Penataan Peran Wanita dalam Islam serta Dampak dari Perkembangan Pemikiran Feminisme
Faridah Nur’aini
Kepala Departemen Kemuslimahan Jama’ah Shalahuddin UGM 1435 H
JS Editorial
PENDAHULUAN
Sepanjang sejarah dunia, wanita pernah mengalami nasib yang tak memandang tempat juga zaman, yaitu wanita lebih sering dianggap objek daripada manusia. Peradaban Yunani Kuno membolehkan wanita diperjualbelikan layaknya budak, tidak memiliki hak sipil dan juga hak waris. Begitu pun wanita belum naik kelas di peradaban Romawi. Di India terkenal dengan tradisi Hindu yang bernama Sati, sebuah prosesi membakar diri bagi janda yang ditinggal mati suaminya. Peradaban Cina Kuno juga menempatkan wanita sebagai warga kelas dua. Demikian nasib wanita ditinjau dari segi peradaban. Sama halnya saat masa sebelum Islam datang, masyarakat Arab sangat berduka dengan kelahiran perempuan dan tega membunuh atau menguburkan anak perempuannya hidup-hidup.
Ketika “kabut hitam” menyelimuti wajah wanita, maka cahaya Islam datang dan bersinar meneranginya. Islam menempatkan kedudukan wanita pada proporsi yang mengakui kemanusiaan mereka. Ayat al-qur’an yang pertama kali melihat kesejajaran wanita dengan kaum pria adalah QS. Al-Lail: 3-10. Islam tidak membedakan antara pria dan wanita. Al-qur’an telah menghilangkan diskriminasi gender, tanpa menghilangkan peran kaum pria sebagai qawwamun (Pemimpin bagi kaum wanita). Disini terlihat bahwa agama islam merupakan agama yang mempunyai prinsip-prinsip keadilan gender. Di awal sejarah islam juga sudah mencatat peranan wanita yang sangat signifikan, hal ini bisa kita lihat dari sebuah hadis yang dinisbahkan kepada nabi yang berbunyi:
“Ambilah setengah pengetahuan agama dari al-Humaira (yaitu Aisyah)”
Penataan Peran Wanita dalam Islam
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S An-Nisaa’: 32)
Berangkat dari ayat tersebut, dapat dilihat bahwa pria dan wanita memiliki jalurnya masing-masing untuk sama-sama meraih takwa. Bahkan wanita diberikan suatu kelebihan yang tidak dimiliki pria, yaitu mengandung dan mendidik anak mendapatkan janji berupa surga Allah yang diriwayatkan dalam sebuah hadis Nabi bahwa surga berada dibawah telapak kaki Ibu. Serta orang pertama yang harus dihormati didunia adalah Ibu, yang diulangi Nabi hingga tiga kali, lalu yang kali keempat baru beliau mengatakan Ayah. Melalui perannya sebagai Ibu ia bertindak secara nyata. Sebagai anggota masyarakat ia bergaul dan saling mempengaruhi dengan orang di sekitarnya.
Bila Islam menjadikan pria sebagai pemimpin keluarga, Islam menjadikan wanita sebagai pemimpin bagi rumahnya. Islam memberikan gelar pada wanita yaitu Ummu warabbatul bait, dialah ibu sekaligus pengelola rumah tangga. Dari sini wanita muslimah diharapkan tidak hanya shalehah tetapi juga dapat menjadi istri yang taat dan ibu bagi generasi (“Mar’atus Shalihah, Wa zaujatul muthi’ah, Wa ummul madrasah”).
Pemicu Lahirnya Feminisme
Dalam kaitannya penataan peran wanita dalam Islam, terdapat kewajiban-kewajiban dan hak-hak yg telah ditetapkan secara syar’I, sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, bukan pantas atau tidak pantas berdasarkan adat, dan sebagainya. Kewajiban anak perempuan terhadap orangtua, hak atas orangtuanya , begitu juga antara istri-suami, ibu-anak. Semua itu sudah digariskan dalam islam dan ketika berjalan dengan benar akan tercapai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, karena sesuai dengan fitrahnya.
