Pendahuluan
Islam dalam konsepnya yang paling dasar adalah sebuah agama yang menekankan pokok ajarannya sebagai kepatuhan total manusia kepada tuhan. Konsep ini amatlah penting sehingga dikatakan bahwa tidaklah suatu orang benar-benar beriman jika ia belum memiliki sikap pasrah kepada tuhan.[1] Muhammad Asad seorang mufassir Al-Quran dalam komentarnya terhadap ayat (Innaddina ‘inda llahil Islam)“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam”[2] menerjemahkan kata Islam di ayat ini dengan merujuk kepada makna generik dari kata-kata Islam, yaitu sebagai sikap kepasrahan dan ketundukan, bukan sebagai institusi keagamaan formal. Sehingga apabila dibaca ulang maka ayat tersebut akan berbunyi “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah sikap pasrah (Kepada-Nya [Islam])” (Dalam Bahasa Inggris, “Behold, The only true religion in the sight of god is [man’s] self-surrender unto Him”.[3] Maka dari itu, bagi seorang muslim wujud paling hakiki dari suatu iman terhadap agamanya adalah sikap tawakkal dan ikhlas dalam mengikuti segala kehendak tuhan yang bersifat ilahiah (Divine Will) dalam menjalani keseharian hidupnya, baik dalam hal ibadah maupun dalam hal muamalah.
Kehendak tuhan ini dalam tataran yang abstrak normatifnya disebut sebagai syariah, yang secara etimologis berasal dari kata syara’a al’syai’a yang berarti suatu tempat atau jalan untuk mengambil air, dan didefinisikan sebagai peraturan atau ketetapan yang Allah perintahkan Kepada hamba-hamba-Nya.[4] Syariah ini kemudian diturunkan kembali menjadi sekumpulan hukum hukum agama yang lebih praktis-kontekstual yang disebut sebagai fiqh. Jika disimpulkan secara sederhana maka syariah sebagai konsep yang lebih tinggi adalah sesuatu yang menjadi tujuan. Sedangkan fiqh adalah metode atau cara untuk mencapai tujuan tersebut.[5]
Menariknya, salah satu fenomena yang sekarang sedang terjadi ialah terjadinya perebutan klaim kebenaran dari orang-orang tertentu atau kelompok-kelompok tertentu terhadap tafsiran ajaran Islam. Salah satu ciri utama dari kelompok atau orang-orang ini adalah adanya klaim bahwa tafsiran atau pendapat mereka adalah yang paling benar dan mengklaim
bahwa tindakan mereka didasarkan kepada kehendak tuhan. Mereka menolak segala tafsiran di luar kelompok mereka dan menimbulkan saling tuding antar kelompok sebagai pihak yang salah dan sesat. Bahkan tak sedikit pula terjadinya pengkafiran antar sesama yang pangkalnya melahirkan konflik kekerasan atas nama agama. Fenomena-fenomena ini kemudian memunculkan suatu pertanyaan mendasar. Jika setiap kelompok merasa bahwa dirinya adalah yang paling benar dan masing-masing mengklaim sedang menjalankan kehendak tuhan, maka sampai sejauh mana kehendak tuhan itu bisa ditafsirkan serta bagaimana dan siapa yang paling berwenang atau otoritatif dalam menafsikan kehendak tuhan itu?
