Bedah film “Tuhan, Izinkan Aku Berdosa” disampaikan oleh Budi Irawanto seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada pada Kajian Mendadak Ngaji 10 Okrober 2024. Isi dari bedah film tersebut adalah sebagai berikut.
Sutradara Hanung Bramantyo bisa disebut sebagai perintis film Islami lewat Ayat-Ayat Cinta (2008) di Indonesia yang membuka jalan bagi film yang mengangkat kehidupan muslim dengan segenap problematikanya. Tak jarang, film besutan Hanung itu menuai kontroversi karena menyentuh hal-hal yang memantik polemik seperti dalam film Perempuan Berkalung Sorban (2009) dan Tanda Tanya (2011). Tanda tanya merupakan salah satu film yang kontroversional, mengandung makna pluralisme. Film teranyar Hanung bertajuk Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2024) mengangkat pergolakan spiritual aktivis muslimah yang didera oleh kekecewaan dan penderitaan hingga sampai di titik kesadarannya. Mengapa Hanung selalu membuat film isu Islam? Megapa tidak tentang koruptor dan sebagainya?
Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (TIAB) diadaptasi dari novel karya Muhidin A. Dahlan bertajuk Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur yang terbit pertama kali pada 2003. Judul bukunya lebih provokatif, dengan diksi pelacur. Judul ini mengalami perubahan mungkin karena supaya tidak menghasilkan kontroversi lagi. Menandai usia penerbitannya yang ke-20, novel itu diterbitkan kembali oleh penerbit Warning Books (Yogyakarta). Novel itu telah dicetak ulang sebanyak 24 kali dan melahirkan 44 skripsi, 4 tesis dan 19 artikel ilmiah. Judul film mengalami perubahan barangkali sebagai siasat hendak mengurangi kontroversi (terutama karena penggunaan kata ‘pelacur’). Dalam pengakuan Hanung, skenario yang telah ditulis bersama Ifan Ismail sulit menemukan investor yang bersedia membiayai sebelumakhirnya diproduksi oleh MVP Pictures. Film ini telah ditonton sebanyak 655.725 sejak dirilis pada 22 Mei 2024 di tengah persaingannya dengan film horor yang banyak diputar di bioskop di tanah air.
Film ini bak mengajak penonton masuk ke dalam roller coaster psikologis dan spiritual dari karakter utamanya (Nidah Kirani), seorang aktivis dakwah dan menerapkan prinsip-prinsip syariat dalam hidupnya. Dalam perkembangan ceritanya, penonton menemukan sosok Kiran yang seakan kehilangan kompas moral ketika ia harus menelan sejumlah kepahitan dan mengalami kekecewaan. Karakter utama film ini nyaris tak menemukan sosok yang menjadi sandaran dalam menghadapi pelbagai persolan hidupnya kecuali pemilik tempat Kinan tinggal yakni Ami. Pada saat sama, lewat film ini penonton ditunjukkan sikap hipokrit (munafik) dari sejumlah tokoh (laki-laki) baik sebagai ustadz, politisi, dan dosen yang hanya memperturutkan dorongan nafsunya terhadap perempuan.
Seperti tampak di film, pemimpin organisasi gerakan dakwah, politisi dan dosen semuanya laki-laki, sementara perempuan hanya menjadi pengikut dan suaranya acap tidak didengar. Tentu saja, ada lapis-lapis persoalan yang muncul dalam film ini, seperti relasi toksik dan ekspoitatif antara dosen dan mahasiswa.; relasi antara relasi antar sesama aktivitis yang juga dipenuhi pamrih pragmatis; dinamika kehidupan organisasi kemahasiswaan dan sikap diskriminatif terhadap minoritas seksual (waria).
Film ini masih menunjukkan sensualitas dan daya tarik fisik dari karakter Kiran (yang diperankan Aghniny Haque), kendatipun lewat voice over kadangkala disuarakan pergulatan spiritual yang dialaminya. Hal itu barangkali sulit dipisahkan dari bias sejak dari penulis novel dan pembuat film yang notabene adalah laki-laki. yang menjadikan perempaun sebagai karakter utamanya. Mengingat narasi film ini digerakkan oleh karakter utamanya (character-driven story) dengan segenap persoalan psikologis (dan spiritual) cenderung tak cukup memberi konteks tempat karakter tersebut hidup serta bertindak.
Tentu saja, kita tak memperoleh gambaran tentang spektrum gerakan mahasiswa (Islam) yang beragam dari film ini. Fokus agaknya terarah pada gerakan radikal yang menolak sistem demokrasi yang tengah berlaku di Indonesia. Begitu pula, konteks sosial-politik yang memunculkan gerakan itu terutama ketika kekuatan politik elektoral Islam melemah tidak tampak dalam film ini. Ideologi (syariah Islam) yang diusung oleh organisasi Dariyah itu dalam film terlihat simplistik (jika tidak ‘karikatural’) mengingat penonton tidak melihat perdebatan sebelum anggota komunitas memeluk ideologi tersebut.
Adaptasi (enkranisasi) dari novel ke film senantiasa berhadapan dengan watak medium yang berbeda di mana ada beberapa aspek tertentu yang berisiko hilang. Ada problem politik dan representasi gender yang acap mencuat ketika sang kreator (penulis novel dan pembuat film) hendak ‘mengatasnamakan’ kelompok lain. Pertanyaan kritisnya: otoritas apa yang mengijinkan berbicara tentang perempuan? Representasi yang terlampau berfokus pada karakter utama cenderung memposisikan konteks (termasuk tempat) hanya sebagai latar peristiwa belaka yang tak menunjukkan dialektika antara agen dan struktur yang melingkupinya.