Hanya saja, kemudian terjadi banyak penyimpangan karena Islam yang perlahan-lahan menghilang mulai dari arena publik hingga ke rumah-rumah seiring dengan dinamika sosial sekarang seperti adanya tatanan dunia global, masuknya idealisme barat, yang telah menyeret wanita masuk kedalamnya, sehingga timbullah masalah-masalah sosial seperti degradasi moral, dekadensi perilaku, tindak kriminal, pelecehan, diskriminasi bahkan kekerasan. Ada suami yang bersikap kasar dan menyiksa istrinya, ada orangtua yang posesif terhadap anak perempuannya, memaksanya menikah tanpa mempertimbangkan pendapat sang anak, tidak mementingkan pendidikannya, dan lain-lain. Yang paling parah adalah agama sering dijadikan legitimasi untuk melakukan hal-hal buruk tadi. Misalnya, suami memukul istri berdalih al-quran yang memerintahkan hal itu ketika dia khawatir istrinya nusyuz, orangtua memaksakan kehendak dengan dalil anak harus taat walinya dan sebagainya. Jadilah, wanita yang tadinya menerima keadilan dan diangkat derajatnya oleh Islam kembali menderita dan direndahkan, bedanya kali ini perlakuan buruk itu mengatasnamakan Islam. Akhirnya yang muncul adalah ketimpangan. Kemudian alih-alih kembali kepada Islam, saat Islam mulai bersentuhan dengan budaya Eropa, mereka mengira dapat menyelamatkan diri dengan mengimpor ide dari Barat tentang emansipasi. Emansipasi yang tercetus dari wanita Barat ini pun kemudian hadir, kesetaraan gender digelar, bendera feminisme dikibarkan. Diantara kaum wanita mulai bangkit dan menuntut kesetaraan antara pria dan wanita. Padahal wanita Barat itu sendiri salah kaprah dalam memulai paham ini. Saat agama yang mengekang wanita untuk maju berganti dengan sekularisme yang menjadikan standar kebahagiaan dan kesuksesan adalah dunia, saat itulah tiada lagi kehormatan bagi wanita. Wanita merasa direndahkan, menderita ketidakadilan karena banyak haknya yang tidak dipenuhi, dan menderita kekerasan. Ketika para pencetus feminisme terlibat dalam permaslahan tersebut, mereka juga berbeda dalam menganalisis penyebab dan kemudian merumuskan solusinya. Makanya hadir berbagai aliran dan perkembangan, geraknya pun ada beberapa gelombang.
Dampak dari Perkembangan Pemikiran Feminisme
Ada sebuah ungkapan “Wanita adalah tiang Negara!”. Hancur atau majunya suatu Negara tergantung bagaimana kondisi perempuan yang ada di dalamnya. Seorang penyair bahkan mengatakan bahwa apabila kamu mendidik lelaki, maka kamu hanya mendidik seorang saja. Namun ketika kamu mendidik seorang wanita, maka sebenarnya kamu mendidik satu generasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya yang akan meneruskan tongkat estafet peradaban ini. Hal itu berarti melihatkan betapa strategisnya kedudukan wanita, terutama dalam melipatgandakan hasil pendidikan.
Namun gerakan feminis pada akhirnya telah menjauhkan wanita dari kehangatan sebuah keluarga. Kaum wanita terlalu sibuk mengejar karir dan bersaing dengan pria untuk membuktikan eksistensi mereka. Dapat dikatakan bahwa apa yang mereka lakukan sudah melebihi batas wajar atau istilahnya “kebablasan” dalam menerapkan emansipasi ala feminisme dan genderisme. Banyak dari mereka kemudian mengalami alienasi, depresi dan masalah psikologis lainnya, karena melawan naluri dan kodrat (nature) sebagai wanita. Sungguh naif jika masih ada saja orang-orang yang menganggap bahwa feminisme dapat memberikan solusi bagi permasalahan wanita di dunia Islam, karena feminisme sukses merusak wanita yang seharusnya menjadi tiang keluarga maupun Negara.