Konsep dan Sumber Otoritas dalam Islam
Khaled Abou el-Fadl seorang Professor hukum Islam dari UCLA mencoba merumuskan gagasan tentang pemegang otoritas dalam tradisi Islam. Menurutnya ada tiga hal yang menjadi pertimbangan penting dalam membentuk konsepsi pemegang otoritas dalam Islam yakni kompetensi (autentisitas), penetapan makna, dan konsep perwakilan.[6]
Yang pertama tentang masalah kompetensi, yaitu pengujian autentisitas sejauh mana suatu teks atau sumber lain yang mengklaim berisi sesuatu tentang kehendak tuhan dengan melakukan uji kualifikasi terhadap teks tersebut dan mempertanyakan sejauh mana teks tersebut dapat mewakili gagasan tentang kehendak tuhan begitu juga teks-teks yang berasal dari sahabat Nabi (Hadits). Semakin luas dan besar dampak hukum dan moral yang dihasilkan dari sumber tertentu maka tuntutan bukti autentisitas dari suatu sumber tersebut akan semakin tinggi juga.[7]
Kemudian masalah penetapan, yaitu tindakan untuk menetapkan makna dari suatu teks. Selama suatu perintah Tuhan didasarkan pada suatu teks, maka perintah tersebut juga bersandar kepada sebuah media bahasa dan bahasa memiliki realitas objektif, karena maknanya tidak bisa dilepaskan dari konteks pengarang atau pembaca saja.[8] Sebagai konsekuensinya dalam beberapa hal, teks membentuk sikap dan perilaku manusia dan begitu pula sebaliknya manusia juga membentuk makna dari teks tersebut sehingga harus ditegaskan bahwa penetapan makna
adalah sebuah negosiasi antara pengarang, teks, dan pembaca sehingga salah satu pihak tidak boleh mendominasi dalam proses penetapan makna.[9]
Dan yang terakhir yang paling penting adalah konsep perwakilan dalam Islam. Sebagai seorang khalifah di muka bumi, maka setiap manusia sebagai wakil tuhan dituntut untuk melaksanakan kehendak tuhan sesuai dengan kapasitas ilmu dan wawasannya masing-masing. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun manusia dikatakan bertindak atas nama tuhan, ia bukanlah manusia yang bebas dan dapat bertindak sewenang-wenang karena terikat oleh instruksi khusus dan mereka tidak boleh bertindak melampaui mandat yang telah diberikan serta akan dituntut pertanggungjawaban atas perbuatannya, baik secara kolektif maupun individual.[10]
Setelah memahami konsepsi otoritas seperti yang telah dijelaskan di atas, maka perlu dicatat bahwa seringkali keberwenangan tuhan karena diwakili dan dijalankan oleh manusia menyebabkan proses negosiasi dan tarik-menarik keseimbangan yang rumit antara keberwenangan tuhan dan konsep perwakilan manusia sebagai pelaksanana dan penafsir kehendak tuhan tersebut. Dinamika inilah yang menjadi titik bahasan utama yang coba diuraikan dengan meninjau catatan sejarah bagaimana perdebatan terkait konsep kewenangan tuhan dan perwakilan manusia ini terjadi di kalangan muslim setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Akar Historis Perbedaan Pendapat dalam Islam
Sudah menjadi ajaran dasar di kalangan setiap muslim bahwa sumber ajaran utama dalam memahami Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Pada awalnya, di kalangan penduduk muslim awal di madinah, perbedaan pendapat dan konflik keagamaan relatif hampir jarang terjadi karena pada saat itu Nabi Muhammad masih hidup di tengah-tengah mereka. Sebagai orang yang menerima wahyu secara langsung dari tuhan, maka secara otomatis nabi menjadi sumber rujukan mutlak paling otoritatif para sahabat untuk berkonsultasi terhadap perselisihan dan permasalahan berkaitan dengan agama yang terjadi pada masa itu, sekaligus berperan menjadi hakim yang memutus keputusan akhir terhadap segala sengketa yang ada. Persoalan mulai muncul ketika Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW maka terjadi kekosongan otoritas keagamaan pada waktu itu, dan seperti yang sudah lazim diketahui bahwa di dalam Islam tidak dikenal konsep rahbaniyyah (sistem
