbar keburukan/aib. Tetapi, berhati-hati dalam memposting sesuatu dan perhatikan maslahat mudhorotnya terhadap diri sendiri maupun orang lain. Ingat: berkata yang baik atau diam, posting yang baik atau tidak usah.
6. Apa yang harus dilakukan saat teman sering meminta pendapat kita dan dia menjadi positif, sedangkan diri kita malah menjadi negative thinking?
Jawaban: Hal tersebut terjadi karena kita masih terbawa emosi dari teman yang kita beri nasihat dan belum memiliki partisi untuk memisahkan permasalahan diri dan orang lain. Sehingga kita bisa menanggapi masalah dengan adil secara objektif tanpa terbawa emosi, bukan subjektif. Jika ada sesuatu yang tidak relevan dengan kehidupan kita, jangan memikirkan terlalu dalam karena bisa mengarah ke overthinking dan mengganggu kesehatan mental kita.