Padahal, permasalahan wanita Barat dan muslimah itu berbeda. Jika wanita Barat masih belum keluar dari masa jahiliyah ketika yang kuat (pria) menindas yang lemah (wanita), muslimah sudah bebas dari itu semua, hanya saja karena banyak penyimpangan yang disebutkan sebelumnya, cahaya yang mereka genggam jadi meredup. Atau justru yang mereka anggap cahaya itu adalah kegelapan. Bukan islam yang menindas mereka, tetapi orang-orang tanpa ilmu yang memanipulasi Islam yang melakukannya. Lalu, perlahan tapi pasti mereka berjalan mengikuti langkah pembebasannya wanita Barat dan semakin tersesat jauh dari fitrahnya.
Ketika muslimah sudah tersesat sejauh itu, keluarga yang rapuh. Masalahnya adalah peran wanita tidak kalah pentingnya didalam keluarga. Perbedaan peran dalam Islam tidak menyiratkan satu lebih penting atau lebih baik atau lebih hebat dari yang lainnya. Setiap peran itu ada porsi masing-masing yang akan berdampak besar terhadap keharmonisan keluarga. Sementara itu, solusi feminisme untuk “membebaskan wanita” dari aliran manapun sama saja adalah untuk melepaskan peran utama wanita yang digariskan Penciptanya, yaitu punya tanggung jawab besar didalam rumah. Mereka sepakat akan satu hal: wanita memiliki hak penuh untuk menentukan sikap sendiri, hak atas tubuhnya, dan lain-lain, tidak ada otoritas yang berkuasa atasnya sekalipun Tuhan yang dapat menyuruh ia untuk melakukan sesuatu. Jadi terbayang, jika muslimah yang teracuni pemikiran feminisme mungkin akan menolak patuh pada suami, mementingkan pencapaian pribadi daripada keluarga, mengadakan perlombaan cari tahta, harta dan kenikmatan syahwat yang bukan fitrahnya wanita. Bahkan sampai ada yang berani menggugat ayat al-qur’an karena dianggap diskriminatif.
KESIMPULAN
Islam merupakan agama yang satu-satunya memuliakan wanita dan mengangkat martabat wanita. Hanya saja banyak wanita yang belum tersadar akan perannya sebagai muslimah dan akhirnya terjebak dalam pemikiran-pemikiran sesat yang bukan dari islam. Faktanya, semua itu tidak menyelesaikan masalah muslimah, tetapi malah membuat masalah semakin rumit. Padahal muslimah tinggal pulang saja, kepada Islam. Wallahu’alam
TOLAK FEMINISME DARI INDONESIA…KARENA :
1. TIDAK SESUAI DENGAN AGAMA..iSLAM KHUSUSNYA..SEMUA AGAMA PADA UMUMNYA..
2. TIDAK SESUAI DENGAN IDEOLOGI PANCASILA..TERUTAMA SILA PERTAMA.
3. FEMINISME BUKAN IDEOLOGI YANG ILMIAH. CTH : MEREKA MEMPROTES BAHWA NASHAB TIDAK BOLEH HANYA DARI AYAH..PADAHAL..ARTI NASH ADALAH SUMBER/BIBIT…BIBIT BERASAL DARI PRIA ( SPERMA )…MEREKA MENGATAKAN BAHWA PRIA DAN WANITA ADALAH SETARA DAN SAMA ( SECARA UTUH -..PADAHAL BANYAK PENYELIDIKAN YANG MENGATAKAN BAHWA PRIA DAN WANITA TERDAPAT PERBEDAAN2 BAIK SECARA POTENSI PSIKOLOGI MAUPUN FISIK.