gereja) dimana otoritas keagamaan dipegang oleh satu orang secara mutlak maka paska nabi wafat mulai muncul masalah perbedaan pendapat di komunitas muslim pada waktu itu. Tidak hanya masalah yang menyangkut keagamaan saja tetapi juga melebar hingga masalah politik, utamanya terkait suksesi kepemimpinan setelah nabi wafat.[11]
Salah satu konflik terbesar terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu terjadi peperangan antara kelompok Ali melawan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan dalam perang Shiffin. Penyebabnya dikarenakan Muawiyah yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Damaskus di Syiria menolak untuk menerima keabsahan Ali sebagai Khalifah baru, karena menurutnya Ali terlibat dalam peristiwa terbunuhnya khalifah sebelumnya yaitu Ustman bin Affan.[12] Kelompok Ali walaupun unggul dalam peperangan, namun karena kerendahan hatinya untuk mengutamakan persatuan umat akhirnya menerima gagasan rekonsiliasi damai dari Muawiyah. Akan tetapi ada sebagian kelompok yang menolak metode tahkim (Arbitrasi) yang dilakukan oleh Ali. Mereka berpendapat bahwa dengan menerima tahkim Ali telah melanggar perintah tuhan, karena menurut pandangan mereka kedaulatan hanyalah milik Allah dan secara otomatis hukum-hukum di Al-Qur’an harus ditegakkan. Sehingga dengan menerima tahkim, Ali telah mendahulukan hukum manusia dibanding hukum tuhan, sesuai dengan tafsir mereka terhadap salah satu dalil Qur’an yang mereka usung menjadi slogan, yaitu laa hukm illa Allah (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah).[13] Di dalam riwayat, dalam menjawab tudingan ini, Ali pada waktu itu mengumpulkan orang-orang yang menuduhnya serta penduduk madinah, kemudian sambil memegang mushaf Al-Qur’an, ia kemudian berkata di depan orang-orang yang berkumpul pada waktu itu:
“Al-Qur’an hanyalah lembaran-lembaran kertas dan tinta, hanya manusia yang berbicara atas nama Al-Qur’an. Al-Qur’an hanyalah goresan di antara dua sampul dan ia tidak bisa berbicara. Ia perlu penafsir untuk bersuara dan penafsir itu adalah manusia.”[14]
Dari riwayat di atas bisa tergambar dengan jelas bahwa persoalan penetapan makna terkait kehendak tuhan serta turunannya dalam bentuk hukum-hukum sudah mengalami perdebatan di dalam masyarakat Islam paling awal. Dalam riwayat di atas misalnya, antara pandangan bahwa
hukum tuhan bisa ditetapkan dengan pasti secara mudah dengan pendekatan tekstualis tanpa perlu peran dari manusia. Dan satu lagi pandangan dari Khalifah Ali bahwa hukum tuhan itu tidak bisa ditentukan dengan mudah secara objektif dan bahwa tafsir manusia juga memainkan peran penting dalam membentuk makna dari hukum tuhan tersebut. Sebagai dampak dari perbedaan pendapat ini Ali pun akhirnya mati dibunuh oleh kelompok yang menentangnya dan menjadi tonggak awal munculnya beberapa kelompok-kelompok dalam Islam. Kelompok yang membunuh Ali kemudian dikenal dengan sebutan kaum khawarij (Secara harfiah berarti “mereka yang membelot atau memberontak”).[15]Serta muncul juga kelompok yang menganggap Ali sebagai satu-satunya pewaris kekusasaan kekhalifahan yang sah setelah nabi, kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok syi’ah (Berasal dari kata Syi’atul Ali yang berarti “pengikut Ali”)[16] dengan konsep imamat mereka.
