Pada bulan Dzulhijjah di setiap tahun, umat islam di seluruh dunia memperingati hari raya idul adha atau yang biasa disebut juga sebagai hari raya qurban. Hari raya idul adha biasa kita peringati dengan melakukan sholat berjamaah di lapangan, dilanjutkan dengan acara pemotongan hewan qurban, kemudian ditutup dengan jamuan makan bersama dengan menu sate, gulai, serta berbagai macam olahan daging lainnya.
Secara historis, diceritakan di dalam Al-Qur’an bahwa praktek kurban pertama kali dilakukan oleh kedua anak nabi Adam, Habil dan Qabil. Ibadah qurban pada waktu itu diperintahkan sebagai solusi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka berdua.
Kisah kedua yang paling populer adalah kisah nabi Ibrahim yang mendapat mimpi untuk mengorbankan anaknya, nabi Ismail. Kisah kedua nabi ini tercatat dalam kitab suci tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan menjadi praktek yang sampai saat ini terus dilakukan sebagai bagian ajaran syariat dari agama.
Ritual kurban sendiri punya akar sejarah yang panjang dalam kisah umat manusia. Peradaban-peradaban kuno dari wilayah timur tengah di Mesopotamia dan Mesir, hingga wilayah benua Amerika yang dihuni oleh suku Aztec dan suku Maya, memiliki tradisi untuk mengorbankan sesuatu sebagai persembahan kepada tuhan.
Suku Aztec memiliki tradisi untuk mengorbankan manusia setiap tahun untuk dipersembahkan kepada dewa matahari. Orang-orang Mesir menghanyutkan perempuan perawan di sungai Nila untuk memohon hujan kepada dewa-dewi Mesir ketika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan.
Jika dilihat secara sepintas, ritual korban memiliki sejarah yang erat dengan pertumpahan darah dan konflik antar manusia. Bagi sebagian orang, penjagalan besar-besaran terhadap manusia maupun hewan ternak adalah cermin dari naluri manusia untuk menyalurkan sifat-sifat kekerasan dan kejahatan dalam dirinya.
Pandangan tersebut bisa jadi benar, jika kita hanya melihat ritual kurban secara dzahir tanpa melihat lebih dalam dari sisi batinnya.
Menarik sekiranya jika kita fikirkan secara seksama kembali, sebenarnya apa maksud Allah ketika memerintahkan ibadah qurban kepada hambanya setiap tahunnya? Apa sesuatu dan makna yang kita dapatkan dari perintah berqurban ini?
Al-Qur’an menarasikan ritual qurban sebagai sarana hamba untuk belajar mendekatkan diri kepada Allah SWT, sesuai dengan akar katanya “qaraba” “yaqrabu” yang berarti “dekat” atau “mendekatkan”.
Dalam kisah qurban yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, sosiolog Iran, Ali Syariati memiliki perspektif menarik dalam menggali makna dari peristiwa tersebut. Menurutnya, “Ismail” dalam kisah tersebut tidak hanya dapat dimaknai sebagai sosok anak dari nabi Ibrahim, akan tetapi ia merupakan simbol dari dorongan nafsu dan ego yang menghalangi manusia untuk mendekat kepada tuhan-Nya.
Dalam epos cinta, kita mungkin sering mendengar adagium bahwa setiap cinta yang tulus memerlukan pengorbanan. Dan syarat sebuah pengorbanan, adalah ketika sesuatu yang dikorbankan merupakan sesuatu yang berharga atau amat dicintai oleh orang tersebut.
Bagi nabi Ibrahim, wujud cinta tersebut adalah Ismail. Ia merupakan jawaban atas doa seorang manusia yang bertahun-tahun merindukan kehadiran sosok anak dalam rumah tangganya. Ketika doa itu terwujud dalam raga Ismail, rasa cinta dalam nabi Ibrahim diuji. Manakah yang lebih besar? cinta kepada tuhan yang ia sembah atau cinta kepada anak yang sangat dirindukannya?.
Ketika nabi Ibrahim sampai di bukit Mina dan telah menghunuskan pisaunya ke leher Ismail, ternyata bukan tubuh anaknya yang telah mati yang ia temui, tetapi seekor domba besar yang menggantikan posisi anaknya.
Peristiwa inilah yang merupakan hakikat sebenarnya dari qurban, seperti yang diterangkan dalam surah Al-Hajj (22) : 37 yang berbunyi :
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Bahwa Tuhan bukanlah sosok yang haus darah dan kejam. Tidak boleh ada nyawa manusia yang dikorbankan, bahkan atas nama agama sekalipun. Allah sama sekali tidak membutuhkan daging dan darah yang dipersembahkan oleh manusia. Tetapi yang ia terima adalah kebesaran hati atas dasar ketakwaan untuk “menyembelih” rasa ego dan nafsu dalam diri manusia itu sendiri. Sekaligus sebuah pesan, bahwa setiap pengorbanan besar yang dilakukan oleh manusia akan dibalas dengan balasan yang setimpal oleh-Nya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kisah nabi Ibrahim dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. Sepanjang hidup, kita selalu bergulat dengan nafsu dan ego yang senantiasa menghalangi kita dalam melihat kebenaran dan mendekat kepada-Nya. Entah itu jabatan, kekayaan, kepopuleran, kecantikan, atau apapun. Kita semua memiliki “Ismail” dalam diri kita masing-masing.
Pilihannya kemudian ada dua, apakah kita akan membawa “Ismail” pribadi kita ke bukit Mina untuk “menyembelih-nya” dan membebaskan diri darinya. Atau kita bisa menjadi Qabil, yang karena dibutakan oleh “Ismail” dalam dirinya hingga membunuh saudara kandungnya sendiri. Betapa ironisnya, Qabil yang bergerak atas nama cinta justru menghasilkan tragedi pembunuhan pertama dalam sejarah manusia. Betapa sebuah cinta yang salah menghasilkan bentuk perbuatan yang sangat keji.
Agaknya, apa yang dikatakan nabi selepas perang badar memang betul. Bahwa jihad yang sesungguhnya bukanlah melawan ribuan musuh di Medan perang, tetapi ketika manusia bergulat untuk menundukkan hawa nafsunya sendiri.
Tentu, jalan menuju pembebasan sejati seperti yang telah berhasil dilakukan oleh nabi Ibrahim tidaklah mudah. Dalam perjalanan menuju ke bukit Mina, akan selalu ada godaan dari syaitan yang memaksa manusia untuk menyerah. Sebagian besar akan gugur di tengah jalan, dan hanya sebagian kecil yang akan sampai hingga tujuan.
Dapatkah kita menjadi pribadi yang mampu menundukkan objek duniawi, nafsu, dan egonya pribadi dan menjadi seorang manusia yang terbebas dari segala belenggu yang menghalanginya menuju tuhan-Nya?
Sepertinya, pelaksanaan Idul Adha di tengah pandemi seperti ini menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan kembali pertanyaan yang disampaikan Ali Syariati di atas
Siapa atau dalam bentuk apa “Ismail” yang ada dalam diri kita?
Dan siapkah jika kita “menyembelihnya” demi meraih cinta yang sejati?
“Cinta adalah sebuah tindakan yang berlandaskan keyakinan. Dan siapapun yang memiliki keyakinan yang lemah, juga memiliki rasa cinta yang sedikit” – Erich Fromm
Wa fawqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim
Wallahu a’lam bish-showwab