Belajar dari Kemenangan Generasi Shalahuddin
Belajar dari kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi, generasi muda Indonesia dapat mengambil banyak pelajaran tentang bagaimana membangun karakter pemimpin yang amanah dan berintegritas. Umat Islam pada masa menjelang Perang Salib menghadapi tantangan besar, di mana Palestina/Yerusalem dikuasai oleh Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah, dan Mesir serta Suriah yang tidak memberikan pembelaan. Pada saat itu, umat Islam mengalami perpecahan politik dan madzhab, bahkan sering meminta bantuan musuh untuk memerangi saudara sesama Muslim. Kondisi sosial ekonomi pun memburuk, ditandai oleh ketidakadilan para pejabat, kelaparan, serta wabah yang melanda berbagai wilayah. Dunia keilmuan juga mengalami kemunduran dengan banyaknya karya taklid dan kemujudan.
Pasukan Salib pertama tiba pada tahun 1096, terdiri dari rakyat jelata yang dipimpin oleh Peter the Hermit. Gelombang pasukan profesional menyusul pada tahun 1097 dan berhasil menaklukkan berbagai wilayah yang dikuasai Turki Seljuk, termasuk Nicaea, Edessa, dan Antioch. Yerusalem akhirnya jatuh ke tangan Pasukan Salib pada 15 Juli 1099. Dinasti Fatimiyah turut berperan dalam jatuhnya Al-Quds, karena pemimpin mereka, Al-Afdhal, menggunakan Pasukan Salib untuk merebut Yerusalem dari penguasa Turki Seljuk.
Namun, di balik tantangan besar tersebut, ada peran penting ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Abdul Qadir Al-Jilani yang memperbaiki orientasi pendidikan Islam. Mereka menyiapkan ulama yang bukan hanya mengejar jabatan, tetapi juga berperan aktif dalam misi amar ma’ruf nahi munkar. Murid-murid mereka inilah yang nantinya mendukung perjuangan Shalahuddin dalam mempersatukan umat Islam.
Kunci kemenangan Shalahuddin terletak pada kepemimpinan unggulnya. Sebagai pribadi yang saleh dan cerdas, Shalahuddin menunjukkan kesalehannya melalui pendidikan tasawuf dan kecintaannya terhadap Al-Qur’an. Selain itu, ia juga menjauhi arogansi dan bersedia mendengarkan saran dari orang-orang di sekitarnya. Shalahuddin berhasil mempersatukan umat Islam melalui kolaborasi antara ulama dan pemimpin, serta menyatukan faksi-faksi yang bertikai dengan mengedepankan solidaritas sosial (ashabiyah). Dukungan dari tokoh-tokoh hebat seperti Al-Qadhi Al-Fadhil dan Zainuddin Al-Hakkari turut memperkuat posisinya.
Dalam aspek pemerintahan, Shalahuddin menerapkan manajemen negara yang baik dengan menghapuskan pajak, membangun infrastruktur, memperkuat militer, mengembangkan ekonomi, dan menjaga stabilitas politik. Akhirnya, berkat perjuangan Shalahuddin dan umat Islam, Baitul Maqdis kembali ke pangkuan Islam pada tahun 1187.
Sebagai mahasiswa, tujuan utama kita dalam menuntut ilmu seharusnya adalah mengenal Allah dan lebih dekat dengan-Nya, bukan semata-mata mengejar gelar atau nilai pragmatis seperti IPK. Pandangan ini sesuai dengan pandangan para ulama yang menyatakan bahwa aktivitas belajar pada hakikatnya adalah untuk memperkuat hubungan kita dengan Sang Pencipta.
Pertanyaan :
- Bagaimana cara menumbuhkan semangat optimisme bagi anak muda terutama generasi sekarang? Pendidikan apa yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia saat ini?
Jawab :
Kita harus meyakini apa yang kita punya/potensi yang kita punya. Caranya Mengeksplor diri kita dan memaksimalkan hal-hal yang kita punya.
- Bagaimana cara kita sebagai generasi muda untuk berdampak diperbaikan sistem pendidikan dan cara agar berdampak pada masyarakat
Jawab :
Kita harus mendorong diri kita sampai batas kemampuan kita, dorong dan gali potensi secara maksimal. Kemuudian kita berikan kontribusi terbaik bagi orang lain.
- Bagaimana pendapat ustadz tentang kita sebagai negara muslim tetapi tidak bisa mencontoh keteladanan Shalahuddin Al-Ayubi dalam menyelesaikan masalah terkait pertikaian antar/sesama agama?
Jawab :
Pentingnya kesadaran semua umat sehingga lambat laun maka akan mendapatkan hasil yang diinginkan.