Setelah terjadinya peristiwa yang disebut sebagai al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar) seperti yang dikisahkan sebelumnya dan munculnya kelompok Khawarij dan Syi’ah, era ini juga menandai cikal bakal munculnya berbagai macam penafsiran dan penalaran paham keagamaan yang semakin beragam, salah satunya di bidang ilmu kalam (Teologi Rasional dalam Islam). Salah satu perdebatan yang menjadi titik fokus pada waktu itu adalah polemik antara kehendak manusia dan kehendak tuhan. Kelompok pertama adalah mereka yang membela bahwa manusia secara mutlak punya kebebasan untuk menentukan amal perbuatannya sendiri dan dirinya sendiri yang mempertanggungjawabkan secara mutlak akibatnya, yang baik maupun yang buruk. Paham ini disebut sebagai paham Qadariyyah yang berarti “paham kemampuan”.[17] Di kelompok yang berseberangan, mereka mengganggap bahwa manusia tidak berdaya menghadapi ketentuan tuhan dan kehendak-Nya. Semua amal dan perbuatan semua menurut kehendak-Nya secara mutlak. Paham ini disebut sebagai paham Jabariyyah yang artinya “paham keterpaksaan”.[18] Selain daripada itu juga muncul Washil bin Atha yang dulunya merupakan murid dari Hasan al-Bashri yang kemudian memisahkan diri dari halaqah (lingkaran pengajaran) Hasan dan membentuk halaqah-nya sendiri. Kelompok halaqah Washil ini kemudian disebut sebagai golongan Mu’tazilah (mereka yang memisahkan diri)[19] walapun ada juga mereka yang berpendapat bahwa penamaan itu diambil dari kata uzlah (menyepi) karena dorongan mereka pada awalnya untuk menempuh hidup yang shalih.[20]
Golongan ini merupakan golongan yang merintis dan mencoba menggiatkan pemikiran tentang ajaran-ajaran agama yang lebih sistematis dan rasional dengan titik pijakan utama bahwa posisi akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami ajaran agama.[21] Dan kecondongan klaim kebenaran antara kelompok-kelompok ini pun mengalami tarik ulur dengan kekuasaan yang ada, misalnya pada zaman kekuasaan dinasti Umayyah, kelompok Jabarriyyah cenderung mendapat tempat di kalangan penguasa pada waktu itu karena sifat determinisme mutlak dalam pemikiran mereka, sehingga dapat digunakan sebagai legitimasi jika terdapat tindakan-tindakan yang menyimpang atau sewenang-wenang kepada rakyat.[22] Berbanding terbalik dengan zaman dinasti Abbasiyyah selanjutnya yang mengadopsi pemikiran Qadariyyah sebagai alat ideologis untuk menggulingkan dinasti Umayyah dan mengadopsi pemikiran Mu’tazilah sebagai ideologi dan paham keagamaan resmi kekhalifahan, khususnya di zaman khalifah Al-Ma’mun. Jika dilihat dari sisi positifnya, efek dari diadopsinya paham Mu’tazilah pada waktu itu dapat membuka arus pemikiran Islam secara luas dan bebas termasuk salah satu prestasinya berhasil membangun institusi Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) yang pada waktu itu berfungsi sebagai pusat kegiatan ilmiah di kalangan muslim, tetapi ironisnya di sisi lain pada saat yang sama terjadi aksi mihnah (inkuisisi) terhadap mereka yang berbeda pandangan keagamaan dengan otoritas pada waktu itu yang secara prinsipil justru bertentangan dengan dasar pemikiran Mu’tazilah yang menjunjung kebebasan berpikir dan rasionalitas.[23]
Akibat pengalaman traumatis, fitnah, dan konflik kekuasaan yang berkepanjangan ini, maka di sebagian kalangan muslim tumbuh keinginan untuk mengembangkan suatu konsep tentang kesatuan ideal seluruh kaum muslimin tanpa memandang aliran politik mereka. Bagi kelompok ini, untuk menghindarkan umat dari pertikaian lebih lanjut maka kesatuan dalam bidang kerohanian haruslah lebih diutamakan dibandingkan kepentingan-kepentingan pragmatis seperti politik kekuasaan. Konsep ini kemudian dikenal dengan konsep Jamaa’ah.[24] Sebagai konsekuensi lanjut dari munculnya paham Jamaa’ah tadi maka muncul beberapa orang yang khusus memfokuskan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan serta mengamati secara sistematis dan mendalam terhadap tradisi hidup yang dipraktekkan oleh penduduk madinah dengan asumsi dasar bahwa apa yang dilihat dari penduduk madinah adalah cerminan dari apa yang ada di zaman nabi pada waktu itu. Maka kemudian para pengkaji-pengkaji ini mengumpulkan berbagai keterangan dari penduduk Madinah tentang perkataan dan perilaku nabi yang mulai dirintis salah satunya yaitu Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas dan menjadi sejarah munculnya bidang kajian baru di dalam khazanah keilmuan Islam, yaitu bidang al-Sunnah (tradisi) Nabi. Bidang kajian yang baru ini kemudian digunakan sebagai dasar-dasar dalam pokok-pokok ajaran dalam menyusun konsep Jama’ah sehingga terjadi penggabungan antara kedua konsep ini dan menjadi sejarah terbentuknya golongan yang sekarang disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah (golongan Sunnah dan Jama’ah) atau biasa disebut dengan bahasa populer sebagai golongan sunni.[25] Golongan sunni inilah yang nantinya menjadi paham yang menjadi aliran umum yang dianut oleh kalangan umat muslim hingga saat ini.
