(Masih) Melawan Ketakutan yang Berlebihan

Oleh : Kajian Strategis Jama’ah Shalahuddin

Kronologi Penolakan UAS di UGM

Seperti yang telah tersebar di jagad maya dan bahkan menjadi tren di twitter, penolakan atas kedatangan Ustaz Abdul Somad (UAS) dari UGM disampaikan melalui Warek Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan bersama dengan Warek bidang SDM dan Aset kepada pihak Takmir Maskam UGM pada Rabu (9/10) pagi. Pelobian pertama dilakukan oleh Rektor yang saat itu sedang berada di Kairo kepada Sekretaris Maskam UGM, Prof. Edy Meiyanto via telepon. Negosiasi ini berujung pada permintaaan kepada Takmir Maskam untuk menemui Warek Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan (Prof. Djagal) bersama dengan Warek bidang SDM dan Aset (Prof. Bambang). Pihak Maskam diwakili oleh Ketua Takmir (Pak Mashuri) dan Wakil Ketua Takmir (Prof. Zufrizal).

Dalam pertemuan tersebut, Prof. Djagal memaksa pembatalan pengundangan UAS dengan argumen “tekanan dari luar” utamanya beberapa “alumni”. Beliau juga mengungkapkan bahwa UGM mempunyai potensi menarik nama-nama besar, seperti Mensesneg (Pak Pratikno) dan Gubernur DIY (Sultan Hamengkubuwono X). Argumen lain adalah timing yang tidak tepat, karena mendekati pelantikan presiden pada 20 Oktober mendatang. Ketua takmir Maskam menolak argumen itu dengan alasan forum yang direncanakan adalah kajian yang bersifat akademik. Selain itu pihak takmir juga mempertanyakan siapakah “alumni” yang dimaksud ini, apakah mereka pernah berkontribusi atau paling tidak mengunjungi masjid, jangan-jangan hanya “orang luar”.

Perdebatan berlanjut hingga menemui deadlock. Argumen terakhir disampaikan oleh Prof. Djagal bahwa entitas Maskam itu berada di bawah UGM, maka apa kata Rektor harus dipatuhi. Pihak Takmir Maskam tetap tidak bersedia membatalkan acara tersebut, sehingga meminta Rektorat UGM secara langsung yang bersurat kepada UAS mengenai pembatalan. Takmir juga meminta agar surat pembatalan ditembuskan kepada Takmir, sebagai pertanggungjawaban kepada jemaah. Sampai sekarang  Takmir Maskam masih menunggu surat dari rektorat. Jika tidak keluar, secara otomatis kajian UAS akan tetap dilaksanakan karena syarat pembatalan resmi tidak dipenuhi oleh pihak rektorat.

 

Problematika Jati Diri UGM

Tulisan Zaenudin, yang menjadi sumber utama sosialisasi jati diri UGM kepada mahasiswa baru, menyebutkan bahwa sejatinya penguatan jati diri UGM dilakukan untuk mengukuhkan posisi UGM di tengah terjangan problematika fundamental antara idealisme dan pragmatisme, serta moral yang vis a vis dengan kapitalisme. Sayangnya, justru jati diri UGM ini yang menjadi “tameng” rektorat UGM dalam pusaran polemik yang terjadi dan bukan menjadi senjata untuk melawan dan menegaskan posisinya yang netral sebagai institusi akademik. Mudah sekali sepertinya untuk menjadikan jati diri UGM sebagai indikator, padahal poin praktis dari jati diri ini sebenarnya sangat subjektif. Bahkan boleh dibilang sangat selektif, tergantung mana yang didukung oleh para ‘pendukung’ pemangku kekuasaan.

Bukti nyata penggunaannya adalah pernyataan Iva Ariani selaku Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM, dikutip dari Republika, bahwa pembatalan datangnya Ustadz Abdul Somad dilakukan atas kekhawatiran tidak selarasnya kegiatan akademik dan non-akademik dengan jati diri UGM. Padahal sudah jelas sejelas-jelasnya bahwa tema kuliah umum yang disampaikan adalah keilmuan, khususnya pengembangan paradigma keilmuan profetik yang memang sedang dikembangkan di Maskam UGM. Judulnya pun tidak mengandung nilai yang bertentangan dengan lima jati diri UGM yang tercantum dalam statuta UGM: universitas nasional, universitas perjuangan, universitas Pancasila, universitas kerakyatan, dan universitas pusat kebudayaan. Maka timbullah pertanyaan, darimana pernyataan tersebut berasal? Benarkah dari perbandingan jati diri UGM atau justru dari jati diri UGM yang diharapkan oleh para stakeholder?

Penolakan sepihak dari UGM atas pembicara di Masjid Kampus tidak hanya terjadi satu kali ini saja. Pada kegiatan Ramadhan di Kampus tahun lalu misalnya, beberapa pembicara luar, bahkan dosen UGM sendiri pun dilarang untuk tampil sebagai pembicara. Walaupun telah panitia yakinkan akan substansi yang dibahas, dan alur diskusi yang dikendalikan oleh moderator, namun tetap penolakan bulat dari UGM. Menariknya, beberapa kegiatan lain seperti pemutaran film Senyap di FISIPOL pada tahun 2014, atau kegiatan salah satu UKM UGM yang mengadakan diskusi terkait Himpunan Mahasiswa Gay pun mengalami permasalahan. Hal ini semakin mempertanyakan kebebasan dari mimbar akademik di UGM.

