Oleh : Muhammad Saddam Syaikh Arrais
Sabtu, 17 Mei 2025
Dekade 1970-an hingga 1990-an merupakan periode yang cukup vital dalam sejarah pergerakan mahasiswa Islam di Indonesia. Pada periode ini, terjadi perubahan yang cukup signifikan yang menghasilkan corak pergerakan Islam yang baru, terutama di kampus-kampus yang terkenal menjadi pusat keunggulan, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Corak ini dikenal khalayak dengan sebutan Gerakan Dakwah Kampus. Periode ini juga ditandai dengan persentuhan dakwah kampus dengan berbagai gerakan Islamis bercorak global, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Salafi (Arrobi, 2020: 1-2). Ikhwanul Muslimin menginspirasi kemunculan gerakan Tarbiyah yang menyebar di Indonesia melalui gerakan-gerakan di seputar Masjid Salman ITB pada tahun 1980-an (Saluz, 2009: viii). Sementara Hizbut Tahrir menyebar di Indonesia melalui Masjid Al-Ghifari IPB (Arrobi, 2020: 24).
Gerakan Dakwah Kampus itu semakin menguat dengan lahirnya organisasi-organisasi Islam intrakampus yang kemudian dikenal sebagai Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Pada tahun 1976, Jama’ah Shalahuddin didirikan di Universitas Gadjah Mada (Karim, 2006: 36) dan menjadi salah satu pelopor Lembaga Dakwah Kampus di Indonesia. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendirian Jama’ah Shalahuddin UGM ialah Ahmad Fanani, Muslich Zaenal Asikin, Luqman, Toyibi, dan Samhari Baswedan (Karim, 2006: 23). Pada 1986, diadakan silaturahmi antar-LDK pertama di Indonesia. Silaturahmi itu dihadiri oleh perwakilan dari 6 kampus, yakni Jama’ah Shalahuddin dari UGM, Al-Ghifarry dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Salman dari ITB, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Diponegoro (Undip), dan Universitas Airlangga (Unair). Pada 1987, silaturahmi LDK II diselenggarakan di UGM. Dan pada 1988, silaturahmi LDK diselenggarakan di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Pada pertemuan tersebut, diputuskanlah nama Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK).
Karena pengaruh Pemerintah Orde Baru di UNS sangat kental, agenda FSLDK tersebut dihadiri oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Hadirnya Menpora memicu ketegangan luar biasa antara FSLDK dan negara. Menanggapi hal ini, akhirnya dalam forum tersebut muncul ide untuk membentuk khittah (garis besar haluan organisasi) sebagai rencana strategis gerakan dakwah kampus yang tidak terkooptasi oleh rezim. Yang kemudian ditunjuk menjadi tim perumus khittah adalah aktivis-aktivis dari Al-Ghifarry IPB. Faksi HTI yang memiliki basis di Al-Ghifarry IPB berhasil merumuskan khittah FSLDK yang disebut Mafahim pada pertemuan di Malang tahun 1989. Isi dari khittah FSLDK ini sangat kental dengan ideologi Hizbut Tahrir.
Pada bulan Maret 1998, diadakan pertemuan tahunan FSLDK ke-10 di UMM, Malang. Pertemuan ini menjadi titik tolak sejarah aktivis Tarbiyah di Indonesia. Pada pertemuan ini, mahasiswa-mahasiswa Tarbiyah mendeklarasikan berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, yang kemudian dikenal dengan singkatan KAMMI.
Deklarasi ini menimbulkan gejolak dahsyat di dalam tubuh FSLDK. Pertama, tidak ada agenda deklarasi KAMMI pada undangan resmi pertemuan FSLDK ke-10 di Malang itu. Ketiadaan agenda resmi itu membuat publik merasa janggal. Kedua, deklarasi KAMMI dilakukan di luar forum resmi acara, yakni setelah acara itu secara resmi ditutup oleh panitia. Ketiga, tokoh yang terpilih sebagai Sekretaris Jenderal pertama Pengurus Pusat KAMMI pada saat itu ialah Haryo Setyoko dari UGM. Keputusan ini menimbulkan tanda tanya karena Haryo Setyoko pada waktu itu adalah Ketua BEM UGM dan bukan anggota Jama’ah Shalahuddin UGM—bagaimana mungkin seseorang yang bukan anggota LDK dapat terlibat dalam pertemuan FSLDK dan memperoleh jabatan setinggi Sekretaris Jenderal?