Walaupun demikian, perbedaan pendapat masih terjadi di dalam internal golongan sunni itu sendiri dikarenakan sifat-sifat dasar mereka yang netral (dalam bidang politik), moderat, dan toleran sehingga mampu untuk menyerap berbagai paham-paham berbeda dari berbagai sisi dan menumbuhkan semacam relativisme internal dalam umat itu sendiri. Di dalam bidang fikih misalnya, selain empat mazhab yang utama dalam paham sunni (Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i) dan Syi’ah (Ja’fari, Zaydi, Ibadhi, dan Isma’ili) ada juga paham fikih yang sudah ditinggalkan seperti Ibnu Abi Layla, al-Thabari, al-Layts ibnu Sa’d, Sufyan al-Tsauri, Dawud ibn Khalaf, al-Awza’i, dan lain-lain.[26] Bahkan di dalam mazhab itu sendiri pun masih bisa ditemukan banyak perbedaan pendapat di dalamnya. Selain itu masih ditemukan juga perbedaan-perbedaan antara para sarjana Islam dahulu, misalnya dalam memandang hubungan filsafat dan agama seperti perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, serta dalam bidang tasawuf antara Ibnu Arabi dan Ibnu Taymiyyah. Selain itu masih banyak lagi beberapa perbedaan pendapat di antara ulama yang terdahulu yang rinciannya tidak bisa dijelaskan semua dalam tulisan ini.
Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Agama
Beberapa uraian singkat di atas mungkin tidak dapat secara utuh menggambarkan betapa luasnya perbedaan pendapat di kalangan internal umat muslim. Jika dipandang secara positif, hal ini menunjukkan kekayaan dan keragaman khazanah intelektual Islam, tetapi di sisi negatifnya tidak jarang juga keragaman pendapat itu menimbulkan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat muslim itu sendiri. Perbedaan ini disebabkan karena berbagai macam faktor, seperti pemahaman setiap orang yang berbeda-beda tentang Al-Qur’an dan Sunnah, baik dari segi kebahasaan, sejarah, serta metode ta’wil yang digunakan untuk memahami kedua sumber utama ajaran Islam tersebut.
Salah satu persoalan penting yang harus dipahami adalah kita perlu membedakan antara Al-Quran dan Sunnah dengan tafsiran dan pemikiran tentang Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama dalam memahami ajaran Islam adalah sesuatu yang mutlak dan bersifat final sedangkan tafsiran Al-Qur’an dan Sunnah itu bersifat nisbi dan bisa berubah. Dengan kerangka pemikiran seperti ini, maka Al-Qur’an dan Sunnah dapat diposisikan sebagai teks terbuka dan segala perbedaan pendapat terhadap tafsir dapat ditinjau dari segi akademis ilmiah dalam rangka mencari kebenaran dan tidak selalu ditarik menjadi permasalahan teologis semata. Hal ini juga menghindarkan adanya klaim kebenaran dari kelompok tertentu atas kebenaran tafsir Al-Qur’an dan Sunnah secara sepihak. Begitu ada klaim kebenaran yang didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang mengunci segala macam bentuk penafsiran lain selain daripadanya, maka Al-Qur’an dan Sunnah berubah menjadi teks tertutup dan terjadi pencampuran sifat antara sumber yang mutlak dan sifat penafsir yang nisbi, sehingga menghasilkan suatu bentuk penafsiran yang otoriter dan sewenang-wenang. Sebagai konsekuensinya, terjadi absolutisme keagamaan karena mengatasnamakan Tuhan sebagai pembenaran terhadap kezaliman yang dilakukan, yang secara metaforis mungkin dapat digambarkan dengan ungkapan populer yang pernah diucapkan oleh seorang sufi Mansur Al-Hallaj, ketika ia berkata ana Al-haqq (Akulah kebenaran!).