 

Kebebasan Mimbar Akademik

Kampus merupakan entitas institusi pendidikan tertinggi, sehingga sudah sepantasnya menjunjung tinggi kaidah-kaidah akademik. Dari kampus pula dapat bermunculan berbagai macam gagasan dan inovasi perkembangan dari berbagai ilmu pengetahuan, sehingga kita mengenali kampus sebagai kampung diskusi untuk saling bertukar gagasan. Dasar-dasar pemikiran inilah yang membentuk sebuah prinsip kesepakatan kampus, yakni kebebasan mimbar akademik.

Kebebasan mimbar akademik menurut PP No 67 Tahun 2013 mengenai Statuta Universitas Gadjah Mada adalah kebebasan mengemukakan pendapat secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun dan cabang ilmunya dalam lingkungan perguruan tinggi serta forum perguruan tinggi yang berbentuk ceramah, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya. Dan yang dimaksud kebebasan akademik adalah kebebasan untuk mendalami, memelihara, dan memajukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pelaksanaan Tridharma. Kebebasan ini seharusnya menjadi ciri kenetralan kampus sebagai institusi akademik  dari dinamika pihak eksternal. Konsekuensinya, kampus bersifat independen dalam mengkaji berbagai macam fenomena dari sisi akademik. Konsekuensi lainnya adalah diperlukannya instrumen perlindungan bagi civitas akademika dalam melaksanakan kebebasan mimbar akademik itu sendiri.

Sayangnya, seperti yang kita pahami, keputusan UGM untuk membatalkan secara sepihak berbagai kegiatan akademik justru berkontradiksi dengan statuta kebebasan mimbar akademiknya sendiri. Para mahasiswa pun kini bertanya-tanya, “kemanakah prinsip kebebasan mimbar akademik di UGM?” Argumentasi yang paling sering disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa dari pihak UGM sendiri antara lain adalah (1) tekanan pihak eksternal, (2) menjaga nama baik UGM, dan (3) menghindari kekacauan dari masyarakat. Kenetralan kampus seharusnya menjadi konsekuensi utama atas adanya kebebasan mimbar akademik, dengan demikian kampus bersifat independen dengan segala pengkajiannya di dalam kampus. Rapuhnya kejelasan regulasi kebebasan ini dari kampus membuka celah bagi faktor-faktor luar, yang seharusnya dapat diantisipasi, untuk masuk dan menodai wilayah kebebasan mimbar akademik. Terlebih lagi saat ada pernyataan pihak eksternal, maka independensi kampus pun dipertanyakan. Seharusnya kampus sudah siap untuk memastikan segala regulasi kebebasan ini, baik dari pengaturan hingga perlindungan bahkan sampai tahap pertanggungjawaban, sehingga pihak eksternal tidak dapat menggoyahkan kampus.

Sudah saatnya UGM tegas mempertahankan kebebasan akademiknya. Kalau tidak, maka UGM akan didikte dalam ucapan maupun tindakan, fenomena yang menjadi kebalikan dari makna kebebasan itu sendiri. Kondisi tersebut dapat menjadi awal degradasi gagasan-gagasan besar yang bisa diciptakan oleh kampus. UGM seharusnya tidak menginginkan hal itu terjadi karena akan menyebabkan efek kerugian jangka panjang, apalagi dengan kondisi zaman saat ini menuntut reproduksi gagasan untuk beriringan dengan perkembangan ilmu, terutama teknologi, yang sangat pesat. Perihal nama baik ataupun kondusif tidaknya kampus (yang bisa jadi dikhawatirkan dan diutamakan) dapat diantisipasi melalui penegasan kembali kebebasan mimbar akademik UGM dan penjelasan instrumen-instrumen yang terlibat. Tentu saja ini jika dan hanya jika UGM ingin serius mempertahankan nilai ini.

Nama baik kampus yang berusaha dipertahankan serta situasi kondusif tidaknya masyarakat yang menjadi pertimbangan dapat berakar dari pengundangan pembicara yang sedang menjadi sorotan publik. Sebagai dampaknya, isu yang mengelilingi tokoh ini juga ikut di dalam ranah kampus. Salah satu tawaran yang disampaikan dari pihak kampus dalam menyiasatinya adalah tidak menampilkan pembicara tersebut dalam mimbar tunggal. Sistem panel bersama pihak lain dapat menjadi solusi penyeimbang karena adanya variasi perspektif. Namun, dapat kita pertanyakan kembali, jika memang itu adalah sistem yang dipakai, apa standar yang dapat menentukan diskusi panel lebih baik daripada mimbar individual bagi pembicara terkait? Apakah semua pembicara yang diundang ke UGM diperlakukan demikian atau hanya pembicara yang diundang oleh mahasiswa saja? Atau justru ada penilaian khusus? Berbagai ketidakpastian dan standar yang abu-abu mengelilingi siasat yang ditawarkan oleh UGM ini. Karena jika memang kita ingin adil (bukan hanya ke pembicara tertentu dan atas standar suka-suka), maka panel menjadi sebuah acara yang paling sering diadakan di UGM baik atas inisiasi kampus maupun mahasiswa.

Masih banyak fenomena yang terjadi yang banyak menimbulkan pertanyaan. Jika kampus masih peduli dengan dinamika diskusi keilmuan dan munculnya gagasan-gagasan baru karena berbagai macam perspektif hadir, maka ketegasan kampus dalam mengawali kebebasan mimbar akademik harus menjadi langkah awal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.