Keputusan ini memantik kemarahan faksi HTI. Faksi HTI menganggap pertemuan FSLDK ke-10 itu sebagai “skenario jahat” tokoh-tokoh Tarbiyah untuk “membajak” FSLDK demi kepentingan politik mereka. Kemarahan itu pun memuncak ketika faksi HTI akhirnya memutuskan untuk keluar dari FSLDK. Bahkan, dalam rangka merespon ekspos besar-besaran KAMMI di media massa, Pusat Komando Wilayah (Puskomwil) FSLDK I yang meliputi Sumatra, Jawa Barat, dan DKI Jakarta serta LDK IPB membuat rilis pernyataan sikap yang menegaskan bahwa KAMMI bukan bagian integral dari FSLDK dan lahir di luar forum resmi FSLDK (Arrobi, 2020: 44).
Faksi HTI yang memisahkan diri dari FSLDK pun memulai jalannya sendiri. Mereka mendirikan lembaga yang menampung para aktivis HTI di kampus-kampus dalam dua bentuk yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Lembaga itu ialah Gema Pembebasan (GP) untuk kader laki-laki dan Back to Muslim Identity (BMI) untuk kader perempuan. Bahkan, mereka mendirikan Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) untuk menandingi eksistensi FSLDK.
Pada awal perpecahannya, kelompok Tarbiyah dan HTI melancarkan hegemoninya dengan sentral yang berbeda di UGM. Kelompok Tarbiyah memusatkan aktivitas pembinaan kader-kadernya di Masjid Mardliyah dan masjid-musala fakultas. Sementara itu, halaqah-halaqah HTI terkonsentrasi di sayap selatan Masjid Kampus UGM (Arrobi, 2020: 86-87). Dalam situasi ini, Jama’ah Shalahuddin UGM menjadi rumah persemaian keduanya. Meski terombang-ambing dalam kecondongan kepada salah satu dari keduanya, Jama’ah Shalahuddin UGM senantiasa kokoh pada prinsip yang independen namun inklusif, serta tidak berafiliasi kepada pihak manapun.
Kini, perseteruan itu tidak lagi terasa. Kita tidak lagi melihat aktivis Tarbiyah dan HTI bertengkar sedahsyat dahulu kala. Bahkan kita bisa menyaksikan keduanya tumbuh harmonis dalam naungan yang sama. Kita dapat bersyukur karena umat tidak lagi bertengkar akibat dorongan ego dan kepentingan pribadi. Namun kita juga perlu khawatir karena hilangnya perseteruan itu juga diiringi dengan melemahnya gairah pergerakan dakwah mahasiswa. Perseteruan lama ternyata menghasilkan stigma yang negatif terhadap organisasi Islam mahasiswa. Kita dapat menyaksikan anggota-anggota Jama’ah Shalahuddin UGM menjadi apatis karena takut dikaitkan dengan organisasi Islam yang terkena stigma negatif.
Di satu sisi, perdamaian memanglah indah, namun di sisi lain juga membuat umat terlena dengan kenyamanan. Pun demikian, di satu sisi pertengkaran memanglah buruk, namun di sisi lain juga membuat umat menjadi sadar akan nilai eksistensi dirinya. Jadi, sudah saatnya umat meninggalkan pemikiran yang bersifat hitam-putih. Pada dasarnya, baik perdamaian maupun pertengkaran, keduanya dibutuhkan. Hanya saja, umat perlu dewasa dalam menyikapinya.
Referensi:
Arrobi, Zaki. (2020). Islamisme ala Kaum Muda Kampus: Dinamika Aktivisme Mahasiswa Islam di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia di Era Pasca Soeharto. Yogyakarta: UGM Press.
Karim, A, G. (2006). “Jama’ah Shalahuddin: Islamic Student Organisation in Indonesia’s New Order” dalam The Flinders Journal of History and Politics, (23).
Saluz, Nef. (2009). Dynamics of Islamic Student Movements: Iklim Intelektual Islam di Kalangan Aktivis Kampus. Yogyakarta: Resist Book.