Kemudian dalam masalah perbedaan pun perlu diperhatikan pokok-pokok tema yang menjadi bahasannya. Seringkali masalah perbedaan ini banyak menyentuh masalah furu (cabang) dan tidak menyangkut masalah ushul (pokok) agama. Kita melihat misalnya beberapa waktu yang lalu di saat masa pemilihan umum berlangsung, seseorang dapat dicap beriman dan tidak beriman hanya berdasarkan pilihan politiknya saja. Padahal pilihan politik, cara berpakaian, dan masalah sepele lainnya hanyalah masalah furu’iyyah di dalam agama dan tidak dapat dijadikan dalih sama sekali untuk menghakimi status dan kualitas keimanan seseorang. Di samping itu, yang lebih menyedihkan lagi bahwa ajaran agama yang lebih pokok seperti menegakkan keadilan dan berperilaku baik antar sesama seringkali dikesampingkan dan lebih banyak energi yang dihabiskan untuk berdebat masalah khilafiyah yang menjerumuskan banyak orang ke dalam pertengkaran yang tak ada habis-habisnya.
Kisah umat-umat terdahulu yang telah diberikan kitab suci pun bisa menjadi pelajaran dan hikmah bagi kita semua. Bagaimana perpecahan bisa terjadi justru setelah diturunkannya kitab suci yang bertujuan untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup bagi umat terdahulu. Tetapi bertentangan dengan tujuan luhurnya, ia justru menjadi sumber perpecahan dikarenakan masing-masing kelompok yang cenderung kepada pendapat tafsiran masing-masing. Dan apa yang terjadi selanjutnya adalah perselisihan dan perpecahan sebagai hal yang tidak terelakkan.[27] Islam pun juga demikian, kita mendengar perkataan bahwa Islam yang sejati hanyalah satu saja. Pernyataan ini pun sebenarnya kurang tepat dan cenderung ahistoris karena mengabaikan realita keberagaman yang ada di kalangan umat muslim sejak dulu. Memang Islam itu satu secara sumber pokok ajarannya, akan tetapi keberIslaman sebagai manifestasi lahiriah dari nilai agama itu tidak bisa direduksi menjadi definisi tunggal saja. Tiap muslim tentu punya penafsiran sendiri terkait ajaran agamanya, maka sering kita jumpai corak keagamaan yang khas antara satu tempat dengan tempat yang lain, dimana ajaran agama bersinggungan dengan budaya dan kondisi sosial masyarakat itu sendiri. Tidak mengherankan pula jika nantinya ekspresi keagamaan ini akan semakin banyak lagi dikarenakan dinamika perkembangan zaman yang menuntut penyesuaian dalam ekspresi keagamaan dan menghasilkan bentuk keberIslaman yang berbeda pula. Maka segala bentuk penyeragaman sebenarnya menyalahi fitrah dasar manusia dan kehendak Allah yang memang menciptakan manusia dengan keragaman dan ciri khas-nya, padahal perbedaan diciptakan bukan agar tiap-tiap manusia saling mengklaim mana yang paling benar, tetapi agar tiap-tiap manusia dapat diuji dengan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki, semua dalam rangka berlomba-lomba untuk berbuat amal kebaikan sebanyak-banyaknya di dunia.[28] Perbedaan sejatinya adalah sunnatullah dan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.[29]
