Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, pada zaman Renaisans, abad ke 14-16, ilmu terpisah dengan agama karena agama pada masa itu dianggap terlalu intervensi terhadap ilmu pengetahuan. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, Dr. Rizal Mustansyir, M. Hum. dalam ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H, Senin (11/3) di Masjid Kampus UGM.
Dr. Rizal mengutip qur’an surah fāṭir ayat 28 “…Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah orang-orang berilmu, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Beberapa mufassir (orang yang melakukan tafsir), seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kata ilmu (ulama) menunjukkan setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang ‘alim atau berilmu. Selanjutnya, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah adalah para ulama yang betul-betul paham tentang hakikat Allah. “Ketika pengetahuan kepada Allah sudah sempurna, maka konsekuensinya perasaan takut kepada Allah semakin besar”, jelas Dr. Rizal.
Mufassir yang ketiga, yakni Hasan al-Bashri mengatakan bahwa yang dimaksudkan orang alim yang takut kepada Allah adalah mereka yang menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menjauhi apapun yang mendatangkan kemurkaan Allah.
Ada empat ciri-ciri positivisme: pertama, mereka yang meyakini paham ini menolak dalil teologis atau dalil-dalil yang terkait dengan agama, terutama tentang keberadaan Tuhan, surga-neraka, kematian, dsb. Karena mereka menganggap tidak memberikan efek apapun kepada ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan. “Bagi mereka ilmu ya ilmu, tidak harus dicampur-baurkan dengan agama, dsb.” ujar Dr. Rizal. Kedua, mereka meletakkan basis dasar keilmuannya didasarkan pada data (empiris). Ketiga, naturalisme, yakni realitas alam yang tunduk pada hukum alam yang sifatnya konstan. Ciri yang keempat, mereka hanya mengakui metodologi tunggal dalam mencapai kebenaran.
Beliau menyebutkan lima dampak positif dari positivisme: pertama, kemajuan pesat saintek dalam kehidupan manusia. Kedua, gerak linear kemajuan saintek terus berkembang seakan-akan tidak ada titik berhentinya. Ketiga, berbagai temuan dan inovasi ilmuwan melahirkan semangat optimistik dikalangan masyarakat. Keempat, munculnya berbagai teknologi yang membantu kerja manusia, misalnya robot. Kelima, adanya Artificial Intelligence yang kini sudah mengambil peran fungsi manusia hampir disetiap seni kehidupan manusia.
Selanjutnya beliau juga membahas mengenai tiga dampak negatif dari positivisme: pertama, manusia mulai kehilangan jati diri ketika perannya diambil alih oleh robot atau Artificial Intelligence. Kedua, tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan saintek sehingga menghasilkan positivisme, terutama yang termarjinalkan pada kemajuan iptek. Ketiga, semangat sekularisme yang terbelah menjadi dua kutub, antara sains dengan agama seolah-olah menjadi dikotomi yang tidak bisa dipadukan.
Dr. Rizal pada akhir ceramahnya menyampaikan bahwa melahirkan kasih sayang atau manifestasi Ar-Rahman diperlukan untuk semangat berbagi empati, tolong menolong. Selanjutnya, yang lebih penting dalam kehidupan ini adalah menjaga semangat keseimbangan atau tawazun. (Fatiya Auliya/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)