Iman yang Mengeringkan: Ulasan Novel Kemarau Karya A.A Navis
Penculik Kata: Aghli Maula
Departemen Kajian Strategis 2024
Peringatan! Ulasan ini mengandung bocoran!
“Meskipun manusia itu ada yang mengingkari Tuhan, kafir, munafik, tetapi kalau mereka giat berusaha, berani menantang kesulitan, mereka akan dapat lebih banyak dari orang yang malas, meski orang malas itu rajin sembahyang,” ujar Sutan Duano pada warga kampung.
Tamparan yang begitu keras itu buat siapapun berpikir lebih banyak: Apakah iman menggaransi kehidupan yang lebih baik? Apakah doa saja tak cukup untuk mendapat hidup yang baik di dunia? Tanya-tanya di kepala itu acapkali dihindari, dijauhi, dan dibuang ke tempat sampah paling jauh dari pikiran yang tak jarang kita anggap suci, bersih, dan penuh iman—serba putih. Tanya-tanya itu kita anggap jadi virus yang kelak hanya mengakibatkan kotoran dalam iman. Juga seperti hantu, tanya itu hanya pantas dijawab dengan ucapan Astaghfirullah.
Lain dengan kita, makhluk yang imannya lemah, tanya semacam itu malah jadi senjata utama bagi penulis novel Kemarau. Penulis yang sama dengan pencipta karya fenomenal seperti Runtuhnya Surau Kami ini gemar melempar pertanyaan-pertanyaan reflektif, kritis, dan fundamental soal sikap religius manusia. Ia adalah Ali Akbar Navis, atau akrab disebut AA Navis, perakit dibalik peledak sastra kritis pengancam iman manusia lemah seperti kita. Di balik khazanah sastra Indonesia yang begitu liar nan luas, Ali Akbar Navis bukan jadi satu nama yang boleh diabaikan, dilewatkan, apalagi dilupakan, terlebih oleh kita yang mengaku sebagai makhluk Tuhan.
- ••
Dalam novel Kemarau, karya AA Navis yang pertama kali terbit pada tahun 1963, AA Navis merakit peledak yang begitu dekat dengan praktik religius: Kemalasan dan Iman. Melalui kisah usaha Sutan Duano mengubah tabiat warga kampung untuk tak berleha-leha dan bersiasat menghadapi kemarau panjang, AA Navis menyajikan suatu refleksi kritis soal iman.
Pada babak awal cerita, kejanggalan warga kampung sudah juga menampakkan diri. Warga kampung yang banyak menggantungkan hidupnya pada pertanian, panik karena hujan tak kunjung turun, dan terbirit-birit segera mencari tempat berteduh. Mulanya, warga kampung berteduh di balik dukun. Dijadikannya kekuatan mistis sebagai tempat mengadu dan meminta hujan turun. Satu dua ritual ditunaikan demi terkabulnya permintaan mereka. Tapi, entah karena jampinya kurang kuat atau alasan lain yang sama tak rasionalnya, sawah-sawah kampung belum juga basah. Kekecewaan warga kampung pada dukun tersebut mengalihkan diri mereka pada Tuhan. Warga kampung menjadi rajin ibadah ke masjid dan rutin melafalkan doa meminta hujan. Bersama-sama, mereka menjual ibadah mereka demi hujan yang dipunya Tuhan. Tapi sayang, bagi AA Navis, penawaran warga kampung untuk ibadahnya belum juga berhasil membuat Tuhan menengok. Hujan, tidak juga turun.
Bagi Sutan Duano, seorang pria yang tak lama saja tinggal di kampung tersebut, hal-hal yang dilakukan oleh warga kampung buatnya keheranan. Pikirnya, keluhuran iman harus juga diikuti oleh peluh manusia yang profan. Manusia tak seharusnya mengalah begitu saja dan berhenti bertaruh pada usahanya. Beranjak dari keyakinannya, Sutan Duano membujuk warga kampung mengambil air di danau untuk membasahi sawah-sawah mereka. Namun, nasib mujur tak hadir begitu saja untuk Sutan Duano, usulannya yang terdengar mudah, ditolak mentah-mentah.