Jika perbedaan adalah suatu keniscayaan,maka menghargai perbedaan pun merupakan sepatutnya suatu kemestian yang harus dilakoni. Ikhtilafu min ummati rahmah (perbedaan di dalam umatku adalah rahmah) begitulah ungkapan nabi dalam menyikapi keberagaman dalam umatnya. Perbedaan dapat menjadi rahmah apabila setiap pihak dapat secara arif dan tulus mencari kebenaran dalam setiap pembelajaran dan penelitian yang ia lakukan dan tidak ada pemutlakan di dalamnya. Begitu terjadi pemutlakan, maka sifat rahmah tadi akan berubah menjadi laknat serta bencana kekerasan dan permusuhan atas nama agama. Padahal sifat mutlak hanyalah milik Allah semata, bukan pada produk pemikiran manusia yang bersifat relatif dan tidak final. Bahkan seorang Imam malik yang memiliki status sebagai seorang mujtahid mutlak pun menolak ketika ditawari agar kitab al-Muwattha miliknya dijadikan paham resmi kekhalifahan dan lebih memilih untuk membebaskan orang-orang untuk memilih paham dan pendapat keagamaan yang paling mereka sukai agar menghindari potensi pemutlakan dan penyeragaman paham yang bisa timbul darinya. Kita juga dapat melihat keteladanan ulama-ulama fikih yang saling mengkritik pandangan satu sama lain secara kritis yang melahirkan beragam pendapat dalam fikih tetapi di dalam perbedaan pendapat tersebut mereka tidak melupakan hubungan silaturahim mereka sebagai sesama teman, murid, dan guru. Bahkan khalifah Ali pun tidak pernah mengangkat senjata dan tetap menjamin keamanan kaum khawarij serta tetap sholat bersama di masjid yang sama dengan mereka, meskipun mereka memusuhinya secara terang-terangan dikarenakan perbedaan pendapat di antara mereka.
Sesungguhnya tidak ada yang bisa menjamin bahwa segala hasil pemikiran yang kita hasilkan selalu merupakan suatu kebenaran yang pasti. Selalu ada potensi kesalahan yang mungkin bisa terjadi akibat sifat khilaf kita sebagai manusia. Oleh karenanya pencarian kebenaran dalam agama haruslah dipandang dalam koridor Ijtihad yang memiliki dimensi manusiawi. Sebuah hadist terkenal yang mengatakan bahwa “Barangsiapa yang berijtihad dan ia benar maka ia mendapat dua pahala dan jika salah ia mendapat satu pahala”. Sebagai implikasi bahwa Islam adalah agama yang terakhir dan nabi Muhammad sebagai penutup para nabi, maka Al-Qur’an adalah wahyu terakhir yang diturunkan. Kini, nabi sebagai orang yang mendapat misi risalah tersebut dengan otoritas mutlaknya sudah tidak berada di tengah kaum muslimin untuk menjelaskan ajaran agama dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masa kini. Satu-satunya jalan untuk memahami dan menafsirkan kehendak tuhan yang terdapat dalam wahyu dan kontekstualisasinya di zaman sekarang adalah dengan ijtihad, dengan catatan bahwa tidak ada pemutlakan di dalam prosesnya. Sikap ini pun mendapat penegasan di dalam salah satu ayat Qur’an yang berbunyi “wa fawqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim” yang jika diterjemahkan secara bebas akan dibaca menjadi “sesungguhnya di atas setiap orang yang berpengetahuan ada orang lain yang lebih berpengetahuan, dan di atas semuanya ada ia yang maha mengetahui”.[30] Ayat ini dengan jelas menyiratkan bahwa tidak ada finalitas dalam beragama dan pemikiran Islam bersifat dinamis, egaliter, serta tidak dapat dimonopoli oleh orang atau kelompok tertentu saja.
