4 Februari 2024 | Haid dan Hukum-Hukumnya (2)

  1. Al-Baqarah : 223

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (2:223)

Ayat 222 berkaitan dengan haid kemudian ayat 223 lanjut bahasan lanjutannya yang masih ada hubungannya meskipun sebagian bahasannya bergeser ke tema yang lain. Bahasan tema ini dibatasi yang berhubungan dengan haid dan hubungan suami istri.

Orang-orang jahiliyah menjauhi istrinya ketika haid karena menganggap orang yang haid itu najis dan kotor. Padahal dalam Al-Baqarah ayat 222, makna “tidak boleh mendekati” bukan berarti menghindari secara keseluruhan. Rasulullah saw. memberi penjelasan terkait hal ini, yaitu: suami tidak meninggalkan/menjauhi istri secara keseluruhan. Yang dimaksud tidak boleh mendekati adalah berarti tidak boleh menggaulinya. Larangan tersebut tidak bersifat selamanya, setelah istri telah suci dari haid, seorang suami diperbolehkan untuk menggauli istri dengan cara yang baik.

Agama Islam memiliki Al-Qur’an yang mencakup berbagai ilmu dengan penjelasannya yang lengkap, detail, dan beretika, berbeda dengan kitab lain yang tidak lengkap dan memiliki penjelasan yang vulgar.

 

Asbabun Nuzul Al-Baqarah ayat 223

       Riwayat pertama menyebutkan : Ada kompleks yang dihuni oleh Kaum Yahudi yang mana mereka adalah ahli kitab (punya landasan dalam beramal, yaitu Kitab Taurat). Di sebelahnya ada kompleks yang dihuni oleh Kaum Anshar yang musyrik (menyembah berhala). Serta Kaum Quraisy (muhajirin).

Ketiga kaum tersebut memiliki perbedaan kebiasaan atau kepercayaan. Ketika seorang quraisy menikahi Wanita anshar, mereka punya kepercayaan atau kebiasaan. Wanita anshar tersebut pun menolak ajakan suaminya dan di kemudian hari, hal ini menjadi permasalahan yang menyebar, kemudian turunlah ayat ini.

Riwayat kedua menyebutkan, orang yahudi memiliki kepercayaan menggauli istri dengan satu cara, jika menggauli lewat belakang anaknya bisa juling ataupun memiliki kelainan lain. Kemudian turunlah ayat ini yang menyanggah kebiasaan Kaum Yahudi tersebut dan membenarkan kebiasaan Kaum Quraisy. juga masih terdapat riwayat lain.

Kesimpulan: ayat ini menyanggah kepercayaan orang-orang Yahudi (Nasrani) dan Anshar bahwa menggauli istri hanya boleh dengan satu cara dan membenarkan kebiasaan orang quraisy yaitu

فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ  

maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Perintah untuk memprioritaskan amal-amal shalih, bertakwa kepada Allah SWT. dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.

 

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Pada ayat 223, disebutkan: Istri-istrimu adalah ladang bagi kalian. Ayat ini memisalkan dengan kata “ladang”. Hal ini menunjukkan adanya akhlak atau etika dalam Al-Qur’an. Disebut ladang karena ada sifat subur. Ketika ada benih, benih itu bisa tumbuh (terjadi pembuahan). Sebagaimana ladang yang harus dijaga, dirawat, diperhatikan, dan diperlakukan dengan baik, maka begitu pula  seorang suami kepada istrinya. Seorang suami menggauli istri tidak boleh melalui dubur, melainkan hartsun (tempat keluarnya bayi).

وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ

Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu. Beramallah untuk diri kalian sendiri, sebab amal itu untuk diri sendiri. Ayat ini memiliki makna yang berkaitan dengan Al-Baqarah ayat 110, yang artinya: “semua amalan yang kita kerjakan itu akan kita dapati pahalanya di akhirat kelak.”

Ayat ini menunjukkan adanya skala prioritas, terlihat dari kata  قدّم-يقدّم yang berarti mengedepankan. Rasulullah saw, bersabda   مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ   yang artinya, “dari kebaikan islam seseorang yaitu meninggalkan hal-hal yang tidak ada maknanya” (HR. Tirmidzi). Jadi, yang harus dikedepankan adalah hal-hal yang bermakna yaitu beramal shalih.

وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ

Bertaqwalah kepada Allah SWT. dalam segala hal, dimanapun dan kapanpun, termasuk menggauli istri sesuai dengan yang diperintahkan dan tidak melakukan yang dilarang, dan janganlah sekali-kali melakukan perbuatan dosa.

وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ

Dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui Allah. Semua manusia akan dibangkitkan dan bertemu dengan Allah SWT. di akhirat kelak dalam keadaan tidak menggunakan sandal dan tidak menggunakan sehelai benang pun dengan berjalan kaki tanpa ada tunggangan dalam keadaan masih muda.

وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman yang imannya dapat mengantar mereka mematuhi syariat-syariat Agama Islam. Kabar gembira merupakan balasan yang baik di akhirat kelak.

Tanggung jawab pendidikan orang tua kepada anaknya yang akan menikah adalah mengajarkan anaknya tentang pendidikan setelah menikah. Karena pendidikan terkait kehidupan pernikahan sering dianggap menjadi hal yang tabu dan sensitif. Jika bukam orang tuanya yang mengedukasi, khawatirnya anaknya salah guru atau belajar dari sumber yang tidak tepat. Para sahabat Rasul saw. tidak bertanya hal-hal seperti diatas secara gamblang. Berbeda dengan wanita anshar yang bertanya kepada Rasul saw. karena mau mengetahui ilmunya.

 

Tidak ada Sesi Tanya Jawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.