“… Buat apa kita payah-payah mengangkut air dari danau. Entah lusa, entah sebentar lagi, Tuhan menurunkan hujan. Sebagai petani, kita telah mengerjakan sawah kita. Kemudian kalau sawah itu kering karena hujan tak mau turun, Tuhanlah yang punya kuasa. Kita sebagai umatNya, lebih baik berserah diri dan mempercayaiNya. Karena Ialah yang Rahman dan Ialah yang Rahim. Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Meskipun hujan diturunkanNya, hingga sawah-sawah berhasil baik, tapi kalau Tuhan menghendaki sebaliknya, didatangkanNya pianggang atau tikus, maka hasilnya pun tak ada,” salah satu petani menjawab, “Menurut pengetahuanku yang hampir 60 tahun hidup di dunia ini, tak pernah orang dulu-dulu mengerjakan sawahnya dua kali dalam setahun. Kenapa kita menyalahi apa yang telah dilakukan nenek moyang kita dulu. Nenek moyang kita dulu bukan orang yang bodoh. Mereka turun ke sawah di musim hujan bukan di musim kemarau.”
Balasan petani itu beri gambar suatu sikap religius manusia: kepasrahan pada putusan Tuhan. Manut pada serba yang ada disalahartikan sebagai bentuk manut pada Yang Serba Ada. Tak melawan ditafsir jadi tak berharap pada dunia dan hanya berharap pada Tuhan Yang Maha Esa. Meski tak jarang kepasrahan banyak dilihat sebagai bentuk puncak keyakinan pada Tuhan, AA Navis melalui tangan Sutan Duano beri unjuk tipisnya batas antara kepasrahan dan kemalasan. Sikap pasrah yang tak hati-hati, buat beberapa di antaranya tergelincir pada sikap seperti warga kampung—loyo. Warga kampung jatuh pada kemalasan, dan bentuk menyerah pada keadaan.
Pada babak-babak selanjutnya, Sutan Duano, diilhami keinginannya untuk bertaubat dari masa lalu, berupaya menyadarkan warga kampung dengan mengangkut air danau dan membasahi sawahnya. “Menjadi contoh untuk warga kampung,” pikirnya. Takdir baik, sawahnya berhasil dipanen dan menyemai semangat warga lainnya. Keberhasilan itu bagi Sutan Duano, bukanlah bentuk resistensi pada aturan Tuhan dan bukan juga usaha merendahkan laku leluhur, melainkan usaha untuk terus memperjuangkan kehidupan. Ketika warga kampung tak menuai padi, tak hanya rumput liar yang tumbuh, tapi juga kesengsaraan dan kelaparan. Keberhasilan sawah Sutan Duano beri asa pada para istri di kampung yang suaminya tak lagi perlu untuk merantau ke kota dan hilang tanpa memberi nafkah.
Motif Sutan Duano untuk mempermak sikap warga kampung juga secara diam-diam mengandung bentuk iman yang bagi Sutan Duano sendiri anggap keliru. Sutan Duano alih-alih menghadapi dosa-dosa di masa lalunya dengan lantang, ia lari pada Tuhan dengan harap dosanya diampuni dengan mengubah warga kampung. Sutan Duano menggantungkan diri pada iman semata dan berlaku seakan lantang berani menghadapi masa lalu. Imannya berbuah buruk. Saat usahanya mengubah warga kampung kian terlihat penuh asa, satu persatu masalah menyembul. Fitnah tak berdasar beredar, anak kampung yang ia cinta tak bisa lagi ia temui, dan yang terburuk, masa lalunya yang ia tinggalkan jauh-jauh di dasar ingatan, mengetuk kembali, meminta pertanggungjawaban.
Sutan Duano terbang kembali ke tempat asalnya di Surabaya untuk mundur pada masa lalunya. Di hadapan pintu rumah yang sederhana, tempat masa lalunya menubuh. Masri, anak yang mengusirnya dulu karena Sutan Duano berlaku maksiat, meminta sang ayah untuk kembali. Tak dinyana, yang hadir bukanlah kebahagiaan seorang ayah bertemu sapa dengan sang anak, melainkan pukulan telak di hati karena mendapati anaknya, menikah dengan Arni, anak sekaligus adik tiri Masri dari istrinya yang ia tinggalkan. Usahanya mengubah masyarakat seakan sia-sia. Tuhan tempatnya berteduh malah jadi yang membuatnya paling basah. Pada akhir cerita, Sutan Duano meninggalkan surau yang sejak awal ia tinggali di kampung dan memulai kehidupan yang baru di sana.