Terakhir sebagai penutup, ada satu frasa yang biasanya sering dituliskan ulama-ulama terdahulu dalam bagian akhir kitabnya, yaitu frasa “wa-Allah a’lam bi al-shawab” (dan Allahlah yang lebih mengetahui mana yang benar). Frasa ini dalam pemaknaannya tidak sebatas hanya menjadi kalimat retoris semata, tetapi mencerminkan suatu sikap kerendah hatian dalam mengemukakan pendapat dan kesediaan mengakui bahwa dalam pendapat pribadi memiliki kemungkinan untuk salah serta sikap membuka diri terhadap pendapat lain yang lebih mungkin mendekati kebenaran. Dan di dalam bingkai inilah kita sebagai seorang intelektual muslim seharusnya bersikap dalam berargumen dan menyampaikan pendapat, agar perbedaan pendapat dalam umat muslim dapat memperkaya pengetahuan pribadi dan khazanah intelektual Islam secara kolektif. Bukan secara kontra produktif justru menimbulkan perpecahan dan permusuhan antar sesama. Etos inilah yang harus ditumbuhkan kembali di dalam Islam sebagai ide yang mendasari konsep ijtihad sebagai proses gerak yang dinamis dalam menemukan kebenaran dalam ajaran agama serta kontekstualisasinya dalam menjawab permasalahan kontemporer. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh berijtihad dalam rangka niat yang tulus dalam mencari kebenaran agama dan maka Allah akan menunjukkan berbagai macam jalan-jalan (Plural bukan hanya satu!) dalam menuju kepada-Nya.[31]
“Pendapatku benar, tetapi mungkin juga mengandung kesalahan. Pendapat orang lain salah, tetapi mungkin juga mengandung kebenaran.” – Imam Syafi’i
wa fawqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim
wa-Allah a’lam bi al-shawab
[1] Nurcholish Madjid, Islam : Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina), hlm. 133
[2] Q.S Ali Imran [3] : 19
[3] Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (London: E.J. Brill), hlm. 69
[4] Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam (Bandung: Mizan), hlm. 13
[5] Ibid, hlm. 26
[6] Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi), hlm. 50-51
[7] Ibid, hlm. 128-132. Perlu dicatat bahwa karena dalam Islam Al-Qur’an sebagai wahyu dipercaya sebagai firman tuhan yang selalu terjaga keaslian dan kemurniannya maka yang menjadi titik fokus penekanannya adalah dalam penentuan maknanya. Teori ini lebih ditekankan dalam sumber-sumber seperti Hadist dan bahan-bahan historis lainnya.
[8] Ibid, hlm. 133.
[9] Ibid, hlm. 135.
[10] Ibid, hlm. 54.
[11] Ibid, hlm. 23.
[12] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Pustaka Obor) 2019, hlm. 11.
[13] Q.S Al-An’am [6]: 57
[14] Imam Ali bin Abi Thalib, Nahjul Balaghah, Komentar Syaikh Muhammad Abduh (Kairo:Dar Al-Hadist), hlm. 169. Lihat juga Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism, hlm. 50.
[15] Nurcholish Madjid , Op.cit., 2019. Hlm 12.
[16] Ibid
[17] Ibid, hlm. 14.
[18] Ibid
[19] Ibid, hlm. 20-21.
[20] Ibid, hlm. 22.
[21] Ibid, hlm. 23.
[22] Ibid, hlm. 15
[23] Ibid, hlm. 24-25
[24] Ibid, hlm. 16-17
[25] Ibid
[26] Khaled Abou el-Fadl, Op.Cit. hlm. 23
[27] Lihat Q.S [3]:19, [98]: 4
[28] Lihat Q.S [2]:148, [67]:2
[29] Lihat Q.S [5]:48, [10]:99
[30] Q.S. Yusuf [12]: 76
[31] Q.S. Al-Ankabut [29]: 69
Daftar Pustaka
Abou el Fadl, Khaled. Atas Nama Tuhan: Dari fikih otoriter ke fikih otoritatif. Jakarta: Serambi, 2003.
Asad, Muhammad. The Message of the Qur’an. London: E.J. Brill, 1980.
Esack, Farid. Qur’an: Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Inter-Religious Solidarity Againts Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.
Imam Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah, komentar Syaikh Muhammad Abduh. Kairo: Dar Al-Hadits, 2003.
Madjid, Nurcholish. Islam: Doktrin & Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1994.
Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Pustaka Obor, 2019.
Qardhawi, Yusuf. Membumikan Islam. Bandung: Mizan, 2018