Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman- pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.” (Teilhard de Chardin)
Berdakwah adalah seni. Seni mengubah diri dan menebar inspirasi. Dakwah bukan hanya hamburan retorika, bukan sekedar bualan tanpa makna, namun aplikasi dalam tindakan nyata. Maka dalam sudut pandang ini, dakwah adalah suatu kata kerja.Dakwah bermakna menyampaikan. Maka proses penyampaian menjadi beraneka ragam. Ada seorang yang tanpa perlu berucap, namun tujuan dakwahnya tercapai.
Tapi ada juga metode yang mengharuskan dibuatnya forum seminari, agar bibit kebaikan itu dapat tersemai. Semua terjadi karena proses transfer informasi tak memerlukan bentuk khusus, hanya memiliki beragam pola terhadap berbagai kasus. Inti sebenarnya adalah bagaimana agar hidayah dapat mampir ke hati melalui perantara indera yang kita punya. Dan wewenang seorang da’i adalah membangun dan menyediakan pintu-pintu hidayah itu, adapun untuk membukanya adalah hak prerogatif Allah semata sebagai wujud kasih sayangnya. Organisasi Dakwah
Dalam perkembangannya, alur informasi pun memiliki beragam revolusi. Masalah yang sebelumnya tak pernah muncul pun, sekarang punya kesempatan menghadirkan diri. Kompleksitas masalah mau tak mau memeras otak kita lebih dalam bagaimana langkah antisipatif penyelesaian masalahnya. Dan dalam masyarakat kontemporer, kehadiran sebuah organisasi menjadi esensi untuk penyamaan visi dalam penyelesaian masalah bersama yang dihadapi komunitasnya.
Dalam konteks dakwah, sebuah organisasi membuat langkah-langkah dakwah lebih sistematis. Ketika gerak dakwah membutuhkan legitimasi, maka kehadiran organisasi dakwah menjadi alternatif pemenuhan kepentingannya. Disini awal mula simbolisasi, pengkristalan dakwah dalam wujud lembaga dakwah. Pemenuhan wadah untuk kata kerja dengan sebuah kata benda sebagai starting area geraknya.
Rajutan Benang Visi
Ternyata kita tak sendirian. Ternyata kita banyak teman. Banyak organisasi lain dengan tujuan sejalan. Maka kita harus menyadari bahwa kompetisi dalam kebaikan adalah jargon yang memabukkan. Rajutan benang visi menempatkan sinergi lah sebagai bentuk ideal pelaksanaan.
Dalam aplikasinya, rajutan berkembang menjadi jalinan. Simpul-simpul organisasi bergerak beriringan. Sinergitas lembaga dakwah pun menjadi jargon yang dielu-elukan.
Reposisi Subyek
Lembaga dakwah tak lain adalah corong dakwah itu sendiri, subyek dakwah itu sendiri. Begitulah situasi yang kemudian berkembang. Paradigma yang berkembang pun mengubah status manusia sebagai pelaku asli dakwah, menjadi sekedar pembangun kebesaran lembaga dakwah. Lembaga dakwah menggantikan fungsi manusia sebagai agen perubahan. Manusia di dalamnya boleh berganti, asal kebesaran lembaga tetap lestari.
Bak dua sisi mata uang, pandangan tersebut membuat sang kader digdaya untuk menggerakkan dakwah dengan medium sebuah lembaga, namun tak berdaya ketika ia dituntut tetap bersuara ketika teman-teman lembaga tak melingkunginya. Maka kita harus mereposisi subyek. Bahwa manusia lah yang subyek, manusia lah yang disebut da’i. Adapun lembaga adalah tempat kita menggodok diri, melatih kebajikan dengan mengkoneksikan pikiran manusia yang beraneka ragam, dan sebagai pelengkap gerak dakwah agar langkah kita makin efektif dan sistematis. Maka analisis keberhasilan lembaga dakwah yang dominan adalah aspek kualitatif.
Potret Fragmen Perjalanan
Dalam konteks Universitas Gadjah Mada, Jama’ah Shalahuddin adalah lembaga dakwah yang perlu kita kemukakan, dan Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Intra Kampus (FSLDIK) adalah jalinan yang telah kita singgung di depan. Agaknya kita perlu berkomtemplasi, memandang kenyataan yang telah terlewati melalui potret-potret fragmen perjalanan. Adakah gerak langkah kita lebih efektif dengan dua instrumen dakwah kampus tersebut?
FSLDIK Idaman
Dalam prinsip sebuah hubungan, tak elok rasanya jika ingin mendapatkan sesuatu harus berdasar persaingan. Apatah lagi hubungan itu terbentuk dengan suatu tujuan yang sama, dan tanpa tendensi duniawi apa-apa. FSLDIK adalah suatu contoh jalinan hubungan yang terajut dari benang-benang visi Rabbaniyah. Hubungan yang terbentuk dengan satu tujuan bersama untuk menjadikan UGM yang penuh warna tak lepas dari ridho Rabb-nya. Jalinan ini terbentuk alami, bahkan tanpa harus strukturisasi. Keinginan untuk saling berkaitan, menyimpulkan diri, saling introspeksi, dan belajar satu sama lain, menjadi pondasi utama sebuah jejaring agar dapat terbentuk. Andaipun secara struktural ternyata terbentuk, itu hanya sebatas simbolisasi, untuk memudahkan koordinasi.
