Yuris Tiyanto: Akhir-akhir Ini Kondisi Pangan di Indonesia Cukup Mengkhawatirkan

Pada jumat 15 Maret 2024, Ramadhan Public Lecture kembali hadir di masjid kampus UGM  bersama Kepala Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan, Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Ir. Yuris Tiyanto, M.M. Pada kesempatan tersebut beliau mengajak masyarakat untuk bersinergi dan berkontribusi dalam peningkatan produksi pangan di Indonesia.

 

Menurut UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sedangkan Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perorangan.

 

Yuris menyatakan bahwa Indonesia pernah swasembada beras dua sampai tiga kali, tetapi akhir-akhir ini kondisi pangan di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, yaitu 9,36% penduduk yang tersebar di beberapa wilayah, dengan persentase penduduk miskin tertinggi kab. Sampang di pulau jawa, kab. Kep. Meranti di pulau Sumatera, kab. Mahakam Ulu di pulau Kalimantan dan Papua.

 

Berdasarkan data yang telah Yuris kumpulkan, Ia menjelaskan bahwa terdapat sepuluh negara memiliki masalah kelaparan yang serius, 735 juta penduduk dunia mengalami kelaparan, dan negara-negara eksportir beras seperti: Indonesia, Bangladesh, India, Rusia dan Pakistan memberhentikan ekspor, sedangkan Indonesia termasuk dalam negara yang rentan kelaparan dengan persentase 7-16%. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah stok bulog di Indonesia pada 8 November 2023 hanya 1,38 juta ton, sehingga pemerintah merekomendasikan impor beras dengan jumlah 3,5 juta ton. Ia juga menjelaskan bahwa pada desember 2023 terjadi inflasi beras sebesar 0,8%, yang disebabkan karena  kondisi pupuk yang langka dan alat-alat pertanian yang sudah tua. 

 

Yuris menjelaskan bahwa untuk menghadapi permasalahan pangan, langkah  yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi tantangan dalam pembangunan pertanian seperti: terjadinya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan adanya inflasi akibat gangguan dalam proses ekspor impor, terjadinya perubahan iklim yang ekstrim sehingga pemerintah harus menambah anggaran bantuan, dan terjadinya perlambatan ekonomi di China dan Amerika, serta dampak dari pandemi covid-19. 

 

Pada tahun 2018-2022 kondisi beras di Indonesia tergolong aman karena jumlah produksi lebih besar dari kebutuhan masyarakat. Sedangkan pada tahun 2022-2023 produksi beras menurun 31,01 juta ton menjadi 30 juta ton sehingga pada tahun 2023 Indonesia mengimpor 3,5 juta ton. Ia berpendapat bahwa, jika uang impor beras tersebut dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat maka akan meningkatkan kesejahteraan petani. Sehingga pada tahun 2023-2024 Kementerian Pertanian melakukan refocusing (pemangkasan kegiatan-kegiatan yang tidak penting dan pemindahan alokasi pada kegiatan yang mendorong pertumbuhan produksi beras). Berdasarkan data Global Hunger Index 2023, angka kelaparan di Indonesia yaitu 17,6 tepatnya peringkat 77 dari 125 negara.

 

Kementerian Pertanian melakukan beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia, diantaranya: pertama, menerapkan pertanian yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan hemat air yaitu disruptive agricultural technology yang bertujuan untuk menghemat input produksi, dengan benefit cost ratio (perbandingan biaya usaha dan manfaat) minimal 2 dan mengutamakan input organik, karena pasarnya lebih tinggi. Kedua, melakukan upaya diversifikasi pangan lokal non beras yaitu dengan mengkonsumsi pangan non beras seperti ubi dan jagung. Ketiga, mencegah gagal panen akibat banjir maupun hama dan penyakit dengan cara: menggunakan pengendali hama yang ramah lingkungan, memberikan asuransi kepada petani agar tetap sejahtera, meningkatkan infrastruktur irigasi, memberikan bantuan bibit dan pupuk yang tahan penyakit, dan mengedukasi petani terkait tips-tips mengurangi risiko gagal panen serta memberikan bantuan berupa alat pengolahan hasil agar hasil yang didapatkan maksimal dan peningkatan akses pangan agar penyaluran bantuan bersubsidi tepat sasaran.

 

Kontribusi produksi beras terbesar berasal dari pulau Jawa dengan persentase 55,86% sedangkan persentase terkecil 0,60%. Pada tahun 2022-2023, terjadi penurunan produksi sebesar 1,39%. Kementerian Pertanian mencanangkan produksi beras sebesar 86,91% pada bulan April. Produksi jagung sekarang menurun sebesar -10% jika dibandingkan dengan tahun 2022.

 

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, terjadi alih fungsi lahan sawah secara nasional sekitar 60-80 hektar/tahun. Produktivitas gabah kering Indonesia sebesar 5,2 ton/hektar. Indonesia memiliki potensi kehilangan hasil produksi beras mencapai 500-667 ribu ton/tahun. Sehingga Kementerian Pertanian merencanakan dua strategi besar, yaitu ekstensifikasi (perluasan area) dan intensifikasi (memaksimalkan pengelolaan lahan) serta pengamanan produksi dari banjar dan hama penyakit.

 

Beberapa solusi untuk menghadapi disrupsi climate change antara lain: mengembalikan alokasi pupuk subsidi 4,7 menjadi 9,5, pompanisasi air sungai untuk sawah tadah hujan, memanfaatkan rawa sebagai lahan pertanian, memanfaatkan sistem pertanian kering, dan menerapkan sistem pertanian sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Yusuf a.s. (Sayyidah K/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.