Dewan Penasihat Takmir Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Drs. Muhammad Jazir, Asp. menjelaskan mengenai aktivis mahasiswa dalam menghidupkan masjid kampus sebagai awal perubahan revolusioner pada ceramah Mimbar Subuh 1445 H, Rabu (14/3) di Masjid Kampus UGM.
Berawal dari peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974, ketika itu pemerintah Indonesia mengekang aktivitas kampus melalui Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sehingga organisasi kampus tidak diperbolehkan. Namun, sejak peristiwa demonstrasi besar-besaran yang menentang dominasi ekonomi Jepang di Indonesia yang dipelopori dewan mahasiswa di seluruh Indonesia yang menimbulkan kerusuhan di Jakarta, mengakibatkan semua organisasi intra kampus dibekukan dan hanya ada satu organisasi kemahasiswaan yang diperbolehkan, yaitu Senat mahasiswa.
Peristiwa yang terjadi menyebabkan para aktivis kampus berpindah dari aktivitas berbasis komisariat organisasi ke masjid-masjid kampus dan musala-musala kampus. Dari masjid kampus terjadilah perubahan yang revolusioner, yakni munculnya cendekiawan-cendekiawan muslim yang berbicara tentang Islam yang kemudian mendominasi ceramah-ceramah agama diberbagai lintas lingkungan, “muncullah Islamisasi sains dan teknologi”, ujar Muhammad Jazir.
Hasil revolusi dari aktivis masjid kampus: pertama, secara kultural mulai muncul jilbab sebagai identitas perempuan muslim yang saat ini sudah menjadi budaya. Kedua, menipisnya pengelompokan umat islam dengan tidak adanya masjid yang berafiliasi secara langsung kepada suatu kelompok keagamaan, maka munculah yayasan yang mengelola suatu masjid tersebut.
Munculnya masjid-masjid di kampung merupakan bentuk pengaplikasian dari aktivis masjid kampus mengenai proses perubahan -yang berhenti ketika di kampus telah dicampurtangani oleh kekuasaan- untuk meneruskan fungsi masjid secara optimal yang menjadi impian dan gagasan para aktivis masjid kampus.
Ada lima fungsi masjid yang dijelaskan oleh Muhammad Jazir: pertama, masjid sebagai baitullah (rumah Allah), yakni masjid yang melayani umat 24 jam dengan berbagai persoalan. Kedua, masjid sebagai baitul-maal (rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta), yakni masjid yang menghimpun dan men-tasharuf-kan dana publik untuk kesejahteraan rakyat, sehingga ekonomi rakyat tumbuh. Ketiga, masjid sebagai baitut-tarbiyah (pusat pendidikan), seperti masjid yang menyatu dengan rumah tahfiz dan pesantren. Keempat, masjid sebagai baitud-da’wah, tempat untuk melakukan dakwah secara aktif. Terakhir, masjid sebagai baitul-muamalah, masjid sebagai tempat lahirnya saudagar muslim, sehingga saat ini kita dapat jumpai saudagar muslim kelas menengah dengan mudahnya. (Fatiya Auliya/editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)