Oleh: Fajar Hamid
Jamaah Shalahuddin merupakan bagian dari Universitas Gadjah Mada. Oleh karena itu, peranannya pun harus merepresentasikan jati diri UGM. Surat Keputusan Majelis Wali Amanah (MWA) UGM Nomor 19/SK/MWA/2006 tentang Jati Diri dan Visi UGM telah menentukan lima jati diri UGM, yaitu Universitas Nasional, Universitas Perjuangan, Universitas Pancasila, Universitas Kerakyatan, dan Universitas Kebudayaan. Setiap jati diri yang tertuang dalam surat keputusan tersebut memiliki makna yang luar biasa. Sudah barang tentu, ketika berbicara tentang Jamaah Shalahuddin, jati diri UGM harus disesuaikan dengan kondisi Jamaah Shalahuddin saat awal berdiri sampai sekarang.
Jati diri yang disampaikan pertama adalah UGM sebagai Universitas Nasional. Perwujudannya adalah UGM menjadi universitas persatuan yang selalu berdiri di atas kepentingan nasional di atas kepentingan golongan atau daerah. Hal ini dibuktikan dalam pasal dua SK Jati Diri dan Visi UGM:
“Universitas Nasional, yaitu universitas yang mempertahankan dan mengembangkan kesatuan dan persatuan bangsa, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mengedepankan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah dan golongan.”
Semangat ini juga mendasari berdirinya Jamaah Shalahuddin. Berdirinya Jamaah Shalahuddin sebagai hasil pemikiran dari keresahan beberapa mahasiswa karena ketika itu terjadi perselisihan di antara kubu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Perselisihan antara kubu Islam dan kubu nasionalis. Terjadinya perselisihan tersebut membuat para founding father berinisiasi untuk menyatukan pemikiran-pemikiran itu dalam satu jamaah yang sekarang ini dikenal dengan Jamaah Shalahuddin. Semangat persatuan ini juga disampaikan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 103 yang berbunyi, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. Penanaman semangat persatuan tidak hanya berhenti dalam sejarah, tetapi dalam diri kader-kader Jamaah Shalahuddin harus selalu ditanamkan karena hakekatnya Islam tidak akan jaya tanpa persatuan.
Universitas Perjuangan adalah jati diri selanjutnya yang harus dimiliki oleh Jamaah Shalahuddin. Jamaah Shalahuddin dibangun dengan darah dan keringat yang pada awal berdirinya dihiasi oleh rezim otoriter Soeharto. Ketika itu Soeharto sangat tidak menyukai idelogi Islam sehingga membuat perjuangan Jamaah Shalahuddin menjadi berat. Banyak saksi sejarah yang menyaksikan beratnya perjuangan ketika itu. Salah satunya Gelanggang UGM, yang sekaligus menjadi tempat awal berdirinya Jamaah Shalahuddin. Di tempat ini Jamaah Shalahuddin pernah mengadakan satu kegiatan, yaitu teater lautan jilbab. Kegiatan yang diinisiasi oleh Emha Ainun Najib ini diadakan sebagai bentuk perjuangan karena pada saat itu pemakaian jilbab oleh wanita menjadi sesuatu yang dilarang. Penggambaran perjuangan tempo dulu bukan untuk menghasilkan euforia semata, tetapi agar terjadi keberlangsungan perjuangan dengan memperhatikan perkembangan yang terjadi.
Pancasila merupakan jati diri UGM yang selanjutnya. Dalam konteks ini, Pancasila memiliki beberapa tafsiran. Namun, jika dikaji secara tekstual, sila-sila dalam pancasila tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Nilai tauhid dan akhlak sudah tertera dalam sila pertama sampai sila kelima. Berbicara tentang Pancasila tidak bisa terlepas dari Piagam Jakarta. Perubahan Piagam Jakarta menjadi Pancasila yang sekarang ini merupakan hasil kompromi dengan orang-orang yang tidak menyukai Islam tanpa melepaskan nilai-nilai Islam. Hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi Jamaah Shalahuddin yang harus bisa berbicara dengan keadaan tanpa melepaskan ketaatan. Pembelajaran dalam Pancasila lainnya juga tertera dalam tridarma perguruan tinggi yang dapat pula diimplementasikan oleh Jamaah Shalahuddin, yaitu Pendidikan/Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan/pengajaran mendidik Jamaah Shalahuddin untuk cinta akan ilmu pengetahuan. Penelitian mengajarkan akan pentingnya nilai objektivitas dalam menilai sehingga didapat kenyataan dan kebenaran. Terakhir, pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan prinsip Jamaah Shalahuddin, yaitu berangkat dari keikhlasan untuk membuat karya yang prima untuk masyarakat.
Jati diri selanjutnya yang harus dimiliki Jamaah Shalahuddin adalah Universitas Kerakyatan. Peran Jamaah Shalahuddin dalam membangun jati diri ini dengan cara menjadikan rakyat sebagai guru yang harus dijadikan sebagai lahan belajar, bukan lagi sebagai sesuatu yang lemah yang harus diberdayakan. Dengan posisi seperti ini, peran Jamaah Shalahuddin akan lebih menyatu dengan rakyat. Pada hakikatnya, Jamaah Shalahuddin adalah bagian dari rakyat itu sendiri sehingga setiap langkah dan geraknya harus memiliki tujuan untuk membangun bersama tanpa terjadi dikotomis.
Terakhir, Universitas Gadjah Mada adalah Univesitas Kebudayaan. Kebudayaan tidak dapat terlepas dari masyarakat karena merupakan satu kesatuan. Cakupannya meliputi nilai, tradisi, karya, pemikiran, dan seni. Dalam hal ini pun, Jamaah Shalahuddin sudah menerapkannya. Hal ini terbukti dengan diadakan Teater Lautan Jilbab, Teater Djajal, dan pementasan-pementasan lainnya. Teater merupakan seni peran yang sangat digandrungi masyarakat saat itu sehingga menjadi pemilihan metode dakwah yang dipakai. Tentu saja, kebudayaan selalu berkembang mengikuti zaman. Bila dikaitkan dengan sekarang, Jamaah Shalahuddin harus mencari inovasi dakwah baru yang mengikuti kebudayaan sekarang.
Penghayatan lebih mendalam akan jati diri UGM merupakan suatu bentuk pemikiran yang harus dijalankan oleh Jamaah Shalahuddin. Dinyatakan demikian karena pada hakekatnya nilai-nilai yang disebutkan dalam jati diri UGM tidak ada yang bertentangan dengan Islam, bahkan selaras dengan Islam. Bentuk gerakan sadar diri bahwa Jamaah Shalahuddin adalah satu kesatuan dengan Universitas Gadjah Mada.
Referensi :
Zaenudin. Menelusuri Jati Diri Universitas Gadjah Mada dalam Lembaran Arsip. Koleksi arsip UGM.
SK MWA UGM No. 19/SK/MWA/2006 tentang Jati Diri dan Visi UGM.