Oleh: Yusufshid
Ada WNI yang gabung ISIS. Mereka membakar paspornya. Tapi kemudian mereka bertaubat. Mereka ingin kembali ke Indonesia. Negara bukan tuhan yang bisa mengetahui isi hati manusia. Yang Negara harus lakukan adalah berusaha memastikan (pertaubatan)-nya. Kemudian memberikan hak-hak warga negara seadil-adilnya.
Seharusnya, sikap Negara kepada Rakyat itu sama seperti sikap Ibu kepada Anaknya. Menyayangi semuanya, tanpa membeda-bedakan.Namun, wajar jika ada sebagian warga Indonesia menolak pemulangan WNI Eks ISIS ke tanah airnya. Hal itu sebagaimana seorang anak protes ke Ibunya, menolak saudaranya yang nakal pulang ke rumah. Anak itu menolak saudaranya pulang karena, pertama dia takut dinakali oleh saudaranya, kedua karena dia ingin Ibunya memberikan reward kepada dirinya yang taat, dan menghukum saudaranya yang nakal.Namun, wajarnya seorang Ibu, ia tetap ingin seluruh anaknya berkumpul di rumah. Ibu yang bijak pasti akan memulangkan anaknya, membinanya agar menjadi baik dan menyayangi saudaranya. Ibu yang bijak juga pasti berusaha memahamkan anaknya yang penurut. Bahwa orang yang nakal itu juga saudaranya. Ibu sayang semuanya. Ibunya hanya mau berusaha bersikap adil. Tidak membedakan satu sama lain.
Negara wajib mencerdaskan seluruh putra putri bangsa. Negara juga wajib melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia. Oleh karenanya, dalam negara demokrasi tidak mengenal istilah pemenjaraan dan penjeraan. Yang ada rehabilitasi dan penyadaran. Konsep ini yang sulit dipahami oleh beberapa orang.Konsep pemenjaraan dan penjeraan itu warisan kolonialisme. Di antara bagian dari perjuangan kemerdekaan adalah memerdekakan cara berpikir masyarakat.
Konsep penjajahan itu kalau ada inlander taat diemong. Kalau ada inlander ‘nakal’ dihukum. Alhamdulillah, Indonesia secara de jure menggunakan konsep rehabilitasi, penyadaran dan pembinaan. Adanya Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) bertujuan untuk itu. Meskipun secara de facto masih ada praktik pemenjaraan dan penjeraan. Tapi Insyaa Allah, kita optimis Indonesia ke depan bisa lebih baik lagi. Pun begitu, bagi WNI Eks ISIS yang (seharusnya) dipulangkan negara. Mereka seharusnya direhabilitasi dan disadarkan. Dibina terlebih dahulu oleh negara, untuk memastikan mereka sudah benar-benar sadar dan mampu bermasyarakat kembali dengan warga lainnya.
Beberapa orang berpikir, menyadarkan kembali Eks ISIS merupakan sesuatu yang mustahil. Pun Al-Qaeda. Mereka lupa bahwa ada peran geopolitik dunia yang membidaninya lahir. Ada usaha memojokkan Islam. Ada usaha mempertahankan status quo sebagai ‘polisi dunia’. Ada pula usaha mempertahankan bisnis persenjataan.Sebagaimana pemikiran dan organisasi ‘radikal’ bisa diciptakan, mereka juga bisa ditangkal dan disadarkan. Butuh pendekatan dengan dasar ‘dalil-dalil’ Islami untuk moderasi mereka. Juga butuh pendekatan scientific secara sosiologi untuk membumikannya. Itu semua bisa dilakukan alih-alih deradikalisasi dengan represi yang justru kontra produktif dengan tujuan aslinya.
ISIS dan Al-Qaeda yang identik dengan kekerasan, merupakan citra dari peradaban di awal-awal kemunculan Islam. Lebih dari setengah pasal-pasal konstitusi Piagam Madinah bernada menjamin stabilitas Madinah dari pertumpahan darah. Dan itulah citra peradaban masa itu, yaitu pembunuhan dan peperangan yang dianggap ‘lumrah’.
Pembunuhan, peperangan dan penaklukan dianggap ‘lumrah’ oleh peradaban manusia pada masa itu. Dan Islam hadir dengan perdamaian dan mewujudkannya. Adapun penaklukan dengan ‘pedang’ oleh Islam sejatinya adalah usaha mewujudkan perdamaian guna melawan kezaliman yang lebih kejam. Maka sepatutnya penaklukan itu lebih pantas disebut sebagai ‘pembebasan’.
Peradaban bergulir. Zaman berubah. Dulu, kalangan militer cenderung lebih berkuasa atas kalangan lainnya. Kini kalangan pemodal yang cenderung berkuasa. Kita sedang menuju kalangan intelektual yang berkuasa. Ketika kekuatan fisik bertemu, terjadilah peperangan. Ketika kekuatan modal bertemu, terjadilah transaksi. Ketika kekuatan pikiran bertemu, terjadilah musyawarah. Dengan iklim politik yang demokratis, musyawarah tersebut dapat menelurkan konstitusi yang menjadi dasar berdirinya sebuah negara. Sebagaimana Piagam Madinah yang dicanangkan Rasulullah SAW dan diterima oleh seluruh penduduk Madinah termasuk kelompok-kelompok Yahudi. Piagam Madinah tersebut banyak menjadi rujukan konstitusionalisme pada era modern.
Ilmu pengetahuan semakin berkembang. Kesadaran manusia akan hak-hak asasinya semakin tinggi. Itulah yang membuat peradaban semakin maju. Isi-isi konstitusi pun berubah seiring berkembangnya waktu. Tema-tema kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, hingga kebebasan berpendapat menjadi ‘viral’ di konstitusi negara-negara modern.
Kesimpulan
ISIS yang dicitrakan dengan kekerasan sebenarnya adalah citra dari peradaban lama ketika konstitusi belum lahir, bukan citra Islam. Justru Islam hadir dengan damai dan mewujudkan perdamaian. Diperlukan pemahaman yang mendalam terkait maqosidusy syariah, serta pembacaan penuh kesadaran terkait konteks zaman untuk menelurkan konstitusi yang sesuai dengan tujuan Rasulullah diutus, rahmatan lil ‘alamin. [ ]