Salim A. Fillah: Istilah Babad untuk Menggambarkan Peradaban Baru

Pada tanggal 10 Maret 2024, Ramadhan Public Lecture kembali hadir dengan pembicara pertama, Ustaz Salim A. Fillah dengan tajuk “Keagungan Tradisi Keilmuan Jawa dalam Babad Tanah Jawi”. Ia menguraikan pentingnya Babad Tanah Jawi dalam memahami sejarah dan kebudayaan Jawa. Salim A. Fillah menjelaskan bahwa meskipun istilah “Naskah Babad Tanah Jawi” merujuk pada beberapa naskah, naskah induk tertua tidak dapat dilacak. Naskah babon yang dapat ditemukan merupakan salinan dari karya Carik Brojo dan sudah tidak lengkap. Meinsma, pada tahun 1841, kemudian mengubah karya Carik Brojo yang awalnya berbentuk puisi menjadi bentuk prosa yang lebih dikenal saat ini.

 

Ustaz Salim juga menyoroti karya Profesor Merle Calvin Ricklefs yang diakui sebagai karya yang tak tertandingi dalam menggali sejarah Jawa. Dia meneliti tokoh-tokoh penting seperti Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta dan Pangeran Arya Mangkunegara dari Kadipaten Mangkunegaran. Menurut Salim A. Fillah, Babad Tanah Jawi dapat diandalkan sebagai sumber sejarah untuk abad ke-16 dan ke-17, tetapi sulit untuk menentukan tahun-tahun sebelumnya karena sering kali bercampur dengan mitologi.

 

Ia menjelaskan bahwa istilah “babad” dipilih untuk menggambarkan proses berdirinya sebuah peradaban baru, sebagaimana dinyatakan dalam konsep an-nafyu, tsumma isbat dalam Islam, yang menggambarkan proses pengukuhan setelah penafikan. “Babad” juga berarti ‘babat’ yang memiliki makna memotong dengan parang atau sabit tumbuhan yang ada, dengan tujuan membersihkan suatu lahan agar dapat ditanami kehidupan yang baru. Perumpamaan tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Ustaz Salim, bahwa masyarakat Jawa merupakan manusia yang simbolis. Dalam Babad Tanah Jawi juga menerapkan hal itu dengan memperkenalkan simbol-simbol politik dan orang-orang politik yang sering kali digambarkan sebagai keris. 

 

Namun, Babad Tanah Jawi bukanlah karya yang berdiri sendiri. Ustaz Salim menjelaskan bahwa ada beberapa babad lain yang berkoheren dengan Babad Tanah Jawi, seperti Babad Demak dan Babad Pajang. Dalam Babad Tanah Jawi, para Wali Songo juga dicatat, termasuk sikap mereka di akhir pemerintahan Majapahit yang menentang usulan untuk memerangi Majapahit pada saat kritisnya. Hal itu dikarenakan masyarakat Jawa sangat menghormati leluhur mereka dan akan memandang Raden Patah sebagai anak durhaka jika menyerang Majapahit pada saat itu karena bagaimanapun, dia adalah putra Majapahit.

 

Dengan penjelasannya, Ustaz Salim menyampaikan bahwa Babad Tanah Jawi tidak hanya berfungsi sebagai sumber sejarah, tetapi juga sebagai simbol peradaban dan kehidupan Jawa. Dalam setiap peristiwa yang direkam, Babad Tanah Jawi menjaga harmoni dan kehormatan figur leluhur. Melalui simbol-simbolnya, Babad Tanah Jawi menggambarkan proses berdirinya dan berkembangnya peradaban Jawa.

 

Sebagai penutup, Salim A. Filah menyampaikan perlunya memperkenalkan istilah dan metode yang digunakan dalam babad agar masyarakat dapat membabat atau menyemai peradaban baru di masa yang akan datang. (Hanung Maura/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Zufar Ahmad Qoffan) 

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.