Syamsuddin Arif: Iman, Sains dan Budaya Harus Saling Dipadukan Bukan Saling Menegasikan

Ramadhan di Kampus UGM 1445 H, sabtu, 9 Maret 2024, mengadakan Grand Opening dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan dengan tema Muslim Development Goals: Mengitegrasikan Iman, Sains, dan Budaya bertempat di Wisma KAGAMA UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Acara ini menghadirkan dua pembicara nasional, Dr. Syamsuddin Arif, M. A. dan Dr. Haidar Bagir sebagai pembicara pertama yang menyampaikan gagasannya. 

 

Bagi Dr. Haidar, Islamisasi Sains menjadi hal yang ia perhatikan sejak saat beliau menjadi bagian dari Ramadhan di Masjid Salman ITB, namun menurut beliau, saat itu masih kurang paradigmatik dengan menjadikan buku karya Ismail Al-Faruqi dan buku-buku se-tema sebagai dasar dengan membenturkan antara ayat dan hadist—Sains modern. Pengembangan iman dalam sains dan budaya seharusnya tidak menghadirkan konsep “islamisasi sains”, karena sains selamanya “diberi makan” oleh berbagai peradaban dan kepercayaan/agama termasuk  Islam. Konsep yang lebih tepat ialah  kontribusi Islam dalam pengembangan sains dan budaya.

 

Banyak perspektif dari kubu Islam terhadap SDGs yang isinya selalu disangkut pautkan dengan  ayat Al-Quran. Menurutnya, jika hal tersebut masih berlanjut, maka umat islam tidak bisa memberikan kontribusi apapun dan hanya merasa senang seolah-olah SDGs sudah terslamisasi, sumbangan islam seharusnya lebih paradigmatik dan mengandung filsafat. Jika muslim berbicara SDGs dalam tujuan kesejahteraan, maka kita harus berbicara bagaimana peran agama dalam mencapai tujuan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. 

 

Menurut Dr. Bagir, sebagai umat muslim kita harus mengakui bahwa sains modern telah mencapai banyak hal, fungsi agama bukan menegasikan sains modern, karena sains modern punya kelemahan dan keterbatasan, disitulah peran agama untuk melengkapi nya bahkan membantu mengembangkan sains itu sendiri.

 

Haidar Bagir mengatakan, dalam hal budaya, peranan iman sangatlah penting. Dalam kebudayaan tidak ada perpisahan antara subjek dan objek, tidak menyatu tetap bersifat hermenetik dan saling mempengaruhi. Sumbangan Islam terhadapnya seharusnya jauh lebih mudah, ilmu budaya lebih subur terhadap sumbangan islam dan tasawuf islam dibanding sains. Salah satu artikel yang pernah dibacanya mengatakan, bahwa budaya merupakan tajalli (pembuktian) Allah. 

 

Ibn arabi menyatakan bahwa budaya-budaya yang ada, dibentuk bukan hanya oleh para nabi tetapi juga orang bijak yang diberi Allah namus atau nawamis (semacam aturan), sosok seperti Ronggo Warsita bisa jadi merupakan orang yang mendapatkan tajalli nya Allah. Namun, kita mempunyai syariat dan akhlak Islam yang bisa kita masukkan ke budaya tersebut.

 

Islam menjadi kontributor pada peradaban modern yang sudah sangat maju, bukan hanya menyangkut pautkan suatu ayat quran dan hadist dengan kejadian tertentu di dalam  kehidupan sosial, tetapi juga dengan melakukan pergeseran paradigma dengan memberikan sumbangan yang bersifat teologis.

 

Haidar Bagir menyebutkan di akhir penyampaiannya, seorang muslim tidaklah tepat jika bersifat eksklusif. Jangan membicarakan islamisasi jika hanya dimaknai sebagai sesuatu yang buruk jika “sesuatu” itu berbeda dan berfikir untuk “membuang” semuanya. Berikan apresiasi kepada temuan yang telah ada, lalu belajar dan promosikanlah Islam yang sudah kita fahami secara paradigmatik untuk memberikan sumbangsih ke dalam peradaban manusia.

 

Seperti halnya Haidar Bagir, Dr. Syamsuddin juga memberikan gagasannya. Menurut beliau, antara iman, sains dan budaya, ketiganya harus saling dipadukan, tidak saling menegasikan atau menyingkirkan. 

 

Baginya, agar dapat menjadi seorang yang beriman, berilmu dan berbudaya, haruslah mempunyai kejelasan atas ketiga hal tersebut agar tidak keliru dalam membuat kesimpulan serta penalaran pada masing-masing term tersebut. Sains adalah bagian dari ilmu, hal ini berarti bahwa ilmu lebih luas daripada sains. 

 

Pada faktanya, ada kebenaran-kebenaran yang berada diluar jangkauan sains. Sebagai manusia modern, pemikiran manusia telah dikunci pada pemikiran bahwa sains adalah cara mengidentifikasi kebenaran dan diluar sains adalah tidak benar. Seperti Al-quran tidak dikategorikan sebagai saintifik oleh non muslim, padahal sejatinya masih ada kebenaran yang berada diluar jangkauan sains.

 

Tidak seperti kehidupan orang-orang muslim sejati yang fokus terhadap kondisi religiusitasnya juga memperdulikan ilmu pengetahuan, para ilmuwan barat memisahkan kehidupan agama dengan dunia. Seperti yang dikatakan oleh riset, anak anak di Negara Barat yang memiliki kebiasaan pergi ke gereja saat kecil, pada akhirnya setelah kuliah dan menjadi scientist mereka menjadi seorang yang memisahkan antara agama dan sains atau disebut sebagai sekuler. Hal ini berkembang menjadi keresahan bahwa ketika menjadi scientist seolah-olah harus berpisah dari agama dan menganggap bahwa Ilmu adalah netral.

 

Syamsuddin mengatakan, bahwa sejatinya yang telah mempelajari tradisi keilmuan Sslam, mereka sudah melihat bahwa ada tiga sikap terhadap ilmu pengetahuan. Yang pertama, perspektif Konflik, yaitu yang beranggapan islam tidak cocok dengan ilmu pengetahuan. Yang kedua, perspektif perdamaian atau harmoni, yaitu yang beranggapan rasionalis modernis maka perspektif ini mencari kesesuain antara islam dan sains. Yang ketiga adalah perspektif naturalisasi/integrasi, yaitu  orang islam yang tidak menolak mentah mentah, tapi juga tidak menerima bulat-bulat, mereka melakukan modifikasi. 

 

Menurut beliau, sejatinya kita sebagai muslim harus mengkontribusikan diri kita untuk perkembangan sains dengan bersikap bahwa kita tidak menolak sepenuhnya namun kita juga tidak menerima sepenuhnya dengan segala bentuk pertimbangan. Kita layak untuk mengkritisi sebuah sains dan teknologi agar sesuai dengan Islam itu sendiri.

Di akhir kalimat, Syamsuddin mengatakan, mengintegrasikan Iman, Sains, dan Budaya menjadi sesuatu kekuatan apabila semua aspek tersebut diperkuat secara paradigmatik. Keseimbangan antara dunia dan akhirat tentunya menjadikan seorang muslim sempurna kehidupannya. Kontribusi Islam terhadap perkembangan sains dan budaya menjadikan syiar Islam lebih terpandang serta berwibawa. (Fathur Rachman/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Dokum Media Kreatif RDK)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.