Ada yang bilang FSLDIK di bubarkan. Ada lagi yang usul gimana kalo hanya dibekukan. Seolah-olah FSLDIK adalah sebuah lembaga legal formal yang ternaungi oleh hamparan AD/ART. Ah, siapa yang bisa mengontrol konsep abstrak sebuah hubungan.
Ada yang menggaung-gaungkan FSLDIK idaman. Ada yang latah mendeskripsikan FSLDIK impian. Semua terkadang berujung kebingungan, karena realita lapangan tak sesuai impian.
Konsep sebuah kesinergisan bukan terletak pada kesamaan gerak jalan, namun lebih hakikinya adalah derivasi visi menjadi segregasi peran. Kamu perannya disini, saya perannya disitu. Targetmu ini dan targetku itu.
Tapi mohon izinkan sekali ini saya latah mengungkap gagasan. Izinkan sekali lagi saya mengambil peranan. Jikapun tak becus dalam ranah gerakan, paling tidak dalam tataran pemikiran. Bukan sekedar pilihan butuh atau tak butuh, perlu atau tak perlu. Namun lebih dari itu, bagaimana memperbaiki kinerja FSLDIK ke depan.
Konstelasi “Mau”
Organisasi yang hebat membutuhkan figur pengatur yang cermat dan komposisi pemain yang tepat. Layaknya tim sepak bola, dibutuhkan sosok pelatih yang cermat. Cermat mengamati kemampuan diri, cermat melihat peluang dengan kelemahan lawan, dan mampu mengkonversinya dengan ramuan tim yang tepat. Strategi 4-3-2-1, strategi 4-3-3, bukan pilihan karena kesenangan atau jejak langkah pelatih sebelumnya, namun merupakan analisis kebutuhan. Penempatan pemain pada posisi sini, pada posisi situ, di dasarkan pada kemampuan bawaan dan hasil tempaan latihan. Terkadang sang pemain diberikan pilihan, dan sang pelatih tidak akan coba memaksakan.
“Mau” bukanlah hasil suatu dakwaan, bukan suatu keinginan karena dorongan keterpaksaan. Bukan pula suatu penempatan berdasar pertimbangan satu pihak atasan. Tapi, “mau” adalah keputusan atas berbagai pilihan dengan konsekuensi yang ditawarkan. “Mau” adalah suatu hasil kesepakatan antara atasan dan bawahan. “Mau” memiliki dimensi kesungguhan dan keyakinan bahwa ia mampu melakukan.
Mungkin kita pernah berfikir lahan dakwah adalah papan catur. Dan pelaku-pelaku dakwah dalam lembaga dakwah adalah bidak-bidak catur yang harus “mau” ditempatkan dimana saja sesuai kehendak sang empu catur. Tujuannya hanya satu, bagaimana agar sang Raja dapat bernafas, bagaimana sang Raja dapat melenggang dengan bebas, sambil terus melancarkan serangan agar sang lawan dapat tumpas. Tak peduli apakah harus mengorbankan bidak-bidak, tak peduli kerugian berapa banyak.
Agaknya kita lupa, bahwa kita manusia, bukan seonggok kayu tak bermakna. Agaknya kita tak ingat, bahwa kemenangan lembaga dakwah adalah mampu menelurkan pelaku-pelaku dakwah yang cakap, dari tempaan amanah di posisi yang tepat. Mari mulai sekarang kita mencoba, bagaimana memanusiakan manusia.
Ruh Ideologisasi
Bangunan FSLDIK menjadi kering tanpa kehadiran sebuah ruh di dalamnya. Ruh untuk pengikat komitmen bersama, sebagai tujuan yang kita semua ingin mencapainya.
Kita berbeda dengan Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di bidang olahraga, dimana kompetisi bersekat dan bertingkat –tingkat. Ketika fokus di kompetisi Regional, ia tak akan masuk di kompetisi Nasional. Ketika fokus di kompetisi Nasional, ia tak akan ada di kompetisi Internasional. Kita berbeda. Lembaga dakwah bergerak di segala jenjang, segala ruang, tanpa sekat, tanpa jarak.
Ketika ada bencana kemanusiaan di Palestina, semua Umat Islam bergolak. Ketika ada rencana pembakaran Al-Qur’an di Amerika, Umat Islam Inggris pun lantang bersuara. Tak terpaut jarak. Karena kita bermain di ranah Ideologi. Ruh ideologisasi itulah yang harusnya menjadi pengikat kerja FSLDIK. Dan kawan-kawan JS lah yang diharapkan menjadi perumusnya.
“Aku tertidur dan mimpi bahwa hidup ini adalah kesenangan. Aku terbangun dan melihat bahwa hidup ini adalah pengabdian. dan (akhirnya) lihatlah, pengabdian memang menyenangkan”. (Rabindranath Tagore)
Jogjakarta, Kota Dansa Kata
14 Oktober 2010, 16:21
Akhmad Arwyn Imamur Rozi
Mahasiswa Teknik Nuklir UGM 2008
Departemen Ekstern Jamaah Shalahuddin 1431 H